Sunday, March 29, 2009

Tsunami Kecil Itu...

Jumat 27 Maret 2009, pukul 4.00 dini hari, kesunyian pagi buta terpecah oleh gemuruh air yang meraung-raung menerobos jalan-jalan dan lorong-lorong disekitar perumahan cirendeu indah dan meratakan seluruh bangunan apapun yang dilewati. Debit air yang besar (sekitar 1.5 juta kubik) mampu menjebol tanggul yang memang menurut laporan WALHI sudah kritis, tetapi pemerintah seakan tidak perduli akan peringatan itu (Detik 27 Maret 2009). Suara gemuruh gelombang air menenggelamkan jeritan ratusan manusia yang panik akan datangnya air bah yang menggilas dengan tiba-tiba. Suara hiruk pikuk dan teriakan menyayat hati tenggelam bersama arus air yang lepas tak terkendali. Hanya dalam waktu tiga puluh menit semuanya menjadi rata dengan tanah. Sampai dengan pukul 11 malam korban tewas mencapai 65 orang dan korban hilang mencapai 72 orang (sampai minggu malam 29/03/2009, korban tewas sudah 98 orang dan hilang 115 orang). Seolah-olah tsunami kecil datang tiba-tiba dan menyeret seluruh mahluk yang lokasinya berada lebih rendah dari danau itu dan mengingatkan kita akan musibah tsunami Aceh yang merengut ribuan nyawa, Seolah-olah kita melihat bahwa alam kembali murka terhadap ketamakan manusia. Seolah-olah Tuhan enggan memberikan kasihnya kepada manusia-manusia durjana, meskipun musibah tidak mengenal orang jahat atau orang baik, perampok atau pemuka agama, koruptor atau orang saleh.

Situ Gintung terletak di bilangan cirendeu tidak jauh dari jalan raya ciputat. Situ ini merupakan daerah resapan air yang daerah aliran sungainya mengarah ke kali pesangrahan.

Sebenarnya situ gintung adalah lokasi yang cukup indah, sehingga cukup layak dijadikan tempat pariwisata, persis setahun yg lalu tepatnya 7 maret 2008, penulis pernah mengabadikan situ itu pada suatu kesempatan(gambar paling atas).


Takdir
Ketika Allah berkehendak, maka manusia hanya bisa pilu dan menangisi takdirnya yang buruk. Tapi kita tidak sedang menggugat takdir, sebab takdir itu paralel dengan perbuatan manusia, ketika manusia menabur angin, maka manusia pula yang akan menuai badai, begitulah yang terjadi dalam musibah jebolnya tanggul situ gintung. Terlepas dari kehendak Allah yg memberikan ujian kepada manusia-manusia pilihannya di sana, yang jelas manusia ikut andil dalam tragedi itu. Terlepas dari kesalahan pribadi dari para korban (hanya Allah yang mengetahui), tetaplah mereka sebagai tumbal dari kelalaian para penguasa.

Jika tsunami Aceh memang murni dari kehendak Allah melalui gempa yang timbul dari patahan lempengan di samudra Indonesia (meskipun ada dugaan sumir tentang percobaan nuklir diperut bumi oleh negara adidaya) maka musibah situ gintung ini saya yakin karena kelalaian manusia. Pernyataan aktivis lingkungan hidup yang menyatakan bahwa kondisi tanggul yang sudah tidak layak, temuan warga yang sudah melapor akan keretakan tanggul pada 2 tahun sebelumnya, juga peringatan dari kepolisian yang menyuruh para penduduk untuk mengungsi sebelum terjadinya musibah itu(detik 27 maret 2009) mengindikasikan ada yang salah dengan telinga dan hati para pemimpin negeri ini, baik pemimpin di daerah maupun pemimpin di pusat.

Mengapa para pemimpin itu selalu saja beraksi setelah terjadi bencana. Mengapa mereka tidak pernah bertindak preventif, proaktif bertindak untuk mencegah terjadinya kejadian itu. Justru malah mereka kebanyakan memanfaatkan musibah untuk kampanye kotor mereka menjelang pemilu yang akan hadir beberapa hari lagi.
Ya Tuhan, sampai kapan kami harus bersabar memiliki pemimpin-pemimpin badut yang hanya bisa mengelabui kami dengan akting melucunya yang kadang-kadang tidak lucu. Sampai berapa lama kami harus menerima musibah demi musibah yang datang tiada henti. Ataukah memang engkau akan menghukum kami dengan mengirim para pemimpin yang tidak punya hatinurani. Ataukah karena begitu banyak kesalahan kami sehingga engkau berikan kami pemimpin yang bermental penjilat, bermoral bejat dan berhati karat. Sehingga musibah datang silih berganti karena amarah alam yang sudah tak terkendali. Atau, mungkinkah semua itu memang salah kami sendiri, kami lahirkan pemimpin pencinta maksiat, karena kami pun para pencinta maksiat. Tidak akan lahir pemimpin harimau dari kumpulan domba-domba dan kerbau-kerbau bodoh macam kami. Tidak akan lahir para pemimpin bijak dari kumpulan orang-orang khianat, melainkan mereka akan melahirkan para penjahat yang lebih jahat. Seorang pemimpin dilahirkan dari rahim lingkungannya, dan keberhasilan pemimpin adalah keberhasilan lingkungannya. Benarlah ucapan Sayidina Ali ketika beliau diprotes oleh rakyatnya yang mengatakan bahwa zaman Abu Bakar lebih baik dari zaman Ali yang penuh kekacauan dan pembangkangan, dan membandingkan kepemimpinan beliau dengan kepemimpinan Abu Bakar. Apa jawab Ali, “Dahulu ketika Abu Bakar menjadi pemimpin, beliau memimpin rakyat yang orang-orangnya seperti aku, sedangkan aku sekarang memimpin orang-orang seperti kalian” sindir Ali dengan ketusnya.
Wallahualam bishowab.

Thursday, March 05, 2009

PLEDOI

Mengamati puisi/syair pledoi tersangka kasus korupsi pengadaan kapal patroli departemen perhubungan, Bulyan Royan, yang berjudul “Aku Ketakutan” pada sidang tipikor hari rabu (4/3 2009 ) Bulyan menyebut nama tuhan sebanyak 23 kali. Dalam syair yang dibacakan oleh pengacaranya itu, Bulyan berharap agar jika ia bersalah maka hukumlah dengan hukum dinegeri ini, jangan dihukum karena politis atau kekuasaan semata, tidak pula karena kebanggaan sang penguasa. Ia juga menyebutkan kronologis penangkapan dirinya di plaza senayan, sesudah mengambil uang di ATM. Menurut Bulyan menjadi anggota DPR mengubah dirinya dari pebisnis menjadi politikus. “Sejujurnya saya ungkapkan terjadinya perkara ini disebabkan hal-hal yang sebenarnya dalam dunia bisnis sah-sah saja menerima sesuatu dari seorang pengusaha ke pengusaha lain yang mereka merasa kita ikut membantu dalam usaha mereka” tuturnya. (Kompas Kamis (5/3 2009). Ia mengakui, kekhilafan itu terjadi karena dirinya sama sekali tidak tahu jika perbuatan itu bertentangan dengan perundangan.

Amboi.. begitu mudahnya manusia membolak-balikan kata dengan perasaan innocent di depan pengadilan manusia. Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud melakukan prejudge terhadap Bulyan, biarlah pengadilan yang akan menentukan apakah beliau bersalah atau tidak. Yang menarik disini adalah seolah-olah bulyan menyatakan bahwa beliau “Melakukan tindakan korupsi tetapi tidak tahu kalau hal itu adalah perbuatan korupsi” sama seperti perkataan anak kecil, mengambil barang orang lain tapi tidak mengetahui kalau itu adalah mencuri. Bagaimana orang sekaliber Bulyan, anggota dewan terhormat pula tidak mengetahui perbedaan antara mencuri dengan tidak mencuri.

Dalam satu kisah pernah sahabat menanyakan kepada nabi tentang hukumnya seorang pegawai menerima hadiah, dimana pada suatu masa pernah seorang petugas pengumpul zakat berkata kepada temannya, “ini adalah bagian zakat untuk negara, dan ini adalah bagianku sebagai hadiah untukku”. Nabi dengan tegas menjawab, “cobalah manusia itu duduk-duduk saja dirumah bersama bapak dan ibunya, apakah akan mendapatkan hadiahnya atau tidak”, dengan kata lain nabi mengharamkan para pegawai menerima hadiah karena sudah pasti hadiah itu datang karena berhubungan dengan pekerjaannya.

Mengenai hadiah saja nabi sudah begitu tegas mengharamkannya, bagaimana dengan suap, pelicin, komisi yang sudah pasti bertujuan untuk melancarkan transaksi bisnis, apatah lagi uang yang digunakan adalah uang bukan milik sendiri atau uang bukan milik perusahaan sendiri tetapi uang milik negara. Dengan kata lain untuk urusan bisnis saja diharamkan, apalagi urusan negara. Apakah Bulyan tidak tahu, apa yang di anggap lumrah dalam bisnisnya selama ini adalah sesuatu yang haram.
Sebenarnya simple saja menyatakan sesuatu itu haram atau tidak, tanyakan saja pada hidayah yang sudah terinstall dalam diri kita yakni hati nurani apakah itu termasuk komisi, pelicin, suap, sogokan atau bukan. Tanyakan pula apakah berhubungan dengan sesuatu yang kita lakukan dalam pekerjaan kita atau bukan, jika bukan, ya mudah-mudahan itu adalah rezeki yang turun dari langit karena sikap wala wal baro (loyalitas dan antiloyalitas) kita dalam memegang teguh agama ini. Loyal terhadap kebenaran dan antiloyal/menentang terhadap segala jenis kemungkaran.

Sekarang Pak Bulyan mungkin hanya bisa menangis.. dan itu lebih baik.. menyesal sekarang lebih utama dari pada menyesal dipengadilan akhirat nanti.. kami doakan semoga beliau tabah menerima ujian ini dan taubatnya diterima allah sebagai sebenar-benarnya taubat sehingga kita dapat menjadikannya ibroh/pelajaran dari kasus yang menimpa beliau. Pledoi di persidangan dunia masih bisa dimanipulasi, tetapi bagaimana dengan persidangan akhirat...??? Wallahu’alam bisshowab

Jogjakarta 6 Maret 2009, Alfaqir Ilallah