Friday, October 09, 2009

Bandar Jakarte



"Cintaku pada kampung halaman seperti cinta sang nabi pada negeri mekah tempat kelahiran

Meski kusam dan berubah dalam wajah, ia tetaplah bumi pertiwi
Tempat bocah-bocah kecil menggayut dalam kehangatan
Tempat rindu-rindu masa kecil mesra tertanam
Mengingatmu seperti mengingat kekasih pujaan
Merenungimu seperti kembali kemasa silam
Dalam bulir-bulir sejarah yang terlepas
Dalam benih-benih mimpi yang mencengkram malam
Yang tetap kau kejar hingga saat ini
Dalam khayalmu dulu di tempat ini."

Kemanggisan Palmerah dulu dan sekarang

Kemanggisan Palmerah, sebuah distrik ditengah kota Jakarta yang kalo kita zoom out dari google earth terletak di sebelah barat daya (arah jam 8) dari monas, berbatasan dengan Petamburan di timur, Kebayoran lama di selatan, Kebon jeruk di barat dan Tanjung duren di utara. Sebelum pemekaran wilayah, Kemanggisan Palmerah masuk dalam wilayah kecamatan Grogol petamburan, tetapi kini menjadi kecamatan sendiri dengan beberapa kelurahan termasuk kelurahan Palmerah dan kelurahan Kemanggisan sendiri.

Lapangan Cina (Lapangan Sibun) dan kampus Binus

Dulu semasa tahun enam puluh sampai tujuh puluhan, wilayah kemanggisan/palmerah masih merupakan hutan dan sawah. Listrik pun baru masuk kesana sekitar tahun tujuh puluhan, bahkan rumah orang tua saya baru memasang listrik sekitar tahun delapan puluhan. Menurut cerita orang tua saya, dulu jarak antar rumah masih sangat berjauhan. Sepanjang jalan KH Sya’dan, tempat tinggal orang tua saya hanya beberapa gelintir tetangga saja yang tinggal di jalan itu. Dari ujung jalan di depan kompleks Mandala, hingga ke pertigaan jalan H. Taisir, semua tetangga saling mengenal. Bahkan nama jalan KH.Syahdan diambil dari ulama terkenal di seantero Kemanggisan Palmerah.
Kampus Binus Syahdan dulunya adalah sebuah lapangan yang bernama lapangan cina atawe lapangan Sibun ; menurut kisah yang diceritakan oleh paman saya; nama lapangan cina itu karena pemiliknya memang seorang cina yang tinggal dekat pasar Palmerah; Koh Sibun namanya, yang membelinya dari penduduk pribumi dengan menukarkan dengan sebuah oplet sekitar tahun enam puluhan. Kemudian tanah itu dibeli oleh pemilik binus dan dijadikan kampus pada tahun 1985.
Lapangan cina dulunya adalah sebuah resapan air dengan kebun-kebun singkong yang bertebaran. Letak tanahnya yang melengkung membuat air hujan selalu mengalir ketempat itu, hingga kalau musim hujan lapangan itu menjadi semacam danau kecil yang asyik untuk dieksplorasi oleh anak-anak kecil termasuk saya. Bagaimana tidak, letak lapangan itu persis disamping rumah orangtua saya, sehingga saya ingat betul bagaimana lapangan itu menjadi saksi berbagai macam peristiwa yang singgah ditempat itu.
Lapangan itu pernah menjadi tempat pertandingan sepakbola antar kampung, arena tujuh belasan, sebagai tempat penjual obat keliling, atraksi debus, pasar malam, posko partai persatuan pembangunan waktu kampanye di era ORBA, tempat olahraga aeromodeling, kandang kuda, kandang kerbau, lapangan bermain layang-layang raksasa, layang-layang kaleng krupuk, dan yang paling favorit bagi saya ketika itu adalah lapangan itu pernah menjadi bioskop misbar(gerimis bubar) alias layar tancap yang ditayangkan semalam suntuk.
Kalau dibulan Ramadhan, tempat itu menjadi ajang lomba bikin bleduran alias meriam tomong (meriam dari bamboo dengan bahan bakar minyak tanah yang dipanaskan) yang suaranya sangat menggelegar bagai perang betulan. Juga tempat menerbangkan “tuyul-tuyulan” yakni istilah untuk selembar koran dilipat mengembung dengan kait dari potongan lidi, kemudian dibakar secara serempak dimasing-masing sudut, sehingga udara panas yang terjadi mampu mengangkat Koran yang terbakar itu menjadi sebuah balon udara, lebih tepatnya balon api yang mampu membumbung tinggi ke angkasa.

Tempat Kenangan

Selain lapangan cina, ada beberapa tempat yang sangat bekesan dihati saya ketika saya kecil. Tempat pertama adalah Mushola Baitul Makmur yang terletak disebelah gedung Binus Center (WRI), tempat kami kecil berkumpul dan merayakan hangatnya ramadhan dimasa-masa kecil kami. Lalu ada mushola Darussalam yang kini berubah menjadi Mesjid Darussalam (orang kampung menyebutnya mesjid aji tado; sesuai dengan nama pewakaf tanah yakni alm H. Murtado). Mesjid ini terletak persis didepan kampus Binus Syahdan yang kalo hari jum’at terpaksa menutup jalan Syahdan untuk tempat sholat karena jamaah membeludak, untunglah ijin dari kapolsek Palmerah telah turun sejak lama guna memakai jalan umum untuk kepentingan masyarakat itu.
Dan tempat hangout yang paling asik saat saya kecil adalah kebun cakra yang terletak diseberang jalan Kebon jeruk (Binus anggrek sekarang). Konon kebun cakra dulunya adalah tanah milik satuan elit resimen cakrabirawa, pasukan yang pernah terlibat dalam peristiwa G30S empat puluh empat tahun silam. Di kebun seluas sekitar 10 hektar itu terdapat ruang yang sangat asri dimana didalamnya ada taman, hutan, rawa dan lapangan sepak bola. Pohon kelapa berjejer disepanjang jalannya. di sebelah utara, terletak gedung tua peninggalan Belanda yang pernah menjadi tempat syuting acara penampakan distasiun televisi swasta beberapa waktu lalu. Di tempat ini, banyak anak muda yang menjadikan kebun cakra sebagai tempat rekreasi sekaligus memadu asmara. Tempat itu juga dipakai sebagai lokasi “outbond” anak-anak kampung karena sering dijadikan tempat meluncur menggunakan pelepah kelapa yang telah kering, juga sebagai tempat latihan berenang di rawa yang banyak eceng gondoknya dan juga tempat berlatih para atlit sepak bola antar kampung. Saat ini kebun cakra telah banyak berubah, ia telah menjadi beberapa ikon, seperti kampus binus anggrek di selatan dan perumahan elit casagoya kebun jeruk di sebelah utara. Tinggal beberapa ribu meter saja tanah kebun cakra itu yang entah sekarang menjadi milik siapa.

Kemanggisan palmerah kini sudah tidak lagi menjadi kampung yang asri, ia telah berubah menjadi pecinan padat, seiring dengan hadirnya kampus Binus dan banyaknya penduduk asli menjual tanah mereka kepada para cukong yang menjadikan daerah itu pusat bisnis mereka. Komplek sandang pun; sebuah komplek diselatan Binus; yang dulu indah dan asri, satu persatu telah beralih kepemilikan menjadi rumah-rumah besar berlantai empat. Bahkan lokasi yang dulu bernama rawa kapitan alias sawah, tempat beberapa sekolah dasar negeri dan smk negeri berada, terdapat sebuah apartemen besar dan mewah yang menjulang tinggi, menutupi rumah-rumah dinas para guru sd negeri ditempat itu.

Sebenarnya masih ada beberapa tempat yang sering menjadi tempat rekreasi anak-anak pada masa itu. Salah satunya adalah daerah yang disebut rawa, lokasi di belakang bekas pabrik ubin batusari yang kini menjadi tanah kosong. Di rawa itu, kami anak-anak kecil sering berenang dan bermain-main disana, acara memancing menjadi sebuah kesenangan tersendiri,apalagi dimusim hujan, saat ikan-ikan dikolam milik alm H.M. Daud melompat masuk ke rawa karena kelebihan air. Yang paling mengasyikan adalah menangkap ikan dengan menggunakan petasan jangwe (mercon yang berbentuk roket dengan sebatang lidi sebagai penyangganya). Dengan modal sebatang paralon yang ujungnya ditenggelamkan ke dalam air sebagai peluncur, kami mengebom dasar rawa dengan petasan itu. Blaaar air memucrat tinggi seperti ledakan torpedo, sejurus kemudian banyak ikan-ikan mati mengenaskan tewas mengambang terkena ledakan torpedo itu, sungguh sebuah rekreasi yang murah meriah dan menyenangkan meskipun kami khawatir takut dimarahi orangtua karena perbuatan itu.
Tempat lain adalah lokasi yang dulu disebut “lobang” yang kini menjadi kantor kecamatan Palmerah. Disebut lobang karena tempat itu seperti jurang yang menganga akibat penggalian tanah yang sangat massif. Ketika hujan turun tempat itu menjadi danau yang sangat dalam dan menyeramkan.

ALCAS, PAKEM, KEMRAY, RABEL, dan GS

Dulu sekitar tahun delapan puluhan ketika pertandingan sepak bola masih ramai, dan PSSI masih menjadi kebanggaan anak bangsa, para anak muda didaerah kami banyak membentuk klub sepakbola, meski lebih pantas kalau dikatakan itu adalah kelompok atau geng anak muda yang memiliki kesamaan wilayah dan menamakan klub mereka dengan nama wilayahnya. Saya sebagai anak kecil sangat bangga grup kami waktu itu, yakni ALCAS, singkatan dari Anak Lapangan Cina Asli, meski kadang diejek dengan singkatan Anak Luntang-lantung cari sandal. Kemudian ada PAKEM: Persatuan Anak Kemanggisan. KEMRAY:anak Kemanggisan Raya, RABEL: Anak Rawa Belong, dan GS:Garuda Sakti.
Tidak jarang mereka saling bentrok dan ribut jika bertemu dijalan, meskipun keributan itu terjadi diluar kompetisi sepak bola. Tetap saja jika saling ketemu maka mereka akan saling ejek dan berkelahi sampe benjol-benjol.

Ketika terjadi demam BMX, sepeda roda dua dengan model ala mountain bike, hampir seluruh anak-anak demam akan sepeda itu, kemudian muncul sepeda modifikasi, dengan model yang aneh-aneh dan menggelikan. Ada yang jok dan stangnya tinggi menjulang, ada yang bingkainya panjang hingga empat meter, ada yang berbentuk mobil, ada juga yang berbentuk sepeda sirkus dan sebagainya. Saat musim sepeda modif itu terjadi musibah bagi kakak sepupu saya, Andri, ia meninggal terkena stroom saat memodifikasi sepedanya. Ia tewas ketika memegang bor listrik yang kabelnya basah terkena air dari kamar mandi.
Setelah musim sepeda, kemudian muncul musim breakdance, alias tari patah-patah. Banyak anak-anak ABG latah berpenampilan seperti rapper. Kemana-mana bawa minicompo di panggul, tidak lupa bawa tikar, rantang berisi nasi dan termos berisi air panas, sekalian lalapan dan sambel goreng hehehe, emang mau piknik.
Dalam tari breakdance itu, para ABG kadang sering mengadu keahlian tari patah-patah, kelompok demi kelompok menunjukan kebolehannya, ada gaya kelabang, ada gaya gangsing, ada gaya moonwalknya Michael Jackson, ada pula gaya ular keket dan capung terbang, gaya dewa mabuk dan gaya monyet mencuri timun mungkin juga ada kale. Pokoke semua gaya yang bisa dianggap top dah. Resiko dari tari patah-patah memang berbahaya, bahkan konon ada anak muda yang mati mengenaskan gara-gara lehernya patah memperagakan gaya gasing memutar bumi, karena ia berputar dengan kepala dibawah dan kaki diatas dengan gerakan cepat sekali.

Balada Layar Tancap

Meskipun saat itu saluran TV hanya semata wayang alias TVRI doang, tapi anak-anak tak pernah kehilangan hiburan, sebab, dibalik pohon-pohon rimbun, di tengah-tengah lapang ada cukong-cukong layar tancap yang siap dipanggil dalam setiap acara hajatan. Film yg diputar bahkan tidak hanya satu atau dua film, tapi tidak tanggung-tanggung sampai pagi alias semalam suntuk. Biasanya film berakhir menjelang subuh. Dan film favorit yang sering diputar saat itu adalah Dono Kasino Indro dengan Warkop DKI, Rhoma irama dengan Soneta nya, Bary Prima dengan jaka sembungnya, George Rudy (baca Gaga Rudi) dengan film actionnya, Eva Arnaz dengan bodi botohnya dan terakhir suzzana dengan sundel bolongnya, iiiiiiiihhhhhh atuut. Yang disebut terakhir seringnya diputar pas tengah malam, saat anak-anak harus pulang karena tidak boleh nonton sampai pagi.
Ada cerita lucu yang pernah diceritakan oleh abang saya ketika baru pulang nonton layar tancap bersama kawan-kawannya. Saat itu para ABG yg terdiri dari abang saya, bang Deden (ape khabar bang), bang Mali, bang Burhan alias buang beserta tokoh kita bang Iim alias Ibrohim pulang dari nonton layar tancap. Kebetulan saat itu posisi rumah bang iim lebih dulu sampai ketimbang yang lainnya. Jadi ketika sampai didepan rumahnya, dia langsung pamit kepada temannya dan segera mengetuk pintu dengan ramah. Tok tok tok, Enyak..enyak.., buka pintu ini Iim. “Im, kita tungguin ye sampe enyak lu ngebukain pintu, kata abang saya”. Enggak usah, gue berani sendirian, elu kalo pada mau pulang, pulang aje gih” Yg bener nih… Tanya yg lain, “bener, giih gue gak ape-ape”. “Ya udah kalo gitu kita tinggal ya… Yuuk bleh kita cabut”. Sementara itu Bang Iim tetap mengetuk pintu rumahnya, dengan perlahan, tok-tok-tok, enyak, enyak, ini Iim nyak. Ekor mata bang Iim masih menangkap sosok teman-temannya yang terlihat mulai menjauh, kemudia dengan sabar ia memanggil-manggil enyaknya untuk membukakan pintu. Enyak, enyak, buka pintu nyak, ini iim. Suara-suara canda temannya masih terdengar meski sayup-sayup. Tok tok tok, enyak ini Iim, bukain pintu. Hampir sepuluh menit bang Iim mengetok pintu, hingga ia belum menyadari bahwa disekelilingnya telah sepi dan terus saja ia memanggil enyaknya dengan nada rendah, enyak….enyak…enyak…tiba-tiba ia mengeraskan suaranya ENYAAKKKKKKK…..ENYAKKKKKKK ….ENYAAAKKKKKK Bang Iiim teriak sekeras mungkin sambil mengedor pintu saking takutnya karena menyadari bahwa teman-temannya telah jauh dan tidak mungkin mendengar teriakannya. Tiba-tiba dari belakang rumahnya terdengar suara HUAHAHAHAHAHA Bang Iim kaget luar biasa. Ternyata itu suara teman-temannya yang tertawa terpingkal-pingkal melihat Iim ketakutan luar biasa, mukanya pucat pasi akibat ditinggal sendirian. Mereka sengaja bersembunyi untuk mengerjain Bang Iim yang terkenal penakut tapi gengsian…hahahaha. Kacian deh lu.

Kemanggisan atawa Palmerah kini sudah tidak semeriah dulu, ia kini sudah berubah menjadi bagian kota besar yang individual serta materialistis. Ikatan sosial antar tetangga sudah mulai berkurang, karena antar tetangga kini sudah tidak saling mengenal. Penduduk sudah didominasi oleh pendatang dan kaum pencari kerja serta mahasiswa. Keramahan dan kemurahan senyum saat bertegur sapa telah menghilang, kecuali hanya beberapa penduduk yang masih saling mengenal. Terakhir ketika saya bersilaturahmi kerumah paman saya, beliau bercerita bahwa kemanggisan sekarang sudah asing baginya, ia seperti tinggal didaerah yang tidak ia kenal. Para sahabatnya sudah meninggal, termasuk bapak saya yang menjadi kakaknya. Sepanjang perjalanan tidak ada satupun orang yang dikenalnya.

Pesatnya pembangunan diwilayah ini, seakan mampu mengusir jiwa-jiwa yang dulu pernah singgah di kampung ini, karena alasan ekonomi, semua harus terjual dan berganti kepemilikan. Budaya ramah dan tegur sapa menghilang, seiring pemodal-pemodal besar mencengkeram sudut-sudur kampung. Celoteh-celoteh dan riang bocah tergerus oleh laju dan bising kendaraan, suara-suara ayat suci yang biasanya mengalun merdu selepas maghrib kini menghilang bergantikan suara dentuman-dentuman speaker dari ratusan warnet yang tersebar menjamuri pojok-pojok kampung, Jalan-jalan dan gang-gang yang dulu sunyi selepas isya kini bagaikan tak pernah tidur. Suasana syahdu dan hangat menguap dalam hingarbingar nafas kota. Dan kini para pribumi seakan pasrah akan takdir kehidupan. Tak bisa melawan dalam kenestapaan, kecuali segelintir jiwa yang diberi kurnia lebih yang tetap terjaga mempertahankan kampung halaman, dalam doa-doa lirih yang terdengar seperti gumam, entah sampai kapan bersulam kenangan, hingga anak cucu yang menjadi harapan, tuk bertanya pada pagar halaman, masih kuatkah engkau bertahan?

In the middle of the night.