Tuesday, December 22, 2009

Arti sebuah kebahagiaan (Sebuah Cerpen di hari Ibu)

"Kebahagiaan yang begitu besar, kenikmatan yang begitu tinggi tidak akan kita rasakan sampai kita mengetahui bahwa kebahagiaan itu telah pergi dari kehidupan kita"

Banyaknya nikmat yang diberikan oleh Allah baik berupa nikmat materi maupun non materi meskipun nikmat yg diberikan itu sangatlah besar bagi ukuran rata-rata orang lain, tak akan pernah dirasakan begitu besar oleh seorang manusia, sampai manusia itu menyadari bahwa nikmat itu telah berlalu dari hadapanya dan tak akan pernah kembali. Sifat manusia yang tak pernah puas menutupi akal sehatnya, menggerus kelembutan hatinya dan melupakan fakta bahwa saat itu nikmat dan kebahagiaan sedang mengalir deras kepadanya. Hingga saat yg ditentukan itu tiba, saat pergiliran antara manusia sudah menjadi sunatullah, saat yg tadinya penuh nikmat dan bahagia, kini berubah menjadi penuh tangis dan airmata.

Jatidiri

Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, dan aku satu-satunya anak perempuan yg dimiliki ayah. Kedua kakakku adalah anak laki-laki kebanggaan ibu. Keluarga kami keluarga sederhana. Ayah seorang guru dan ibu seorang perawat dikota kami. Didikan keras ayah menghantarkan anak-anaknya sampai di perguruan tinggi. Saat ini kedua kakakku telah bekerja di sebuah perusahaan swasta dan aku masih duduk disemester akhir. Penghasilan ayah yg tidak seberapa membuatnya harus bekerja lebih keras, sepulang mengajar, ayah bekerja sebagai sopir angkot diterminal bus di kota kami. Beratnya kehidupan yg dilalui ayah membuat hidupnya tak berumur panjang. Saat aku smp, ayah meninggal terkena lever akut, dokter menyatakan kondisi ayah drop karena kelelahan luar biasa. Selanjutnya kehidupan kami berlangsung dipundak ibu. Untunglah kedua kakakku mendapat beasiswa di universitas ternama, jadi biaya kuliahnya tidak membebani ekonomi keluiarga kami.

Saat remaja aku tumbuh menjadi seorang gadis yg biasa-biasa saja. Aku bersekolah di sebuah SMA negeri, disana aku mengikuti kegiatan eskul rohani islam, kegiatan yang bagiku cukup menyita waktu sehingga bisa membuatku menjaga hati dan pikiranku agar tidak larut dalam kesedihan. Disana pula aku belajar menutup aurat dan mengenal jati diri sebagai seorang muslimah. Lulus. SMA aku melanjutkan kuliah di bandung mengikuti jejak kakakku yg saat itu sedang menyelesaikan skripsinya. Ketika mencari rumah kos aku dikenalkan oleh kakakku seorang teman kakakku satu kampus tetapi beda jurusan. Ia seorang pemuda yg tampan, santun dan pandai pula. Usianya hampir sama dengan kakak tertuaku. Karena rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumah kosku, ia kadang sering mampir dan menanyakan keadaanku. Kadang ia membelikan aku makanan kecil sepulang kuliah.
Karena perhatian yg sering ia berikan, aku merasa ada yg berdesir dihati saat ia berada disisi dan ada sejumput kangen saat ia menjauh. Aku tak tahu apakah itu yg dinamakan cinta. Tapi aku berusaha memendam rasa itu, aku tahu islam memuliakan cinta dengan menempatkannya pada posisi yg agung. Cinta adalah sunatullah dan melingkupi hati semua mahluk ciptaanNYA. Sebagai seorang muslimah aku berusaha menempatkan hatiku diatas nafsuku. Cinta yg hadir ku biarkan bersembunyi di sudut hatiku dan akan aku keluarkan ketika pangeran sejatiku datang mengkhitbah diriku kelak. Ketika teman sebayaku asyik terombang-ambing asmara, terseret arus nafsu syahwat atas nama cinta, aku malah asyik bercumbu dengan tumpukan buku. Aku tak mau mengecewakan ayah dan ibuku. Aku ingin mempersembahkan nilai-nilai terbaikku untuk mereka.

Khitbah Sang pangeran.

Ketika aku duduk di semester enam, satu semester lagi aku menyelesaikan kuliahku, datanglah lamaran dari teman kakakku itu. Aku kaget luar biasa, senang bercampur haru, ternyata khitbah itu datang dari cinta yang aku sembunyikan disudut hatiku beberapa tahun lalu. Tapi aku bingung karena kuliahku belum kelar. Kakak laki-lakiku memberikan pencerahan bahwa nikah itu tidak menghalangi seseorang untuk kuliah. Banyak para suami istri yg melanjutkan kuliahnya setelah menikah, bahkan sampai S3. Toh kamu hanya mengambil cuti kuliah saja dik, kata kakakku menutup pembicaraannya.
Setelah berfikir akhirnya aku mengiyakan jawaban kakakku. Aku tak sempat lagi berfikir dua kali, bahkan aku tak sempat sholat istikharah, karena suasana hatiku menutupi akal jernih ku akibat kegembiraan tiada tara. Keputusan yg kelak membuatku menyesal, karena aku tidak mendalami bagaimana akhlak dan tabiat suamiku selain mengetahui sifat lahiriah yg melekat pada dirinya saja yakni tampan, santun dan pandai. Selebihnya yakni agama, akhlak dan tabiat, aku pasrahkan kepada allah.

Dunia milik berdua.

Sudah satu bulan aku menjadi istri Mas Dodi, begitu nama suamiku biasa ia dipanggil. Aku pun mencurahkan seluruh hidupku untuk kebahagiaan suami ku, kami membeli sebuah rumah kecil tak jauh dari tempat suamiku bekerja. Dan memang, mas dodi termasuk orang yang pintar mencari uang sehingga kebutuhan dasar rumahtangga kamipun cepat terpenuhi hanya dalam beberapa bulan. Karena keasikan mengurus rumah tangga, tak terasa cuti kuliahku telah habis dan aku mengambil keputusan untuk mengambil cuti lagi hingga tiga kali cuti..
Hari-hari kulalui dengan langkah ringan, aku merasa menjadi orang yang paling bahagia sedunia dan itu berlangsung terus sampai aku menyadari bahwa roda kehidupan berputar ternyata mengitari nasib manusia.

Bahagia itu mulai pergi.

Tak terasa pernikahan kami sudah berjalan dua tahun dan kebahagiaanku semakin lengkap sejak tuhan memberikan kepercayaan kepadaku, aku hamil dan kehamilanku sudah beranjak tiga bulan.

Suatu sore saat merapikan lemari baju suamiku aku menemukan sebuah coretan kertas disaku suamiku, tulisan semacam pengakuan atau testimoni yang dirobek dari buku diari suamiku, aku tak bermaksud ingin lancang, tetapi karena ingin memastikan bahwa suamiku juga bahagia dengan perkawinan ini, terpaksa aku baca lembaran pengakuan itu. Kubaca perlahan dengan nafas tertahan.
"Diary, Saat ini aku telah berstatus sebagai suami dari Nina Angraini, seorang mahasiswi berjilbab adik temanku yg juga adik kelas ku di almamaterku. Saat ini aku juga adalah calon ayah dari bayi yg dikandungnya. Ia adalah harapanku, dermaga hatiku, pelabuhan cintaku, rumahku yg damai, selimut hatiku yg hangat, senyum manisku yg merekah dan mahkota kebahagiaan diriku."
"Sejak pertemuan pertama kali, lewat kakaknya, aku yakin ia adalah seorang perempuan yang soleh, yang pandai menjaga kehormatan diri dan keluarga. Itu ku ketahui dari beberapa kali peristiwa ketika dengan sengaja aku ingin dekat dengannya dan ingin menjadi kekasihnya. Tapi dengan halus ia menolak, penolakan yg tidak menggurui bahkan membuat aku tersadar bahwa apa yang selama ini aku fahami tentang cinta hanyalah sebuah nafsu. Sejak saat itu aku bertekad ingin sekali menjadi pendampingnya, sampai akhirnya Tuhanpun merestui keinginanku"

Membaca coretan Mas Dodi itu membuat aku melayang bagai tak berpijak, mengambang diudara bagai halimun pagi dipuncak gunung, putih, sejuk dan lembut serta dingin menusuk, tetapi kita enggan melepas pelukannya. Aku pun melanjutkan membacanya "Tapi ada rasa sesal dihati ini, mengapa harus ia yang kupilih, apakah aku pantas untuknya. Aku adalah laki-laki petualang yg mungkin tidak pantas untuknya, tapi akupun tak mau kehilangannya dan semoga kekasihku ini menjadi tempat persingahan terakhir aku dari petualangan ini. Aku ingin bertobat dari lingkaran setan yang membelenggu leherku sejak dulu. Aku ingin bahagia dengan istriku dan calon bayiku"
Sejenak aku terdiam dan tak mengerti apa maksud kalimat itu. Mengapa mas dodi ingin bahagia? Bukankah sejak melamar dan menikahi ku dia terlihat sangat bahagia? Mengapa seolah-olah ia belum bahagia, adakah yg ia sembunyikan selama ini? Dan apakah maksudnya dengan belenggu setan itu.

Tapi aku berusaha untuk berpositif thinking, berhusnuzhon saja, mungkin memang salahku yang kurang memberikan pelayanan terbaik untuknya.

Nyaris mati.

Usia kandunganku kini telah cukup untuk melahirkan. Dan aku meminta mas dodi agar aku bisa melahirkan normal saja, kecuali terjadi kejadian darurat, yg mengharuskan aku untuk di cesar.

Sore itu, aku. Merasakan perutku mulas sekali, mulas yg mulai berirama dgn jeda yg teratur. Selang satujam sekali, kemudian setengah jam sekali dan tiba-tiba aku mengalami pendarahan hebat, aku segera menelpon suamiku dan segera membawa ku kerumah sakit bersalin. Sampai disana aku terpaksa di transfusi. Ketika akan ditransfusi inilah aku mengetahui dari diagnosa dokter bahwa aku dan jabang bayiku mengidap Hiv. Dunia bagai runtuh dan langit menjadi gelap, kesadaranku pun menghilang. Aku pingsan untuk beberapa saat.

Karena kondisi darurat, suamiku meminta dokter untuk mencesar aku, demi menyelamatkan dua nyawa sekaligus. Aku, saat itu sudah seperti zombie, mayat hidup. Saat yg seharusnya ku sambut dengan bahagia, justru ku sambut dengan hampa, aku tak perduli lagi meski harus mati. Suamiku tahu aku marah kepadanya, dan ia menyesali apa yg terjadi. Tapi aku tak perduli dengan semua ocehannya. Aku hanya diam membisu. Dalam samar penglihatan, dalam sepi pendengaran, kudengar sayup sayup suamiku menangis bersimpuh didepan tempat tidurku. Ia terus menghiba memohon maaf kepadaku atas apa yg telah diperbuatnya sehingga menyebabkan aku dan bayi kami tertular virus ganas itu.
Dalam suara serak yg terputus, ia terus bicara, "Nina sayangku, aku tahu engkau marah, aku tahu engkau benci kepadaku, aku tahu bahwa aku orang yg paling pantas engkau hina. Bahkan engkau bunuh sekalipun. Aku tahu, aku telah melukai perasaan kamu, melukai keluarga kita, melukai orangtua kita, bahkan aku melukai jabang bayi kita. Saat ini seharusnya kita sedang berada dipuncak kebahagiaan, puncak kebahagiaan karena menantikan kelahiran putra pertama kita. Saat ini semestinya doa dan harapan mengalir dari bibir-bibir kita, pujian dan kesenangan tersimpul dari bibir kita, bukan cacian dan sumpah serapah. Saat ini seharusnya kita saling menguatkan, bukan saling caci maki dan menghina atas kejadian ini. Sayangku, dalam penyesalan ini aku memohon, engkau boleh membunuhku jika engkau mau, tapi jangan kau bunuh dirimu dan bayi kita, minimal aku ingin melihat seperti apa wajahnya. Sayangku aku mohon, kuatkan dirimu, aku ingin ia lahir dengan selamat. Inilah permintaan terakhirku padamu."

Aku diam membisu, tak peduli apa yg ia katakan. Mau berbusa sekalipun mulutnya, tak akan mengembalikan keadaan seperti semula. Suamiku yang dulu terlihat baik dan menyejukan kini kulihat bagaikan predator pemangsa, ganas buas dan menjijikan. Ia bagaikan penjahat kelas atas, yang telah merampok kehidupan dan kebahagiaan aku dan jabang bayiku. Ia seperti pembunuh sadis yang membunuh mangsanya secara perlahan. Rasa hormat dan kagumku hilang seketika, berganti dengan dendam dan amarah.
Ku lihat suamiku masih duduk dengan raut muka wajah sendu.

Dan cintapun pergi.

Operasi berjalan lancar, aku menguatkan diri demi jabang bayi dan amanah dari allah, bukan karena permintaan suamiku. Aku dan bayiku sehat walafiat, meskipun terpaksa berstatus sebagai ODHA. Pasca melahirkan keluargaku marah besar, terutama kakakku yg menjodohkan aku dengannya. Suamiku diusir oleh kakakku dan aku tak bisa membelanya, dan memang tak akan mungkin aku membela orang yg telah berdusta dan menghianati diriku. Suamiku ingin menjelaskan kronologisnya, tapi keluargaku tak mau mengerti, dosa yg dilakukannya sudah sangat besar, apalagi melihat aku sebagai korbannya.
Terakhir aku mengetahui, suamiku telah meninggal dikampung halamannya.

Pasca kepergian suamiku, hari-hariku hanya berisi tangisan dan air mata. Hanya ibuku yg memberikan kekuatan kepada diriku, sekaligus merawat bayiku.. Keimananku goncang luarbiasa, bahkan aku sempat menghujat ketidak-adilan Tuhan. Bagaimana mungkin, aku yg berusaha menjaga kesucian, menjaga kehormatan, menjaga keimanan bahkan selalu menghindari kemaksiatan harus mengidap penyakit yg hina ini. Penyakit yg pantasnya diterima oleh para pelaku maksiat, para pelaku durjana. Aku tidak mengerti apa yang engkau mau ya Tuhaaan, teriakku setengah gila. Ibuku yg sudah lanjut usia hanya menangis tersedu-sedu. Matanya yang teduh kini sembab. Ia hanya bisa mengelus rambutku dan berusaha menyadarkan diriku. Sambil terus berdoa kepada Allah dengan ketulusan semoga aku diberi kekuatan untuk melewati hari-hari yg berat ini. Ibu hanya bisa berkata "Anakku Nina, ibu tahu, engkau sepertinya tidak siap menerima takdir ini, tidak siap menerima kenyataan ini. Tapi apakah engkau menyadari bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba-hambanya yang sabar dan selalu berbuat baik? Ibu yakin nak, engkau pasti sanggup melewati ini semua, bukankah Allah tidak akan memberikan cobaan diluar kesanggupaan hambanya?. Lihatlah nak, engkau selalu berbuat baik, selalu beribadah, selalu menolong orang lain, membantu teman yg kesusahan, selalu bersedekah, puasa sunnah, menjaga kehormatan, menutup aurat, menjauhi maksiat. Jika engkau berfikir bahwa Allah tidak adil kepada engkau, tidak sayang kepada engkau, engkau salah. Justru Allah sedang memilih dirimu untuk menjadi tauladan bagi orang lain, minimal bagi orang-orang yang mengenal dirimu bahwa engkau adalah wanita paling mulia diabad ini karena ketabahanmu menerima takdir ini. Jika engkau merasa penyakit ini adalah penyakit kutukan dan azab bagi penderitanya, engkau salah nak, azab hanya berlaku bagi pelaku maksiat dan engkau bukanlah pelaku maksiat sayangku". Sama seperti bencana yg dialami mereka korban tsunami, toh tsunami tidak hanya mengenai para pelaku maksiat saja. Beda dengan tsunami yg memakan korban massal, penyakit ini memakan korban satu-demi satu dan tidak hanya menimpa para pelaku maksiat, tetapi menimpa juga orang-orang terdekatnya yg belum tentu berdosa, seperti bayimu. Nasehat ibu dengan kata-kata lembut namun tajam menusuk kalbuku, menyadarkanku dari gurauan emosi dan amarah yang sejak pengakuan pertamakali suami ku akan situasi yg tidak nyaman ini, membuat aku tersadar dan tersentak, bahwa aku memang manusia pilihan dalam tanda petik. Kalau orang pilihan menginginkan situasi yg indah dan bahagia, terpilih sebagai putri, atau pemimpin, tapi aku adalah orang pilihan Allah untuk menghadapi situasi yang tidak biasa ini, situasi yang tidak semua orang sanggup melewatinya. Situasi dimana perbedaan antara kesabaran dan keterpaksaan sangat tipis. Hanya bisa diukur dengan keimanan yang kuat dan keyakinan yang tajam bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hambaNYA.

Hidup di dunia mengalir seperti air, zaman pun bergerak mengikuti lekuk-lekuk sungai waktu, menghabiskan masa-masa manusia dan masa-masa alam semesta. Setiap pergerakan baik pergerakan galaksi di langit, atau pergerakan daun yang jatuh ditengah hutan lebat, semuanya pasti dengan sepengetahuan sang Pencipta. Dan aku disini pasca kelahiran anakku, hanya bisa berharap dan pasrah kepadaNYA. Hari-hari ku bagai berjalan lambat, waktu terasa berhenti, tapi aku sadar hidup harus terus berjalan, aku masih memiliki seorang jiwa mungil yg lucu dan imut yang harus aku hidupi, untuk merajut hari esok yg lebih baik, meski aku tak tahu siapa yag akan lebih dahulu pergi meninggalkan dunia ini, apakah aku atau bayiku. Dengan penyakit yang kami derita ini, kami berdua hanya menunggu waktu, berteman tasbih dan zikir, berselimut tabah dan sabar, semoga Allah menerima kesabaran kami. Aku tak pantas menangis ketika aku tahu, bayi kecilku masih tersenyum manis kepadaku seraya memanggil Mama..

-o0o-

Untuk seorang sahabat, semoga engkau dan bayimu kelak menjadi penghuni syurga.
Kami salut terhadap ketegaranmu. Disaat ibu-ibu yang lain didunia merayakan hari ibu dengan gembira, engkau telah merayakan hari ibu bersama bayimu setiap hari.

FAKTA : Di Indonesia ada sekitar 3 juta jiwa penderita HIV, dan separuhnya adalah korban tak berdosa yg tak mengerti mengapa mereka bisa terinfeksi virus itu.

Monday, December 07, 2009

IQuran Aplikasi Mobile Qur'an dengan tajwid berwarna




Dalam masa hidup yang singkat ini, ketaatan seorang hamba menjadi nilai tersendiri di mata Allah. Ketika godaan kehidupan dunia begitu besar merasuki sudut-sudut rumah hamba, mengalir dalam bulir-bulir darah, bergumul dengan riuh rendahnya televisi yang hampir menjadi kebutuhan pokok hampir semua manusia di abad modern ini, kebutuhan akan ruh yang damai menjadi sangat penting dalam menyikapi godaan itu. Kembali kepada Quran, tilawah dan menyelami ayat demi ayat, surah demi surah dalam balutan kehangatan rahmat yang diturunkan lewat bibir-bibir kita, setiap huruf demi huruf yang dibalas dengan 10 kebajikan, membuat hamba menjadi begitu dekat dengan penciptanya. Godaan dunia, hedonis, materialis dan sebagainya insya allah dapat ditepis dengan kembali dekat kepada quran. Kembali kepada aturan hidup yang dibuat oleh pembuat kehidupan itu sendiri, Allah ajja wajalla.

Kini, seorang sahabat menawarkan sebuah pendekatan khusus untuk menuju kesana, memakai sebuah gadget modern, tools canggih yang sekarang sudah menyamai kebutuhan primer seorang manusia modern, yang mengikuti kemana saja mereka pergi, siang dan malam, bahkan ketika tidur pun tak lepas dari alat itu, yakni telepon seluler atau hand phone. Saat alat yang menjadi karib manusia modern itu sekedar menjadi alat bantu pekerjaan, kini dengan piranti yg dikembangkan oleh Saliima Software, ia menjadi karib yang membantu meraih pahala sebanyak-banyaknya. Saat kita senggang, saat di kantor, saat di rumah, saat di mushola atau di masjid, saat sedang menunggu seseorang, teman karib kita itu akan membantu kita berzikir melantunkan ayat-ayat Allah, melafadzkan kebesaraNYA dalam tilawah-tilawah yang tiada henti kita lantunkan.

Semoga dengan software ini, keimanan kita kembali menjadi berkualitas, kembali menjadi orang yang beruntung, yang menyadari bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Ia hanyalah tempat persinggahan bagi kehidupan yang lebih kekal selanjutnya. Semoga dengan mendownload software ini, menjadi tambahan amal baik kita dimata Allah. Amin ya robbal 'alamin.

Silahkan kunjungi http://elevendream.com untuk mendownloadnya.


Jazakumullah Khairan Katsiir

Friday, December 04, 2009

Cerita tentang Hak dan Kewajiban

Dalam perjalanan hidup manusia didunia, sering kali manusia hanya menyukai hal-hal yang menyenangkan saja dan membenci hal-hal yang menyakitkan Entah itu memang bawaan sifat manusia yang selalu berkeluhkesah (QS: 70:19), atau memang sudah tabiat manusia yang selalu menginginkan sesuatu dengan cepat dan serba instant alias susah untuk bersabar, terutama bersabar tentang suatu kebahagian, baik itu kebahagiaan materi maupun kebahagiaan batin. Bahkan ketika sedang tertimpa musibahpun; misalnya sakit; manusia kadang tidak sabar, manusia menginginkan cepat sembuh dari sakit dan berlalu penderitaan itu.

Kisah dalam alquran menceritakan bagaimana manusia mempunya sifat yang demikian

QS 10 : 22. Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur."

QS 10: 23. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Secara sadar atau tidak, semua ketidaknyaman, semua tragedi, semua musibah yang terjadi adalah akibat kezaliman dirikita sendiri. Betapa naifnya kita yang merasa selalu sial, yang merasa selalu kurang beruntung, yang merasa hidup selalu susah bahkan merasa bahwa Allah tidak adil; menunjuk ketidaknyaman itu kepada takdir Allah; padahal itu semua adalah buah dari ketidaksyukuran kita atas rizkiNYA dan buah kesombongan kita karena merasa tidak butuh pertolongan Allah meskipun kesombongan itu tanpa kita sadari.
Jadi ketika kita sedang tertimpa musibah, sedang berada diposisi terendah, sedang berada dititik nadhir, barulah kita merasa butuh akan pertolongan Allah.

Secara logika, ketika kita menginginkan hak kita ditunaikan, sudah selayaknya kewajiban kita dulu yang harus ditunaikan, sederhananya, seseorang akan digaji jika ia telah melakukan pekerjaannya. Begitulah seharusnya yang benar. Jika kita menginginkan pertolongan dari Allah apakah kewajiban kita kepadanya telah kita tunaikan?, atau apakah ada hak-hak Allah yang kita selewengkan. Sementara 17 kali kita menyatakan bahwa “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepada Mu lah kami minta pertolongan” dalam bacaan sholat lima waktu yang kita kerjakan. “Iyyaka na’budu, wa iyyaka nastain” itu ada perintah yang jelas penekanannya yakni obyek lebih di dahulukan kemudian predikat mengikuti; HANYA KEPADA ALLAH kami menyembah, bukan kepada yang lain, sebagai bentuk kewajiban didahulukan, kemudian penekanan diulang kembali untuk kalimat berikutnya; dan HANYA KEPADA ALLAH kami meminta pertolongan; bukan kepada yang lain, sebagai bentuk hak yang bisa kita minta dari Allah.

Dalam janji yang selalu kita ucapkan disetiap rakaat sholat kita itu, kita menyatakan akan berjanji mendahulukan kewajiban kita kepada Allah kemudian barulah kita meminta hak kita. Adakah semua kita laksanakan seperti yang kita ucapkan dalam bibir-bibir kita itu. Bahkan mungkin secara sadar atau tidak kita berbuat zalim lebih dari itu. Disini ada dua kemungkinan yang kita lakukan :

Pertama kita tidak pernah melaksanakan kewajiban sebagai hamba, kita tidak pernah menyembah Allah, tetapi ketika dalam kondisi susah kita meminta pertolongan kepadaNYA. Bagaimana bisa berharap hak kita dikabulkan Allah, sedang kewajiban tidak pernah dilaksanakan. Yang lebih parah malah kita bersuuzhon kepadaNYa dan menyatakan bahwa Allah tidak adil, jika permintaan kita tidak dikabulkan.

Kedua, sehari-hari kita memang menyembah Allah, melaksanakan kewajiban kepadaNYA, tetapi dalam kesempatan lain kita malah minta tolong kepada selain Allah, bahkan dalam kondisi tertimpa musibahpun malah meminta tolong kepada dukun/peramal/orang pintar dsb. Bagaimana Allah akan menolong kita jika benih-benih syirik masih bersemayam dihati ini?

Idealnya, adalah kita menyembah kepada Allah dan meminta pertolonganpun juga kepadaNYA, kita laksanakan kewajiban kita, setelah itu barulah kita meminta pertolongan kepadaNYA. Antara hati, mulut dan tindakan kita sesuai dan serasi.
Insya Allah jika kita telah konsisten dengan apa yang kita lakukan, apapun yang kita minta akan dikabulkan oleh Allah. Jika tidak dikabulkan didunia, maka Allah akan melipatgandakannya di Akhirat nanti

Wallahu’alam bishowab.

Diolah dari merenungi khutbah jumat siang tadi di Masjid Alkautsar Villa Kelapa Dua JakBar.

Thursday, November 19, 2009

Iblis pun berkorban

Life is struggle and every struggle needs sacrifice and the real sacrifice is do sincere with disinterested

Hidup adalah perjuangan dan setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan dan pengorbanan yang sesungguhnya adalah melakukan dengan tulus tanpa pamrih (ikhlas)

Dalam perjalanan hidupnya didunia sebagai tempat persinggahan menuju tujuan akhir yakni akhirat, manusia senantiasa dihadapkan kepada satu hal yang tidak bisa dihindari yakni bahwa hidup didunia harus dengan susah payah.

Alquran dengan jelas menerangkan hal itu.
QS:90, 4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.

Jadi secara pabrikan (OEM) standard manusia dibuat dengan kondisi bersusahpayah, tinggal pemaknaan dan penerimaan rasa dari setiap individu yang berbeda-beda.
Karena takdir, ada yang sejak bayi sudah menjadi konglomerat, karena takdir pula ada yang lahir dalam kondisi terbuang dan tak diinginkan. Seiring dengan perjalanan mengisi kehidupan, barulah masing-masing individu diberikan akal dan fikiran yang berguna untuk menentukan arah masing-masing, apakah ia senang bermalas-malasan sehingga tetap menjadi miskin, atau apakah ia akan rajin dan merubah nasibnya sendiri sehingga ia menjadi kaya raya. Tapi tetap itu semua tidak menghindarkan manusia untuk tetap bersusah payah dalam segala aktifitas kehidupannya.

Dalam kondisi bersusahpayah itu, Allah pun menguji manusia untuk memberikan pengorbanannya sebagai ujian untuk mengetahui mana emas dan mana loyang, mana beriman dan mana yang kafir.
Dalam tahap pengorbanan itulah manusia dihadapkan dalam satu kondisi yang tidak enak, karena memberikan sebagian nikmatnya untuk mahluk lain. Disini keikhlasan hadir sebagai keyword, sebagai kata kunci yang membedakan pengorbanan seorang manusia dengan manusia lainnya, seperti perbedaan qurbannya habil dengan qobil.

Keikhlasan Kuadrat

Ketika manusia dalam kondisi sulit, ketika manusia dalam kondisi dibawah titik nadhir, sesungguhnya itu adalah saat yang tepat untuk menghadirkan dua keikhlasan. Pertama, ikhlas menerima takdir bahwa saat itu nasib sedang berada dilevel bawah, dimana tidak ada manusiapun yang mau jika diberikan kondisi seperti itu. Kedua; ketika dalam kondisi dibawah, tetap mampu berkorban dengan ikhlas untuk orang lain. Pengorbanan yang tidak harus berbentuk ternak, tetapi berbentuk materi atau hal lain seperti tenaga dan kesabaran.

Jika kita merasa sebagai orang yang paling menderita (baca: merasa dititik nadhir), apakah kita sudah membandingkan dengan orang lain disekeliling kita, apakah rasa menderita itu karena kita yang kurang sabar atau karena kita belum bisa menghadirkan keikhlasan atas kondisi itu, bagaimana mungkin kita bisa memberikan pengorbanan lain, jika untuk diri sendiri saja kita belum ikhlas. Bagaimana bisa mendapatkan ikhlas kuadrat sedang menghadirkan ikhlas yang pertama saja tidak sanggup.

Karena Perbuatan Sendiri

Jika seorang yang jatuh karena kemaksiatannya, jika seorang kini berada dititik nadhir karena kejahatannya, lantas ia merasa telah berkorban karena menerima hukuman dari Allah atas perbuatannya, dan merasa ikhlas dalam menerima hukuman itu, maka apakah pantas dikatakan ia telah berkorban, padahal peristiwa itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Jika seorang pejabat merasa dizhalimi, jika seorang pembesar merasa dibenci, sedangkan hujatan masyarakat itu datang atas perbuatan dirinya sendiri, pantaskan sang pembesar merasa menjadi korban, kemana nurani yg dulu ditinggalkan saat berbuat curang kepada ummat dan masyarakat
Jika para koruptor itu merasa dirinya telah berkorban maka bisa dikatakan iblispun telah berkorban bukankah demikian?.


Wallahualam Bishowab.

Wednesday, November 18, 2009

Dialog saya dengan Bapak Presiden

Hari beranjak larut, hujan yang menguyur Jakarta sejak sore tadi telah berhenti mengalir, tinggal gerimis yg turun perlahan bagai butiran kapas, menyejukkan bumi yg makin hari makin terasa panas. Malam pun terasa kian dingin menusuk tulang, meski mesin pendingin ruangan telah saya matikan sejak beberapa jam yang lalu. Sedikit pekerjaan telah saya rampungkan, ditemani segelas teh hangat dan siaran televisi dari sebuah stasiun tv swasta yang menyiarkan siaran langsung rapat kerja anggota DPR dengan tiga lembaga hukum yakni kepolisian, kejaksaan dan KPK terkait rekomendasi Tim 8 dalam kasus Bibit dan Chandra, dua orang mantan pimpinan KPK yang tersandung kasus rekayasa kriminalisasi KPK. Waktu telah menunjukan pukul 23.55, hingga tengah malam seperti ini, terlihat rapat masih terus berlangsung, bahkan diperkirakan akan sampai pagi, karena baru setengah anggota dewan yang mengajukan pertanyaan. Bagi saya pribadi, raker anggota dewan dengan tiga lembaga hukum itu merupakan dagelan politik, karena sudah bisa ditebak arahnya kemana.

Malam makin larut, mata pun sudah tak kuat untuk meneruskan pekerjaan, akhirnya untuk menghilangkan kantuk, sejenak saya rebahkan tubuh di sofa untuk meluruskan otot-otot tubuh dan menikmati rasa kantuk itu sepuluh sampai lima belas menit, agar tubuh segar kembali setelah bangun kemudian dan rasa kantukpun akan menghilang seketika. Belum lima menit mata ini terpejam, tiba-tiba pintu depan diketuk dengan keras. Terdengar suara salam dengan nada berat, seraya memanggil-manggil nama saya. Saya pun bangkit dengan malas seraya bertanya-tanya, siapasih tengah malam bertamu kerumah ini, apakah kerabat atau Pak RT dengan hansipnya. Pintu saya buka perlahan dan dibawah lampu temaram, saya lihat dua orang berbadan tegap bersafari hitam menyapa saya dengan senyum dipaksakan. “assalamu’alaikum, selamat malam, apakah bapak yang bernama Rojali Dahlan?”, “benar jawab saya, anda-anda ini siapa?”. Seorang yang berkumis tipis dan berdagu kelimis menjawab seraya menyerahkan kartu anggota dan selembar surat berlogo bintang dikelilingi padi melingkar berwarna keemasan kepada saya. “Maaf kami dari Pasukan Pengawal Presiden, saya Kolonel Amru dan ini kartu anggota saya. Bapak dipanggil ke Istana oleh Bapak Presiden, katanya ada hal penting yang ingin beliau tanyakan dan ini suratnya”. Saya diam terbengong-bengong, ada apa Presiden memanggil saya, dan apa hubungannya dengan saya, apakah berhubungan dengan komentar-komentar dan status saya di facebook atau diblog saya yang sering mengkritik presiden atau ada hal lain, dan mengapa sebegitu pentingnya saya sehingga harus dipanggil oleh presiden. Benak saya menerka-nerka dan berfikiran negative, jangan-jangan ini seperti zaman suharto, menculik dan menghilangkan orang yang tidak sefaham dengan penguasa. Tapi saya menepis fikiran seperti itu, saya tidak pernah berbuat macam-macam dan saya tidak yakin di zaman reformasi dan keterbukaan seperti ini tidak mungkin presiden kembali melakukan hal konyol seperti itu, apalagi saya bisa melihat dari attitude beliau yang komitmen dalam membela penegakkan HAM. Akhirnya saya sebagai orang awam, hanya meminta surat bukti pemanggilan saya itu sembari meyakinkan diri bahwa benar bahwa surat itu adalah surat resmi kepresidenan mengingat logo bintang dan padi berwarna emas yang menunjukan bahwa itu logo kepresidenan yg saya kenal. Saya bangunkan istri saya dan menjelaskan seluruhnya, istri saya sempat tidak percaya, tetapi setelah diyakinkan oleh Paspampres tadi dan mendapat jaminan tertulis bahwa tidak akan terjadi apa-apa dengan saya, sekaligus meminta nomor HP Presiden secara pribadi barulah istri saya merasa yakin. Saya bertanya, mengapa harus tengah malam buta begini, sang kolonel menjawab bahwa waktu yang dimiliki bapak presiden sangat sempit, dan ini menyangkut kepentingan bangsa yang besar. Beliau harus mengambil keputusan secara cepat, untuk menghindari mudharat yang lebih besar.

Lima belas menit kemudian saya selesai salinan dan pamit kepada istri saya, saya lihat jam dinding menunjukan pukul 01.10 dini hari. Saya paham kebiasaan beliau dari buku yang pernah saya baca, bahwa presiden kita ini jika menghadapi masalah apalagi menyangkut masalah penting jam berapapun beliau akan memanggil siapapun yang dirasa patut dipanggil, seperti kisah yang diceritakan mantan jubir beliau, Pak Dino saat peristiwa tsunami melanda Aceh beberapa tahun lalu yang dipanggil beliau pada pukul 02.00 dini hari. Sejurus kemudian saya sudah duduk dikursi tengah Nissan Terano ditemani dua orang paspampres, satu orang supir dan seorang ajudan Presiden. Sepanjang perjalanan saya bertanya-tanya kembali, sebegitu pentingkah saya sehingga presiden harus memanggil saya untuk membantunya memecahkan masalah? Atau ini adalah kebijakan beliau yang pernah berkomitmen untuk mendengarkan suara rakyat kecil. Dan mengapa harus saya, dari mana beliau mengetahui tentang saya dan apa kapasitas saya, apakah dari tulisan-tulisan dan komentar saya diinternet,juga artikel-artikel yang pernah saya tulis? Pertanyaan itu terus membahana di benak saya, berputar-putar dalam sudut-sudut otak saya yang semakin tak mengerti apa sebenarnya keinginan sang presiden ini terhadap saya.

Empat puluh lima menit kemudian saya tiba di istana, menyusuri koridor diantar sang ajudan menuju ruang kerja sang Presiden. Saya berfikir, tidak biasanya presiden menginap di istana, seingat saya, beliau lebih sering mengambil keputusan di rumahnya ketimbang di istana, jadi jika hari sudah menjelang malam, beliau meneruskan tugasnya sebagai presiden dari kediamannya. Tapi beda untuk kali ini, mungkin karena isunya sangat penting dan krusial beliau lebih memilih untuk menuntaskan keputusannya dengan menginap di istana. Pintu besar berwarna cokelat itu diketuk perlahan oleh sang ajudan, terdengar suara khas disertai salam hangat dan perintah untuk menyuruh masuk dari orang didalam ruangan itu. Sayapun lantas mengenalkan diri seraya menjabat tangan beliau. Sebagai presiden, beliau cukup berkharisma, dengan tubuh tegap dan tinggi besar tak lupa senyum khasnya seraya menawarkan minuman kepada saya. Saya bilang terserah minuman apa saja pak. Sejenak kemudian beliau menelpon dapur istana untuk menyediakan kopi susu untuk kami. Pembicaraan-pembicaraan ringan sebagai perkenalan mengalir dari mulut beliau, dan beliau sepertinya faham atas kebingungan saya mengapa saya harus berada di tempat itu. “Dik Jali,’ sapa beliau akrab memanggil saya, saya hanya butuh nasehat dan saran untuk memecahkan masalah yang saya hadapi ini, saya mencari orang yg kira-kira pas dan sesuai, tanpa pamrih kepada saya dalam setiap pandangan-pandangannya, dan itu saya lihat dari tulisan-tulisan Dik Jali di internet. Saya pernah membaca artikel Dik Jali yang menyentuh hati saya, artikel dengan judul surat terbuka untuk bapak Presiden yang ditayangkan di media www.eramuslim.com beberapa waktu lalu. Lalu saya menyuruh ajudan saya untuk mencari dimana Dik Jali tinggal, karena saya ingin bertukar fikiran dengan Dik Jali". Hati saya bergemuruh seraya berkata wow sampai segitukah dampak tulisan saya. Betapa beruntungnya saya bisa berhadapan dengan penguasa dan membantu memecahkan permasalahan bangsa dengan ide-ide yang terlepas begitu saja dari benak ini. Betapa terhormatnya saya bisa memberikan saran dan nasehat kepada bapak Presiden yang dengan nasehat itu mudah-mudahan bisa membantu membuka jalan fikiran beliau, demi kemaslahatan bangsa dan negara. Tapi perasaan minder dan tak berarti apa-apa membuat saya merendah, “Pak presiden, jawab saya, saya hanyalah orang biasa, latar pendidikan saya hanyalah seorang sarjana komputer, ilmu saya pas-pasan, dimasyarakat saya bukan tokoh penting, saya hanyalah seorang ayah, seorang kepala rumah tangga, pemimpin perusahaan kecil dan ketua sebuah yayasan kecil dalam bidang pendidikan islam di bilangan palmerah, tidak lebih dari itu. Saya bukanlah seperti anggota wantimpres yang bapak pilih, dengan latar belakang pendidikan doktor dan profesor dari universitas terkenal didalam dan luar negeri, dan saya bukanlah orang yang pantas untuk itu”. “Tak mengapa Dik Jali, saya tidak melihat itu semua, saya hanya melihat dari isi bukan dari casingnya, jawab beliau bijaksana”. Baiklah, apa yang bapak ingin utarakan dari saya. “begini Dik Jali, isu paling terakhir yang berkembang di masyarakat yang cukup menggetarkan Indonesia bahkan dunia adalah tentang isu kriminalisasi KPK, tepatnya isu Bibit dan Chandra. Tadinya saya berusaha untuk tidak ikut campur, karena masalah ini adalah masalah hukum dan presiden tidak berhak mencampuri proses hukum, tetapi ternyata isu itu berkembang luar biasa dan menyinggung ranah sosial dan politik. Blow up dari media dan aksi sosial dari media online semacam facebook membuat gerakan masyarakat mengarah kepada people power, dan saya khawatir, bangsa kita bisa terguncang jika masalah ini tidak terselesaikan dengan baik. Saya juga sudah membentuk TPF, dan tim itu sudah memberikan rekomendasi kepada saya, tetapi saya bingung. Saya tidak mau dipaksa untuk melakukan sesuatu diluar wewenang saya, dan saya tidak mau menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum. Jika saya ikuti rekomendasi Tim 8, benar rakyat akan tenang dan kepercayaan masyarakat akan pulih kepada saya, tetapi saya akan menciderai proses hukum. Jika saya abaikan rekomendasi itu, maka saya seperti menjilat ludah sendiri, secara hukum saya benar, tetapi rakyat bisa bergejolak. Terus terang ini seperti memakan buah simalakama” Jelas Presiden dengan mimik muka serius.
“Oh itu masalahnya”, jawab saya seolah-olah tidak mengetahui. Bapak ingin jawaban yang bagaimana, yang menyenangkan atau yang menyakitkan. “Maksudnya?,” tanya Presiden bingung. Begini pak, kalau jawaban yang menyenangkan saya akan menjawab sesuatu yang akan menyenangkan bapak, seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekeliling bapak selama ini, tetapi kesenangan jawaban itu hanya berlangsung sesaat, justru setelah itu bapak akan dibuat menderita karena jawabannya tidak sesuai dengan fakta dan kenyataan yang terjadi. “Baik-baik, saya akan meminta jawaban apa adanya, sekalipun itu menyakitkan”. Sela bapak presiden. “Syukurlah pak, dan memang sudah seharusnya bapak mendapatkan jawaban yg sesungguhnya meskipun itu menyakitkan, karena jawaban yang menyenangkan alias ABS itu bukan porsi saya, tetapi porsi anak buah bapak yang membuat masalah ini berlarut-larut”, tegas saya tanpa rasa takut. Sengaja saya berhenti untuk melihat gesture presiden, apakah benar-benar telah siap menerima jawaban saya. “Lalu”, tanya beliau mempersilahkan saya untuk meneruskan jawaban itu. “Sebelum saya lanjutkan, saya mohon maaf untuk meminta bapak berkata jujur dari hati nurani yang paling dalam”. “Maaf Pak, apakah bapak terlibat dalam masalah ini?” Tanya saya tanpa tedeng aling-aling? “Apa??” beliau terkaget-kaget atas pertanyaan saya, “ya tentu tidak Dik Jali” “untuk apa saya berbuat seperti itu”, “saya tidak akan mempertaruhkan jabatan saya untuk hal seperti itu” tegas bapak presiden membela diri. “Syukurlah kalo bapak tidak terlibat, jadi bapak akan mudah mengambil keputusan tanpa dibayang-bayangi oleh kepentingan. Dan jika kita tidak punya kepentingan, buat apa kita ragu-ragu dalam memutuskan, justru kalau ragu-ragu dan lambat, masyarakat akan curiga, jangan-jangan bapak terlibat”. “Saya bukan tipe orang yang tergesa-gesa, saya selalu mengambil keputusan dengan pertimbangan yang sangat matang, apalagi ini menyangkut hukum yang penyelesaian idealnya adalah melalui jalur hukum, saya tidak mau mengintervensi hukum” tegasnya kembali.

“Pak, bapak memang tidak salah ingin menegakkan hukum dan memang itu seharusnya, tapi ada yang lebih penting dari itu semua, Bukankah menegakkan hukum bagian dari menegakkan kebenaran dan keadilan? Coba kita tanyakan pada hati nurani yang jernih, lebih utama mana, menegakkan kebenaran dan keadilan atau menegakkan hukum?. Bukankah jika keadilan telah tegak, otomatis hukum akan tegak, dan tidak semua penegakkan hukum akan memenuhi rasa keadilan juga berapa banyak penegakan hukum mencederai keadilan dan kebenaran, berapa banyak yang tidak bersalah divonis dan yang bersalah melenggang bebas?, benar vonis sudah dibacakan dan hukum sudah ditegakkan, tapi apakah keadilan juga sudah ditegakkan jika ada kasus seperti itu.?”
“Bapak Presiden, tidak semua penegakkan keadilan dan kebenaran itu selalu berlandaskan legal formal. Penegakan kebenaran dan keadilan bukanlah pekerjaan sepele, yang tidak menimbulkan resiko apa-apa. Justru pahala besar akan datang kepada pemimpin yang berbuat keadilan, pemimpin yang akan dinaungi di akhirat nanti, dimana tidak ada naungan satupun kecuali naungan Allah. Pemimpin yang adil juga akan duduk bersama-sama para nabi dan hamba Allah yang soleh. Jika bapak hanya ingin menegakkan hukum, bapak hanya akan mendapatkan ganjaran dunia, yakni jabatan bapak akan selamat, karena bekerja sesuai koridor hukum, tetapi keadilan bapak akan digugat di akhirat nanti. Tapi jika bapak menegakkan keadilan, meskipun jabatan bapak akan hancur, bapak akan tetap dikenang oleh rakyat yang mencintai bapak, akan dikenang dan didoakan oleh orang-orang yang mencintai kebenaran dan keadilan, dicintai oleh mahluk langit dan bumi dan diridhai oleh Allah SWT. Mana yang lebih baik menurut Bapak?”. Tanya saya dengan muka serius. “Banyak kisah yang menceritakan bahwa menegakkan keadilan lebih utama dari menegakkan legal formal. Contoh, andai kata para pemuda kemerdekaan seperti BM Diah, Sukarni dan kawan-kawan tidak memaksa Ir. Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan RI pada tanggal 17 agustus 1945 dengan menculiknya ke Rengas dengklok, dan Soekarno lebih memilih legalitas perjanjian dengan Jepang yang akan memberikan kemerdekaan jika tiba saatnya, niscaya bangsa kita tidak pernah tahu kapan akan merdeka. Contoh lain seandainya Nabi hanya mengikuti aturan formal bahwa pemimpin haruslah yang sudah senior, niscaya beliau tidak mengangkat Usamah bin zaid yang baru berusia 18 tahun untuk menjadi panglima perang menghadapi Romawi. Para pemimpin besar tidak memimpin dengan legal formal, tidak hanya mengandalkan logika semata, tetapi mereka memimpin dengan hati, dan hati merekalah yang bisa menembus kebenaran dari suatu permasalahan, meskipun bertentangan dengan logika dan legal formal. Pemimpin yang memimpin sekedar mengandalkan aturan legal formal, seperti robocop yang bekerja sesuai dengan perintah atasannya dan rule program yg diistall di memorinya. Mana kala ada rule/aturan yang melarang robocop untuk membunuh/menangkap petinggi OCP, meskipun petinggi OCP itu berlaku korup dan kriminal, keadilan tidak bisa ditegakkan oleh robocop, ia tidak bisa menyentuh CEO OCP itu sampai ada perintah eksternal yang diberikan oleh petinggi OCP lainnya, yakni memecat CEO korup itu, barulah robocop bisa mengeksekusinya. Apakah anda ingin disamakan dengan robot seperti itu?”
Bapak presiden terlihat diam membisu, cukup lama beliau dalam kondisi seperti itu, kemudian kata-kata saya kembali memecah sunyi
“Bapak Presiden, Penegakan kebenaran dan keadilan lebih utama bagi rakyat ketimbang pembangunan ekonomi. Sebab jika kebenaran dan keadilan sudah ditegakkan, rakyat tidak akan khawatir kalau hak-hak dan jatah hidupnya akan diambil atau dikorupsi oleh orang lain, yang ujung-ujungnya rakyat akan sejahtera karena keadilan ekonomi merata bagi mereka. Bukankah yang memiskinkan mereka selama ini karena hak-hak dan jatah mereka dikorupsi oleh orang-orang bejat tak bertanggung jawab itu?”
Bapak presiden masih terlihat membisu, sayapun melanjutkan kalimat,
“Bapak Presiden yang saya hormati, memang sulit untuk menegakkan keadilan, sedang kita sendiri tidak mengetahui dimana keadilan itu berada. Untuk itulah Allah memberi nikmat akal dan hati yang jernih untuk melihat dimanakah kebenaran dan keadilan itu berada. Saran saya marilah kita tauladani sikap Nabi Yunus, ketika menyadari bahwa beliau salah dalam mengambil keputusan dan meninggalkan ummatnya karena ketidaksabaran beliau, hingga beliau ditelan oleh ikan besar, lalu beliau langsung bertobat dan berdoa dalam doanya yang sangat terkenal itu. Subhanaka laillaha anta, ini kuntu minal dzholimin, maha suci engkau ya Allah, tidak ada Tuhan selain engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.”
“Bapak Presiden, untuk kasus kali ini, dan juga untuk kasus-kasus yg lain, tolong bapak mengambil keputusan dengan hati, bukan dengan asas legal formal, insya allah hasilnya akan lebih baik dari pada apapun, dan bangsa ini akan selamat”. Lupakan sementara resiko jabatan, karena jabatan adalah amanah dan dia akan pergi jika Allah menghendaki, sebagaimana dia datang saat Allah menghendaki juga. Bukankah bapak dulunya juga bukan siapa-siapa?”

Tak terasa waktu mengalir begitu cepat, sayup-sayup terdengar pengumuman dari masjid bahwa sebentar lagi akan masuk saat subuh, saya pun mohon pamit kepada Presiden seraya mendoakan semoga diberi hidayah dan kebeningan kalbu agar dapat memimpin dengan hati, seperti para pemimpin besar lainnya. Presiden terlihat menangis, airmatanya terburai menahan haru, ia tidak bisa menyembunyikan keharuannya atas nasihat-nasihat yang keluar dari mulut saya, entah mengapa saya begitu lancar berkata kepada sang Presiden, seperti berkata kepada sahabat dekat saja. Syukurlah, pesan saya sampai ke lubuk hatinya, dan memang itu yang saya harapkan, saya menginginkan agar hatinya mudah peka dan perasaannya halus, agar empatinya tajam terhadap nasib rakyat ini.
Setelah berterimakasih, sang presiden memberikan bingkisan sebuah buku kepada saya, buku yang sangat saya kenal, yakni La tahzan, jangan bersedih karya aidh alqarni. Buku yang sangat bagus untuk mengobati hati-hati yang terlanjur karat oleh kesombongan dan kemunafikan. Rupanya sang Presiden telah lama mengenal buku itu, dan dari buku itu pula beliau mudah tersentuh oleh tulisan-tulisan yang membangun jiwa.

Saya segera pamit untuk pulang, di perjalanan saya seakan tak percaya, baru saja berbicara dan berdiskusi saling memberi tausiah kepada seorang presiden penguasa negeri ini. Tapi ketika saya duduk termenung dalam Nissan terano yang mengantar saya pulang, tiba-tiba sebuah sepeda motor menyalip kami dan dengan repfleks sang sopir membanting setir ke kiri tetapi tak ayal mobil kami menjadi terjungkal karena menabrak trotoar, saya yang sedang bengong terlempar keluar jendela, ketika saya bangun, saya tersadar sedang berada dilantai disamping sofa tempat saya tertidur semalam.

Tengah malam 18 November 2009

Friday, October 09, 2009

Bandar Jakarte



"Cintaku pada kampung halaman seperti cinta sang nabi pada negeri mekah tempat kelahiran

Meski kusam dan berubah dalam wajah, ia tetaplah bumi pertiwi
Tempat bocah-bocah kecil menggayut dalam kehangatan
Tempat rindu-rindu masa kecil mesra tertanam
Mengingatmu seperti mengingat kekasih pujaan
Merenungimu seperti kembali kemasa silam
Dalam bulir-bulir sejarah yang terlepas
Dalam benih-benih mimpi yang mencengkram malam
Yang tetap kau kejar hingga saat ini
Dalam khayalmu dulu di tempat ini."

Kemanggisan Palmerah dulu dan sekarang

Kemanggisan Palmerah, sebuah distrik ditengah kota Jakarta yang kalo kita zoom out dari google earth terletak di sebelah barat daya (arah jam 8) dari monas, berbatasan dengan Petamburan di timur, Kebayoran lama di selatan, Kebon jeruk di barat dan Tanjung duren di utara. Sebelum pemekaran wilayah, Kemanggisan Palmerah masuk dalam wilayah kecamatan Grogol petamburan, tetapi kini menjadi kecamatan sendiri dengan beberapa kelurahan termasuk kelurahan Palmerah dan kelurahan Kemanggisan sendiri.

Lapangan Cina (Lapangan Sibun) dan kampus Binus

Dulu semasa tahun enam puluh sampai tujuh puluhan, wilayah kemanggisan/palmerah masih merupakan hutan dan sawah. Listrik pun baru masuk kesana sekitar tahun tujuh puluhan, bahkan rumah orang tua saya baru memasang listrik sekitar tahun delapan puluhan. Menurut cerita orang tua saya, dulu jarak antar rumah masih sangat berjauhan. Sepanjang jalan KH Sya’dan, tempat tinggal orang tua saya hanya beberapa gelintir tetangga saja yang tinggal di jalan itu. Dari ujung jalan di depan kompleks Mandala, hingga ke pertigaan jalan H. Taisir, semua tetangga saling mengenal. Bahkan nama jalan KH.Syahdan diambil dari ulama terkenal di seantero Kemanggisan Palmerah.
Kampus Binus Syahdan dulunya adalah sebuah lapangan yang bernama lapangan cina atawe lapangan Sibun ; menurut kisah yang diceritakan oleh paman saya; nama lapangan cina itu karena pemiliknya memang seorang cina yang tinggal dekat pasar Palmerah; Koh Sibun namanya, yang membelinya dari penduduk pribumi dengan menukarkan dengan sebuah oplet sekitar tahun enam puluhan. Kemudian tanah itu dibeli oleh pemilik binus dan dijadikan kampus pada tahun 1985.
Lapangan cina dulunya adalah sebuah resapan air dengan kebun-kebun singkong yang bertebaran. Letak tanahnya yang melengkung membuat air hujan selalu mengalir ketempat itu, hingga kalau musim hujan lapangan itu menjadi semacam danau kecil yang asyik untuk dieksplorasi oleh anak-anak kecil termasuk saya. Bagaimana tidak, letak lapangan itu persis disamping rumah orangtua saya, sehingga saya ingat betul bagaimana lapangan itu menjadi saksi berbagai macam peristiwa yang singgah ditempat itu.
Lapangan itu pernah menjadi tempat pertandingan sepakbola antar kampung, arena tujuh belasan, sebagai tempat penjual obat keliling, atraksi debus, pasar malam, posko partai persatuan pembangunan waktu kampanye di era ORBA, tempat olahraga aeromodeling, kandang kuda, kandang kerbau, lapangan bermain layang-layang raksasa, layang-layang kaleng krupuk, dan yang paling favorit bagi saya ketika itu adalah lapangan itu pernah menjadi bioskop misbar(gerimis bubar) alias layar tancap yang ditayangkan semalam suntuk.
Kalau dibulan Ramadhan, tempat itu menjadi ajang lomba bikin bleduran alias meriam tomong (meriam dari bamboo dengan bahan bakar minyak tanah yang dipanaskan) yang suaranya sangat menggelegar bagai perang betulan. Juga tempat menerbangkan “tuyul-tuyulan” yakni istilah untuk selembar koran dilipat mengembung dengan kait dari potongan lidi, kemudian dibakar secara serempak dimasing-masing sudut, sehingga udara panas yang terjadi mampu mengangkat Koran yang terbakar itu menjadi sebuah balon udara, lebih tepatnya balon api yang mampu membumbung tinggi ke angkasa.

Tempat Kenangan

Selain lapangan cina, ada beberapa tempat yang sangat bekesan dihati saya ketika saya kecil. Tempat pertama adalah Mushola Baitul Makmur yang terletak disebelah gedung Binus Center (WRI), tempat kami kecil berkumpul dan merayakan hangatnya ramadhan dimasa-masa kecil kami. Lalu ada mushola Darussalam yang kini berubah menjadi Mesjid Darussalam (orang kampung menyebutnya mesjid aji tado; sesuai dengan nama pewakaf tanah yakni alm H. Murtado). Mesjid ini terletak persis didepan kampus Binus Syahdan yang kalo hari jum’at terpaksa menutup jalan Syahdan untuk tempat sholat karena jamaah membeludak, untunglah ijin dari kapolsek Palmerah telah turun sejak lama guna memakai jalan umum untuk kepentingan masyarakat itu.
Dan tempat hangout yang paling asik saat saya kecil adalah kebun cakra yang terletak diseberang jalan Kebon jeruk (Binus anggrek sekarang). Konon kebun cakra dulunya adalah tanah milik satuan elit resimen cakrabirawa, pasukan yang pernah terlibat dalam peristiwa G30S empat puluh empat tahun silam. Di kebun seluas sekitar 10 hektar itu terdapat ruang yang sangat asri dimana didalamnya ada taman, hutan, rawa dan lapangan sepak bola. Pohon kelapa berjejer disepanjang jalannya. di sebelah utara, terletak gedung tua peninggalan Belanda yang pernah menjadi tempat syuting acara penampakan distasiun televisi swasta beberapa waktu lalu. Di tempat ini, banyak anak muda yang menjadikan kebun cakra sebagai tempat rekreasi sekaligus memadu asmara. Tempat itu juga dipakai sebagai lokasi “outbond” anak-anak kampung karena sering dijadikan tempat meluncur menggunakan pelepah kelapa yang telah kering, juga sebagai tempat latihan berenang di rawa yang banyak eceng gondoknya dan juga tempat berlatih para atlit sepak bola antar kampung. Saat ini kebun cakra telah banyak berubah, ia telah menjadi beberapa ikon, seperti kampus binus anggrek di selatan dan perumahan elit casagoya kebun jeruk di sebelah utara. Tinggal beberapa ribu meter saja tanah kebun cakra itu yang entah sekarang menjadi milik siapa.

Kemanggisan palmerah kini sudah tidak lagi menjadi kampung yang asri, ia telah berubah menjadi pecinan padat, seiring dengan hadirnya kampus Binus dan banyaknya penduduk asli menjual tanah mereka kepada para cukong yang menjadikan daerah itu pusat bisnis mereka. Komplek sandang pun; sebuah komplek diselatan Binus; yang dulu indah dan asri, satu persatu telah beralih kepemilikan menjadi rumah-rumah besar berlantai empat. Bahkan lokasi yang dulu bernama rawa kapitan alias sawah, tempat beberapa sekolah dasar negeri dan smk negeri berada, terdapat sebuah apartemen besar dan mewah yang menjulang tinggi, menutupi rumah-rumah dinas para guru sd negeri ditempat itu.

Sebenarnya masih ada beberapa tempat yang sering menjadi tempat rekreasi anak-anak pada masa itu. Salah satunya adalah daerah yang disebut rawa, lokasi di belakang bekas pabrik ubin batusari yang kini menjadi tanah kosong. Di rawa itu, kami anak-anak kecil sering berenang dan bermain-main disana, acara memancing menjadi sebuah kesenangan tersendiri,apalagi dimusim hujan, saat ikan-ikan dikolam milik alm H.M. Daud melompat masuk ke rawa karena kelebihan air. Yang paling mengasyikan adalah menangkap ikan dengan menggunakan petasan jangwe (mercon yang berbentuk roket dengan sebatang lidi sebagai penyangganya). Dengan modal sebatang paralon yang ujungnya ditenggelamkan ke dalam air sebagai peluncur, kami mengebom dasar rawa dengan petasan itu. Blaaar air memucrat tinggi seperti ledakan torpedo, sejurus kemudian banyak ikan-ikan mati mengenaskan tewas mengambang terkena ledakan torpedo itu, sungguh sebuah rekreasi yang murah meriah dan menyenangkan meskipun kami khawatir takut dimarahi orangtua karena perbuatan itu.
Tempat lain adalah lokasi yang dulu disebut “lobang” yang kini menjadi kantor kecamatan Palmerah. Disebut lobang karena tempat itu seperti jurang yang menganga akibat penggalian tanah yang sangat massif. Ketika hujan turun tempat itu menjadi danau yang sangat dalam dan menyeramkan.

ALCAS, PAKEM, KEMRAY, RABEL, dan GS

Dulu sekitar tahun delapan puluhan ketika pertandingan sepak bola masih ramai, dan PSSI masih menjadi kebanggaan anak bangsa, para anak muda didaerah kami banyak membentuk klub sepakbola, meski lebih pantas kalau dikatakan itu adalah kelompok atau geng anak muda yang memiliki kesamaan wilayah dan menamakan klub mereka dengan nama wilayahnya. Saya sebagai anak kecil sangat bangga grup kami waktu itu, yakni ALCAS, singkatan dari Anak Lapangan Cina Asli, meski kadang diejek dengan singkatan Anak Luntang-lantung cari sandal. Kemudian ada PAKEM: Persatuan Anak Kemanggisan. KEMRAY:anak Kemanggisan Raya, RABEL: Anak Rawa Belong, dan GS:Garuda Sakti.
Tidak jarang mereka saling bentrok dan ribut jika bertemu dijalan, meskipun keributan itu terjadi diluar kompetisi sepak bola. Tetap saja jika saling ketemu maka mereka akan saling ejek dan berkelahi sampe benjol-benjol.

Ketika terjadi demam BMX, sepeda roda dua dengan model ala mountain bike, hampir seluruh anak-anak demam akan sepeda itu, kemudian muncul sepeda modifikasi, dengan model yang aneh-aneh dan menggelikan. Ada yang jok dan stangnya tinggi menjulang, ada yang bingkainya panjang hingga empat meter, ada yang berbentuk mobil, ada juga yang berbentuk sepeda sirkus dan sebagainya. Saat musim sepeda modif itu terjadi musibah bagi kakak sepupu saya, Andri, ia meninggal terkena stroom saat memodifikasi sepedanya. Ia tewas ketika memegang bor listrik yang kabelnya basah terkena air dari kamar mandi.
Setelah musim sepeda, kemudian muncul musim breakdance, alias tari patah-patah. Banyak anak-anak ABG latah berpenampilan seperti rapper. Kemana-mana bawa minicompo di panggul, tidak lupa bawa tikar, rantang berisi nasi dan termos berisi air panas, sekalian lalapan dan sambel goreng hehehe, emang mau piknik.
Dalam tari breakdance itu, para ABG kadang sering mengadu keahlian tari patah-patah, kelompok demi kelompok menunjukan kebolehannya, ada gaya kelabang, ada gaya gangsing, ada gaya moonwalknya Michael Jackson, ada pula gaya ular keket dan capung terbang, gaya dewa mabuk dan gaya monyet mencuri timun mungkin juga ada kale. Pokoke semua gaya yang bisa dianggap top dah. Resiko dari tari patah-patah memang berbahaya, bahkan konon ada anak muda yang mati mengenaskan gara-gara lehernya patah memperagakan gaya gasing memutar bumi, karena ia berputar dengan kepala dibawah dan kaki diatas dengan gerakan cepat sekali.

Balada Layar Tancap

Meskipun saat itu saluran TV hanya semata wayang alias TVRI doang, tapi anak-anak tak pernah kehilangan hiburan, sebab, dibalik pohon-pohon rimbun, di tengah-tengah lapang ada cukong-cukong layar tancap yang siap dipanggil dalam setiap acara hajatan. Film yg diputar bahkan tidak hanya satu atau dua film, tapi tidak tanggung-tanggung sampai pagi alias semalam suntuk. Biasanya film berakhir menjelang subuh. Dan film favorit yang sering diputar saat itu adalah Dono Kasino Indro dengan Warkop DKI, Rhoma irama dengan Soneta nya, Bary Prima dengan jaka sembungnya, George Rudy (baca Gaga Rudi) dengan film actionnya, Eva Arnaz dengan bodi botohnya dan terakhir suzzana dengan sundel bolongnya, iiiiiiiihhhhhh atuut. Yang disebut terakhir seringnya diputar pas tengah malam, saat anak-anak harus pulang karena tidak boleh nonton sampai pagi.
Ada cerita lucu yang pernah diceritakan oleh abang saya ketika baru pulang nonton layar tancap bersama kawan-kawannya. Saat itu para ABG yg terdiri dari abang saya, bang Deden (ape khabar bang), bang Mali, bang Burhan alias buang beserta tokoh kita bang Iim alias Ibrohim pulang dari nonton layar tancap. Kebetulan saat itu posisi rumah bang iim lebih dulu sampai ketimbang yang lainnya. Jadi ketika sampai didepan rumahnya, dia langsung pamit kepada temannya dan segera mengetuk pintu dengan ramah. Tok tok tok, Enyak..enyak.., buka pintu ini Iim. “Im, kita tungguin ye sampe enyak lu ngebukain pintu, kata abang saya”. Enggak usah, gue berani sendirian, elu kalo pada mau pulang, pulang aje gih” Yg bener nih… Tanya yg lain, “bener, giih gue gak ape-ape”. “Ya udah kalo gitu kita tinggal ya… Yuuk bleh kita cabut”. Sementara itu Bang Iim tetap mengetuk pintu rumahnya, dengan perlahan, tok-tok-tok, enyak, enyak, ini Iim nyak. Ekor mata bang Iim masih menangkap sosok teman-temannya yang terlihat mulai menjauh, kemudia dengan sabar ia memanggil-manggil enyaknya untuk membukakan pintu. Enyak, enyak, buka pintu nyak, ini iim. Suara-suara canda temannya masih terdengar meski sayup-sayup. Tok tok tok, enyak ini Iim, bukain pintu. Hampir sepuluh menit bang Iim mengetok pintu, hingga ia belum menyadari bahwa disekelilingnya telah sepi dan terus saja ia memanggil enyaknya dengan nada rendah, enyak….enyak…enyak…tiba-tiba ia mengeraskan suaranya ENYAAKKKKKKK…..ENYAKKKKKKK ….ENYAAAKKKKKK Bang Iiim teriak sekeras mungkin sambil mengedor pintu saking takutnya karena menyadari bahwa teman-temannya telah jauh dan tidak mungkin mendengar teriakannya. Tiba-tiba dari belakang rumahnya terdengar suara HUAHAHAHAHAHA Bang Iim kaget luar biasa. Ternyata itu suara teman-temannya yang tertawa terpingkal-pingkal melihat Iim ketakutan luar biasa, mukanya pucat pasi akibat ditinggal sendirian. Mereka sengaja bersembunyi untuk mengerjain Bang Iim yang terkenal penakut tapi gengsian…hahahaha. Kacian deh lu.

Kemanggisan atawa Palmerah kini sudah tidak semeriah dulu, ia kini sudah berubah menjadi bagian kota besar yang individual serta materialistis. Ikatan sosial antar tetangga sudah mulai berkurang, karena antar tetangga kini sudah tidak saling mengenal. Penduduk sudah didominasi oleh pendatang dan kaum pencari kerja serta mahasiswa. Keramahan dan kemurahan senyum saat bertegur sapa telah menghilang, kecuali hanya beberapa penduduk yang masih saling mengenal. Terakhir ketika saya bersilaturahmi kerumah paman saya, beliau bercerita bahwa kemanggisan sekarang sudah asing baginya, ia seperti tinggal didaerah yang tidak ia kenal. Para sahabatnya sudah meninggal, termasuk bapak saya yang menjadi kakaknya. Sepanjang perjalanan tidak ada satupun orang yang dikenalnya.

Pesatnya pembangunan diwilayah ini, seakan mampu mengusir jiwa-jiwa yang dulu pernah singgah di kampung ini, karena alasan ekonomi, semua harus terjual dan berganti kepemilikan. Budaya ramah dan tegur sapa menghilang, seiring pemodal-pemodal besar mencengkeram sudut-sudur kampung. Celoteh-celoteh dan riang bocah tergerus oleh laju dan bising kendaraan, suara-suara ayat suci yang biasanya mengalun merdu selepas maghrib kini menghilang bergantikan suara dentuman-dentuman speaker dari ratusan warnet yang tersebar menjamuri pojok-pojok kampung, Jalan-jalan dan gang-gang yang dulu sunyi selepas isya kini bagaikan tak pernah tidur. Suasana syahdu dan hangat menguap dalam hingarbingar nafas kota. Dan kini para pribumi seakan pasrah akan takdir kehidupan. Tak bisa melawan dalam kenestapaan, kecuali segelintir jiwa yang diberi kurnia lebih yang tetap terjaga mempertahankan kampung halaman, dalam doa-doa lirih yang terdengar seperti gumam, entah sampai kapan bersulam kenangan, hingga anak cucu yang menjadi harapan, tuk bertanya pada pagar halaman, masih kuatkah engkau bertahan?

In the middle of the night.

Monday, September 28, 2009

Empati yang hilang(tumpul) jilid dua

Mengamati perkembangan pemberantasan korupsi (baca perseteruan cicak vs buaya; KPK vs Polri) setelah dua minggu pasca penetapan tersangka pimpinan KPK, Chandra dan Bibit semakin terlihat aneh saja.
Aroma bau tidak sedap bahwa perseteruan itu melibatkan dendam pribadi kabareskrim SD; seperti kata bang Buyung Nasution sangatlah kental, Ia yang merasa tersinggung karena disadap oleh KPK dan lantas marah dengan mengungkapkan istilah mana berani cicak (KPK) melawan Buaya (Polri) mulai menyusun strategi demi melemahkan KPK. Sang jenderal pun (BHD) seperti melindungi kepentingan pribadi anak buahnya. Ia malah menuduh didepan publik tentang suap yang dilakukan oleh Antasari untuk menyuruh Ary memberikan uang kepada Chandra. Tuduhan ini lantas dibantah oleh Antasari, Ary dan Chandra. Melihat bantahan itu, publikpun melihat bahwa polri bekerja sangat tidak profesional, bukti-bukti belum kuat, tuduhan belum nyata malah membuat statement yang bisa berujung fitnah, adagium lama jaman orba seperti terulang kembali, polri bekerja dengan metode yang penting tangkap dulu, bukti bisa dibuat dan dicari belakangan, innalillahi.

Sekali lagi saya heran dengan pemimpin dinegeri ini, beda dengan wakilnya yang mampu berkomentar dan memberikan sedikit pencerahan kepada publik, ia selalu diam seribu bahasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal, dibawah sana, anak buahnya sedang bertarung, rakyatnya sedang bertikai dan para pencari keadilan sedang mengigil, bersimpuh bermunajat dan berdoa kepada tuhannya, semoga keadilan bisa tegak di bumi Indonesia.
Kemana empati mu pergi wahai sang pemimpin, kemana rasa dan nuranimu menghilang wahai sang raja. Belum tuntas dugaan pelanggaran wewenang, malah kau menerbitkan perppu yang bisa berujung fitnah, yang membenarkan bahwa dua orang itu adalah bersalah, padahal kasus belum tuntas, masalah belum clear, siapa yang benar dan siapa yang salah juga belum jelas. Mengapa engkau mengambil keputusan berpihak yang tergesa-gesa, yang ujung-ujungnya bisa menjadi tradisi bagi pemimpin berikutnya untuk melemahkan lembaga hukum jika menyangkut kepentingannya.

Saya sebagai rakyat biasa, tidak bisa melihat lebih dalam bagaimana isi hatimu wahai presiden, dibalik wajahmu yang tampan, dibalik tubuhmu yang tegap, dibalik senyummu yang berkharisma saya tidak bisa melihat sedalam apa nurani yang engkau punya, setajam apa empati yang engkau miliki dalam menyelesaikan masalah dengan prinsip keadilan.
Memang, engkau bukanlah nabi Sulaiman yang diberikan hikmah keadilan dalam setiap pemerintahannya, engkau juga bukan nabi Yusuf yang selalu dibimbing kebenaran dalam setiap kekuasaannya. Tapi engkau adalah manusia yang dengan takdirNYA telah terpilih menjadi pemimpin kami yang dengan itu pula Allah melebihkan engkau atas kami, dan yang paling berarti, engkau adalah seorang muslim yang lahir dan mati diperintahkan untuk menjadi rahmat bagi seru sekalian alam.
Ketika engkau bingung, Tuhan akan memberikan hidayah kepadamu melalui nurani, tanyakan kepadanya, kemana kakimu harus berpijak, tanyakan dalam istikharah-istikharah mu, kemana gerahammu akan menggigit. Jangan dengarkan bisikan-bisikan manusia-manusia disekelilingmu yang mempunyai penyakit di dalam hatinya. Dengarkan saja suara rakyat yang terdengar nyaring dibawah telapak kakimu, meski engkau berada dimenara gading, tetapi suara mereka dapat menembus angkuhnya tembok istanamu. Jeritan mereka mampu memenuhi alam tidur mu, merusak mimpi-mimpi indahmu yang senantiasa mendatangi malam-malammu. Jangan kau gadai akhiratmu, dengan mimpi dunia yang membutakan mata. Sebab pemimpin sepertimu, sama seperti yang lain, akan dimintai tanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya, termasuk anjing kurus yang mati kelaparan ditengah jalan karena kelalaian penguasa negerinya. Semoga engkau menemukan kembali empati itu.

Tuesday, September 15, 2009

Innalillahi wainna ilahi rojiun....Azab yang sengaja di undang.

Miris sekali melihat perkembangan pemberantasan korupsi dinegeri ini, keadilan dan nurani dikangkangi oleh gengsi dan balas dendam. Para pencuri dibela, para penegak hukum dipidana. Sungguh bangsa ini sedang mengundang azab untuk datang memporakporandakan negeri ini.

Adalah para petugas KPK yang notabene melaksanakan kewenangannya sebagai penegak hukum malah dijadikan tersangka oleh polisi, pasal yang dikenakannya pun tidak ada hubungannya dengan suap, mencuri, korupsi dan perbuatan bejat lainnya. Sang petugas, Chandra dan Bibit dijadikan tersangka lantaran dianggap melanggar pasal 23 UU No 31/1999 jo pasal 421 KUHP jo pasal 15 UU 20/2001 tentang Tipikor.
Mereka diduga menyalahgunakan wewenang atau sewenang-wenang memakai kekuasaannya memaksa orang untuk membuat, tidak berbuat atau membiarkan barang sesuatu atas penetapan keputusan bepergian ke luar negeri atas nama Joko Chandra dan penetapan keputusan pelarangan berpergian ke luar negeri atas nama Anggoro Widjaja.

Bagi para ahli hukum, hal ini sangat aneh dan menimbulkan geram, apalagi saya yang awam, yang hanya bisa melihat dari apa yang telah mereka lakukan hanyalan sebatas menjalankan undang-undang, tanpa sedikitpun terlibat oleh kasus penyuapan.

Harapan kepada para polisi sang “buaya” sebagai hamba hukum terdepan dalam menegakan supremasi hukum kembali sirna, luruh seiring luruhnya kepercayaan yang mereka pertontonkan dalam bualan-bualan di media massa. Harapan kepada kejaksaan sang “godzila” pun telah musnah sejak dulu kala sejak sang pendekar gedung bundar, Urip sang pendusta dan penginjak martabat adigung terbukti melakukan perbuatan tercela. Lebih-lebih, para begawan digedung bundar itu seperti pembawa virus bagi lembaga lainnya.
Seorang Antasari yang alumni gedung itu, kini menjadi perusak lembaga kepercayaan masyarakat satu-satunya dalam memberantas korupsi. Testimoninya seperti pepatah jawa, rawa-rawa rantas, malang-malang putung. Kalau hancur, hancurlah sekalian. Ia hantam dan fitnah koleganya di KPK. Sepertinya ia tidak ingin membusuk sendirian disana. Terpilihnya Antasari ;dengan rekam jejak yang kurang baik; sebagai anggota dan ketua KPK seperti membawa bencana dan cobaan berat bagi KPK. Sepertinya para anggota dewan yang memilihnya sudah merancang jauh-jauh hari untuk menghancurkan KPK, dengan menempatkan alumni gedung bundar, Antasari sebagai jajaran pimpinan KPK, yang sudah jauh-jauh hari banyak orang yang menolak dan meragukan kapabilitasnya, kini semua keraguan itu seperti terbukti didepan mata.

Para wakil rakyatpun setali tiga uang, malah bersemangat menelanjangi fungsi dan lembaga pemberantas korupsi itu dengan menghilangkan taring penuntutan yang justru disitulah letak ketajaman KPK. Logika sederhana, jika tidak bisa menuntut, untuk apa KPK berdiri, dan KPK berdiri bukankah karena keadaan yang memaksa karena polisi dan kejaksaan telah mandul. Jika penuntutan dikembalikan ke kejaksaan bukankah malah tuntutan itu bisa dimain-mainkan dengan SP3; yang selama ini tidak dikenal di KPK; karena sekali saja seorang menjadi tersangka maka KPK akan terus menuntut sampai keputusan pengadilan di ketok hakim. Korupsi adalah Extraordinary Crime, kejahatan luar biasa yang mampu menghancurkan sendi-sendi bangsa, ia lebih kejam dari terorisme bahkan lebih busuk dari terorisme itu sendiri. Teroris hanya menghancurkan target mereka dengan jelas dan korbannya pun jelas, tetapi korupsi menghancurkan tulang punggung bangsa, merampas hak anak-anak yatim, merebut rezeki orang miskin dan menghancurkan ekonomi rakyat kecil. Sungguh besar dampak kejahatan yang ditimbulkan dari korupsi.

Ketika para wakil rakyat yang telah kehilangan nurani itu bersemangat membonsai fungsi KPK, sang pemimpin negeri ini juga terlihat tampak lugu dan pura-pura tidak tahu, Ia yang peragu, malah membiarkan kejahatan terjadi didepan matanya. Ia membiarkan semua itu karena tak paham, atau sengaja lari dari tanggung jawab. Bukankah sebagai pemimpin seharusnya ia bicara tegas, cukuplah jaminan dari dirinya bahwa ia akan terus mendukung upaya pemberantasan korupsi dengan memberikan support kepada lembaga pemberantas korupsi yang telah dijualnya dalam kampanye politik sehingga mengangkatnya kembali menjadi presiden pada periode kedua. Tapi tidak, ia tidak memberikan support, ia mendiamkan itu semua dengan dalih bukan wewenang seorang presiden.

Jujur saja saya sebagai rakyat merasa ngeri dengan azab yang akan turun berikutnya bagi bangsa ini ketika pemimpin tidak lagi bisa melindungi rakyatnya, ketika pemimpin terlihat zalim ;meski ia tidak merasa melakukan kezaliman karena empatinya telah hilang. Takutlah akan doa para orang yang teraniaya, yang tiada jarak antara doanya dengan Allah. Takutlah akan doa para hamba yang berdoa karena melihat ketidak adilan telah meraja lela di bumi Indonesia. Doa itu mungkin bukan hanya datang dari petugas KPK yg saat ini diposisi teraniaya, tetapi dari kita, rakyat Indonesia yang tergerak hatinya, yang gusar hatinya melihat kemungkaran terjadi kasatmata didepan mata. Ketika doa-doa orang teraniaya mengalir dalam tangisan mereka, ketika tengadah tangan terjulur dari hamba-hamba yang lemah, dari rakyat-rakyat yang tak berdaya maka tiadalah yang akan datang kecuali azab yang akan turun kepada para pemimpin dan wakil rakyat, seperti turunnya azab kepada namrud, atau turunnya azab pada firaun,

Naudzubilah midzalik. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu.

Tuesday, September 08, 2009

Syahdu yang hilang

Dulu, sewaktu kecil, kita sangat senang beribadah dalam hangatnya suasana ramadhan, bercengkrama dengan teman-teman dan berceloteh dalam gaya khas anak-anak tentang nikmatnya bulan barokah itu.

Meski kita tahu, nikmatnya bulan ramadhan saat anak-anak hanya sebatas kesenangan berbuka, bercanda dan bersenda gurau serta bermain-main dalam syahdunya suasana bulan puasa itu. Bulan yang membekas dan berbeda dari bulan-bulan lainnya.
Sholat isya dan tarawih berjamaah, sholat subuh berjamaah, tadarusan dan seabrek aktifitas lainnya yang begitu nikmat di lalui tanpa beban dalam jiwa anak-anak.

Kini, ketika dewasa, seolah-olah ada kesyahduan yang menghilang dalam aktifitas ramadhan kita. Pekerjaan-pekerjaan orang dewasa yang mengharuskan kita untuk berjibaku demi mencari sesuap nasi untuk nafkah keluarga, mengharuskan kita terlempar dalam kesibukan kita sendiri. Bulan ramadhan berjalan terasa hambar, terasa seperti biasa seperti bulan-bulan lainnya seolah-olah kita hanya memindahkan waktu jam makan kita dari siang ke malam hari saja. Dan bulan ramadhan pun berlalu tanpa syahdu.

Kita tidak mengerti mengapa kesibukan dunia menyebabkan kita menjadi sulit untuk memahami bahwa ramadhan itu adalah sebuah rizki dari Allah kepada manusia. Rizki yang datang kepada semua orang tetapi tidak semua orang mau menerimanya.
Kita tahu, saat ramadhan adalah saat rahmat dan pengampunan Allah turun deras dari langit, tapi kita tidak tahu, mengapa kita tidak antusias melaksanakannya. Kita hanya antusias mengumpulkan bekal untuk hari raya, bukan bekal untuk hari kiamat. Kita hanya sibuk bekerja untuk hari kemenangan itu, tetapi kita tidak dapat memastikan apakah kita menang pada hari itu. Menang bagi kita adalah saat kita bisa tampil “perfect” pada hari raya dihadapan sanak saudara, handai taulan dan teman-teman. Begitukah?

Entah mengapa begitu sulit menghadirkan suasana ramadhan itu kedalam hati, dan mengapa lebih mudah menghadirkan suasana ramadhan dalam balutan hiburan di televisi. Seolah-olah televisilah yang paling bergembira atas hadirnya ramadhan.

Kita tidak tahu, mengapa ketika semakin dewasa, saat tanggung jawab sebagai kepala keluarga semakin membesar, saat keinginan-keinginan tentang masa depan dan hidup layak didalam lilitan harta dan kekayaan semakin mendera sanubari, keinginan dan tekad akan penghidupan yang lebih baik demi masa depan anak-anak, demi masa depan orang-orang yang kita sayangi semakin membuat rasa dan hangatnya ramadhan hilang seperti hilangnya pagi ditelan siang. Dimana kita bisa temukan syahdunya suasana itu seperti saat kita kecil?

Mungkin kita akan menemukan kembali saat-saat itu, ketika kita tidak lagi sibuk akan urusan dunia, ketika rambut mulai beruban, ketika kita dipaksa pensiun karena umur tak bisa berbohong, ketika produktifitas telah berkurang dan menghilang. Dengan kata lain ketika senja telah tiba, dan ketika renta telah menyapa.
Apakah kita harus menikmati indahnya ramadhan dengan menunggu saat renta itu?
Apakah kita bisa menikmati nikmatnya ibadah dalam kerentaan itu?
Dan siapakah yang menjamin kita bisa sampai pada masa renta itu?

Tuhan, kemanakah perginya ramadhan nan syahdu itu?

Tuesday, September 01, 2009

Bulan Ramadhan : Stasiun Besar Musafir Iman

Oleh : K.H. Rahmat 'Abdullah (Ketua Yayasan IQRO Bekasi)

Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun – dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH – menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala. Kini – di bulan ini – ia jadi begitu ringan, menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan – diluar Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam hari menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan ‘ular harta’ yang membelitnya. Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.

Marhaban ya Syahra Ramadlan
Marhaban Syahra’ Shiyami
Marhaban ya Syahra Ramadlan
Marhaban Syahra’l Qiyami

Keqariban di Tengah Keghariban

Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya: "Ya Rasul ALLAH, dekatkah Tuhan kita, sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-Nya?" Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika ‘beban-beban orang bertuhan’ telah mereka persetankan. Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap, syahwat, dan seterusnya. padahal mereka masih berpijak di bumi-Nya.

Betapa menyedihkan, kader yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-Nya. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikut, meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.

Semua ayat dari 183-187 surat Al-Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit untuk mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah): ‘Sesungguhnya Aku ini dekat…" (Qs. 2 :185).

Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa kekariban ini? Mereka jadi pan-dai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa meni sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun langsung ke bangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukang tiru yang rakus.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang po-hon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi negara, bisniskan hukum, jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa status bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi bandit?

Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?

Nuzul Qur-an di Hira, Nuzul di Hati

Ketika pertama kali Alqur-an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh ma-nusia. Ia menjadi petunjuk yang sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perin-tah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalahkan rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan menjadi kacau. Ada juga orang berfikir, malam qadar itu selesai sudah, karena ALLAH menyatakannya dengan Anzalna-hu (kami telah menurunkannya), tanpa melihat tajam-tajam pada kata tanazzalu’l Ma-laikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah Malaikat dan Ruh), dengan kata kerja permanen. Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya, mu-nafiqnya dan shiddiqnya, Yahudinya dan Nasraninya? Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang di kawasan?

Jadi ketika Ramadlan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahagianya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Alqur-an di hati pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badan pun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan bagi setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah kterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya kegembiraan di puncak kesenangan. Batas nikmatnya dunia ialah ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!

Alqur-an dulu, baru yang lain

Bacalah Alqur-an, ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscaya Islam itu terasa ni’mat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Alqur-an membentuk frame berfikir. Alqur-an mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolok ukur keadilan, kewajaran dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz-i. Penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh dan aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi ummat.
Betapa da’wah Alqur-an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan di jantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad di garis depan, jauh sejak awal sejarah ummat ini bermula. Bila Rasulullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur-annya. Bila me-nyusun komposisi pasukan, diletakkannya pasukan yang lebih banyak hafalannya. Bahkan di masa awal sekali, ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan ‘Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di Ka’bah?’. Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukuli musyrikin kota Makkah.

Puasa: Da’wah, tarbiah, jihad dan disiplin

Orang yang tertempa makan (sahur) di saat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya berlapar-haus, atau menahan semua pembatal lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan. Mu-suh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan di te-ngah badai takkan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang.
Mereka terbiasa memburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? "Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi" (Yang tak punya apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).
Wahyu pertama turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.
Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg menunggu jawaban serius.

o0o

Friday, July 31, 2009

Ketika dompet mulai kosong

Saya kira semua akan setuju bahwa pada suatu ketika seorang laki-laki atau seorang perempuan pernah mengalami tidak punya uang sama sekali. Padahal penghasilan yang didapat terbilang cukup untuk kehidupan selama sebulan. Beda dengan orang yang memang sehari-hari berpenghasilan pas-pasan, dimana dompet mereka memang senantiasa kosong.

Saya tidak membahas apakah sang pemilik dompet adalah orang kaya atau orang miskin, orang mampu atau orang tidak berpunya. Yang saya akan bahas disini adalah bagaimana dan apa yang dilakukan saat seseorang itu tidak punya uang sama sekali. Bagaimana iman yang akan menjaga mereka apakah benar-benar bekerja atau tidak.
Kondisi “tidak punya uang” menurut saya relatif, dimana untuk sebagian besar rakyat kecil kalau dibilang tidak punya uang memang benar-benar tidak punya uang. Ada sebagian menyatakan kalau didompet mereka hanya tinggal satu juta atau lima juta sudah menyatakan tidak punya uang sama sekali.
Disinilah yang membedakan dua golongan besar manusia. Cobaan tidak punya uang cukup ampuh untuk menunjukan kualitas iman seseorang.

Suatu ketika seorang teman pernah berkata, betapa sulit hidup dijaman sekarang ini, apa-apa serba mahal, berapapun gaji dan penghasilan yang saya miliki tidak akan cukup untuk menopang kehidupan selama sebulan. Saya katakan kepada kawan saya itu, memang sekarang semua serba mahal, dan sulit untuk bisa memenuhi kebutuhan yang semakin lama semakin banyak. Tapi coba kita ingat-ingat beberapa tahun lalu dan bandingkan dengan kondisi sekarang, tetap sama bukan, meskipun gaji semakin membesar, tetap saja penghasilan tidak cukup juga. Apa yang salah kalau begitu.
Saya bilang, dulu waktu gaji kecil, kebutuhan juga masih kecil, sekarang gaji besar, kebutuhan juga membesar. Malah bagi sebagian orang tak bisa membedakan mana kebutuhan dengan keinginan. Akhirnya sebelum akhir bulan tiba uang sudah habis sama sekali. Sebenarnya kondisi tidak punya uang itu seharusnya membuat manusia berfikir lebih jernih dan bijaksana. Seharusnya kita bisa berhemat, minimal melokalisir keinginan yang tidak perlu. Karena keinginan-keinginan yang tidak perlu itulah yang melahirkan kebutuhan besar.

Kebutuhan yang hadir secara wajar, mampu menjaga seorang manusia untuk tetap bersyukur atas rezeki dari Allah, meskipun saat itu mereka tidak punya uang sama sekali. Kondisi kebutuhan yang wajar pula yang menyebabkan hati bisa berfikir jernih dan menjauhi hal-hal yang subhat bahkan terlarang agama. Sebab mereka sadar bahwa kebutuhan mereka memang seperti itu dan rezeki yang didapat belum cukup untuk menutupi kebutuhannya. Akhirnya sifat qonaah / merasa cukup akan muncul dengan sendirinya. Sifat mulia dan optimis bahwa Allah akan memberikan rezeki terhadap hamba-hambanya akan terpatri dalam sanubari.

Saya sangat terkesan dengan ucapan Alm. Rahmat Abdullah, ketika istri beliau meminta uang belanja sedangkan beliau saat itu tidak punya uang sama sekali. “Ummi, kalau rezeki sudah habis, itu artinya rezeki akan datang lagi, sama seperti sumur yang sudah kering, itu artinya air akan datang lagi”.[1] Sifat optimis dan gembira saat rezeki habis justru sebagai pertanda bahwa sebentar lagi akan datang rezeki berikutnya. Meskipun dalam suasana musibah atau kondisi yang benar-benar genting sama sekali. Mereka yang pandai bersyukur selalu ingat bahwa “innamal ushri ushro” sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan.

Dilain pihak beda dengan mereka yang kebutuhannya hadir karena keinginan. Mereka mempersulit kemudahan yang mereka miliki karena tergoda syahwat materi, trend, dan keinginan untuk dipuji, merasa wah dan gagah, bahkan terkadang karena bujukan kawan sekitar. Saat kondisi seperti ini sulit untuk berfikir jernih apalagi saat uang tak punya. Jadilah korupsi menjadi makanan sehari-hari, menilep, mencuri, merampok, bahkan memakan harta milik ummat (shodaqoh, amal jariah, dana haji dll).

Bagi sebagian orang godaan wanita masih bisa ditahan, tetapi godaan harta, jarang sekali yang bisa bertahan. Hanya orang-orang yang benar-benar takut kepada Allah yang bisa lolos dari godaan harta. Lihat saja betapa banyak para aktivis yang dulu semasa mahasiswa terlihat zuhud dan anti korupsi, kini ketika sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan, masuk dalam struktur pemerintahan atau masuk dalam kelembagaan dewan, kini diam seribu bahasa, saat tawaran amplop terbang melayang diatas kepalanya, dan ini bukan gosip atau rumor, ini adalah fakta. Juga berapa banyak para da’i, para ulama, para tokoh masyarakat yang terjerembab kedalam kasus pencurian uang, baik milik yayasan, ataupun milik negara. Padahal bibir-bibir mereka setiap hari mengalir ucapan-ucapan hikmah yang menjadi panutan bagi masyarakat.

Memang sulit menjaga amanah jika berhubungan dengan uang. Sangat berat, bahkan lebih berat dari godaan syahwat dan mabuk-mabukan. Apalagi saat kita dalam kondisi tidak punya uang, meskipun kondisi itu kadang kita sendiri yang menciptakan.

Inilah secarik doa yang diajarkan rosul untuk kita dalam menghadapi kondisi seperti itu:


اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ.

“Ya Allah! Cukupilah aku dengan rezekiMu yang halal (hingga aku terhindar) dari yang haram. Perkayalah aku dengan karuniaMu (hingga aku tidak minta) kepada selainMu.” [2]

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ.

“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari (hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.” [3]
---------------------------------

Semoga Bermanfaat.

Daftar Pustaka
[1]Sang Murrabi
[2] HR. At-Tirmidzi 5/560, dan lihat kitab Shahihut Tirmidzi 3/180.
[3] HR. Al-Bukhari 7/158.

Wednesday, July 29, 2009

Niteni

Bagi suku jawa kata ini tidaklah asing, sebab ia banyak dipakai dalam perbendaharan sehari hari dalam membicarakan tentang suatu ramalan yang diambil dari kebiasaan yang berulang. Meskipun saya bukan orang jawa, saya banyak mengetahui istilah ini dari istri saya. Istilah titeni ini menarik bagi saya karena cukup mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.

Titeni atau “niteni” (dibaca dengan huruf e pepet seperti kata bebek) dalam bahasa jawa berarti menganalisa dan menyimpulkan sesuatu dari kejadian berulang-ulang yang berlaku pada seseorang atau tempat atau gejala alam. Ilmu titeni bukanlah ilmu sihir atau cenayang yang mendahului takdir Tuhan. Ia hanyalah ilmu yang bisa dibuktikan dengan ilmiah bahkan terbukti secara empiris. Ilmu statistika adalah salah satu ilmu yang boleh dikatakan ilmu “niten” itu. Contoh ilmu niten yang paling mencengangkan adalah hasil survey LSI yang meramalkan SBY menang 60-70% .

“Niten” bagi masyarakat awam mungkin dianggap sebuah kelebihan bahkan karomah. Masih ingat bagaimana GusDur dianggap wali oleh para pengikutnya karena kesanggupan beliau meramal suatu peristiwa. Jawaban GusDur ketika dicrosschek oleh media adalah bahwa beliau bukanlah sakti mandraguna, tetapi beliau sangat cerdas membaca situasi karena rajin membaca buku tentang apapun dan dari buku itu beliau bisa memprediksi atas apa yang akan terjadi.

Saya pun pernah meniten/meramal tentang kematian beberapa orang termasuk kematian ayah saya dan mertua saya tepat pada hari h yang saya sebutkan. Saya ungkapkan ramalan saya kepada orang terdekat saya, seperti istri dan kakak saya agar mereka jangan bersedih yang berlebihan jika saat itu datang. Dan memang dengan izin Allah itu terjadi persis seperti apa yang saya ucapkan.

Apakah saya punya kelebihan atau ilmu kebatinan, tentu tidak saya hanya mempelajari ciri-cirinya saja dan itu berlaku universal. Meskipun saya pernah beberapa kali tepat, saya juga pernah gagal yakni ketika meniten kematian Pak Harto. Tapi bagi saya bukan kematiannya yang saya cermati, tetapi siapakah orang-orang dekatnya yang akan menghormati beliau secara berlebihan. Dari situ saya hanya ingin tahu, siapakah Soehartois selama ini yang sebenarnya.

Bagi saya pribadi, kemampuan untuk meniten sangat diperlukan untuk para pemimpin, sebab pemimpin yang besar adalah pemimpin yang memiliki visi dan misi yang kuat. Visi dan Misi yang kuat itu didapat dari hasil niten. Kita tahu bagaimana Microsoft mampu menggurita karena ilmu titen yang dimiliki Bill Gates. Dalam buku “Rahasia Bisnis Microsoft” terbitan tahun 1995, disitu disebutkan bagaimana pada tahun 1970an Bill Gates berucap bahwa suatu saat komputer-komputer akan dapat ditemukan dipelosok-pelosok dan sudut rumah tangga. Padahal saat itu komputer masih berwujud ruangan besar dengan ukuran 10x10 M bahkan lebih dan hanya perusahaan besar yang mampu membelinya. Ucapan Bill gates terbukti dengan hadirnya PC (Personal Computer/ Komputer Pribadi). Juga pada saat launcing windows 3.00 tahun 1992, Bil Gates berucap bahwa suatu saat informasi akan berada di ujung jari, padahal internet belum ada saat itu. Apakah Bill Gates sakti mandera guna, tentu saja tidak, beliau hanya cerdas membaca situasi dan keadaan, sehingga niten atau ramalan beliau tepat sekali.

Dalam sejarah islam, nabi pernah melakukan ilmu niten, nitennya beliau kali ini adalah sebagai manusia bukan dari wahyu yang diturunkan oleh Allah. Padahal bisa saja beliau menanyakan langsung kepada Allah tentang hal tersebut. Disebutkan dalam persiapan perang Badar, kaum muslimin merasa bingung dengan jumlah musuh yang akan mereka hadapi, maklum itu adalah perang pertama yang diperbolehkan Allah atas mereka untuk mempertahankan izzah kaum muslimin. Salah seorang sahabat bertanya kepada seorang anak kecil penggembala kambing, yang biasa mengembala dilembah itu, berapa jumlah pasukan quraisy, sang anak tak bisa menjawab dengan pasti berapa jumlahnya, karena anak kecil tak akan sanggup mengira-ngira berapa jumlah orang banyak. Lalu Rasulullah bertanya kepada anak itu, “Nak berapa jumlah onta yang mereka sembelih?” jawab sang anak “kira-kira sembilan atau sepuluh onta”. Lalu Rasul dapat memastikan bahwa jumlah musuh adalah sembilan ratus sampai seribu orang karena untuk satu ekor unta biasanya dimakan untuk seratus orang. Sangat mudah bukan.

Bagi para penguasa/pemimpin seharusnya mempunyai ilmu niten yang canggih, jangan hanya berdasarkan informasi dari orang-orang yang hanya bisa menjilat saja, ABS(Asal Bapak Senang), padahal informasi itu menyesatkan. Pemimpin harus mempunyai visi dan misi yang jelas untuk masa depan bangsa, implementasi visi dan misi mereka dibuktikan dengan strategi yang kuat dan aplikasi yang menyentuh sasaran, bukan hanya sekedar populis untuk menarik simpati rakyat. Soekarno dan Soeharto terlepas dari baik atau buruknya sejarah beliau merupakan contoh pemimpin dengan visi dan misi yang kuat. Soekarno jauh sebelum kemerdekaan mempunyai misi berdirinya negara kesatuan republik indonesia. Soeharto mempunyai misi kesejahteraan republik indonesia dengan GBHN dan Repelitanya. Hanya pemimpin di era reformasi ini yang saya lihat masih gamang dalam konsep visi dan misinya, mungkin terjebak oleh masa jabatan yang hanya dua periode, sehingga pemikiran mereka menjadi kerdil bagaimana dengan waktu yg singkat itu bisa memimpin negeri ini, dan jika menang akan memikirkan periode selanjutnya.

Bagi para pengusaha, ilmu niten sangat diperlukan untuk meramal nasib perusahaan kedepan. Bagi pemimpin yayasan atau jamaah ilmu niten ini dapat digunakan untuk membawa organisasi ini kedepannya mau dibawa kemana.
Bagi para kepala rumah tangga, ilmu niten sangat diperlukan untuk membawa perahu keluarga ke arah yang lebih baik, bisa meramalkan badai yang akan menggucang bahtera, atau kapan datangnya angin sejuk yang membawa berita gembira. Bagi para istri atau ibu rumahtangga, ilmu niten ini sangat diperlukan untuk mengelola keuangan rumah tangga, jadi tahu kapan sesuatu itu menjadi kebutuhan dan kapan sesuatu itu menjadi keinginan, sehingga konflik ekonomi dan keuangan dalam rumah tangga bisa diminimalisir.
Bagi para anak-anak ilmu niten diperlukan untuk mengelola masa depan mereka, sehingga bisa membantu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Demikianlah sedikit ilmu “Titen” yang saya ketahui, semoga bermanfaat, Alhaqqu minrobbikum.


Daftar Pustaka:
1.Sirah Nabawiyah
2.Rahasia Bisnis Microsoft
3.Ketika Cinta Bertasbih
4.Gus Dur Kau Mau Kemana

Friday, July 24, 2009

Ketika Empati Mulai Tumpul

Kisah ini adalah nyata dan pernah terjadi di negeri ini. Kisah yang terjadi tigapuluh tahun lalu disebuah daerah terpencil di pedalaman kalimantan. Kisah ini pernah saya baca dalam sebuah majalah berita pada tahun sembilan puluhan. Dalam kesempatan ini saya akan menceritakan kembali dalam ingatan versi saya, dengan sedikit improvisasi tanpa mengurangi isi dan kandungan ceritanya. Selamat mengambil I’tibar dari kisah tersebut.

Surat dalam Amplop tak berlogo.

Jumat Malam. 1 Agustus 1979, di rumah seorang Bupati.

Saat itu malam mulai merayap, jam dinding diruang tengah menunjukan pukul 22.00, diluar hujan rintik-rintik belum berhenti sejak tadi siang, dinginnya udara memaksa sang penghuni rumah untuk tidur cepat-cepat, apalagi setelah seharian melakukan inspeksi keseluruh jajarannya nyaris menghabiskan seluruh energinya. Setelah melipat tas kerjanya, Pak Kartajaya (bukan nama sebenarnya), seorang Bupati di kota kecil dipedalaman Kalimantan, bersiap-siap menuju tempat tidurnya. Ia harus tidur cepat-cepat, sebab besok pagi harus pergi ke Jakarta selama seminggu untuk mendampingi gubernur untuk ikut presentasi potensi wilayah bagi Penanaman Modal Asing diwilayah kekuasaannya. Perusahaan asing itu berencana membuka tiga lokasi proyek di wilayahnya. Baginya, berhasil menarik investasi asing kewilayahnya membuat prestasi sendiri dimata gubernur, dan tentu saja banyak keuntungan materi yang akan didapatinya.

Baru setengah jam ia memejamkan mata, tiba-tiba ia mendengar kegaduhan didepan rumahnya, lantas ia bangkit untuk memanggil ajudannya agar mengusir orang-orang yang membuat kegaduhan tengah malam itu. Sang ajudan segera menjalankan tugasnya, ia menuju kepintu gerbang dan mendatangi kegaduhan itu. Ternyata ada dua orang pemuda dengan wajah lusuh memaksa ingin bertemu sang Bupati. Yang satu berperawakan pendek, berambut ikal memakai baju merah dan bercelana jeans, yang satu lagi kurus berambut lurus memakai kaos oblong bersendal jepit. Keduanya adalah perwakilan dari dua desa bertetangga, desa A dan desa B, dua desa terpencil dipinggir hutan yang sejak lama bermusuhan. Rupanya niat mereka dihalangi oleh dua satpam penjaga rumah itu, sehingga mereka berteriak-teriak dan menimbulkan kegaduhan.
“Ada apa ini, teriak sang ajudan”, “ini pak; jawab satpam yg lebih tua; dua orang pemuda ini memaksa ingin bertemu Bupati, katanya penting sekali dan menyangkut nyawa manusia.” Mengapa kalian tidak datang saja besok pagi, Pak Bupati sudah tidur, jawab sang ajudan. “Tapi Pak, kami membawa surat dari pemimpin-pemimpin kami dan kami ingin langsung bertemu dengan Pak Bupati untuk menjelaskan kondisinya dan menunggu apa selanjutnya intruksi beliau,. Kalau kami tidak jelaskan, takutnya beliau tidak faham duduk perkaranya, dan kami ingin jawaban itu sekarang agar bisa kami sampaikan ke pemimpin kami saat ini juga”. Baik, jawab sang ajudan, kalian tunggu saja disitu dan kemarikan surat yang kalian bawa, mudah-mudahan Pak Bupati mau bertemu kalian.
Sang ajudan segera mengambil amplop surat dari pemuda itu dan melihat cover depannya. Tertulis surat itu ditujukan kepada Pak Bupati, dan pengirimnya mengatasanamakan tokoh desa A dan B. Terlihat amplop surat itu cukup aneh untuk ukuran surat resmi, tanpa kop surat dan alamat institusi, ia lebih mirip amplop surat kaleng.
Segera saja sang ajudan menuju kamar sang bupati dan mengetuk pintunya. “Toktoktok”, “siapa” tanya pak Bupati. “saya ajudan bapak” ada surat untuk bapak, katanya dari tokoh desa A dan B, katanya penting Pak. Sang pembawa surat juga ingin bertemu bapak dan menginginkan jawabannya sekarang, karena menyangkut nyawa orang Pak”. “Hemm desa A dan B, dua desa bebuyutan yang sering membuat buruk citra wilayah saya“, ada apa lagi sih. “Apa tidak bisa besok saja, saya sudah capek, bilang kepadanya, saya akan menjawab surat itu besok pagi dan taruh surat itu di laci meja saya”, “Tapi Pak...ini menyangkut...” “Sudah...” Pak Bupati segera memotong” tidakkah kamu mengerti kalau saya harus tidur agak pagian malam ini agar besok bisa menghadiri undangan Pak Gubernur ke Jakarta, bukankah kamu ikut juga” “Siap Pak” jawab sang ajudan. Segera saja ia menaruh amplop itu dilaci meja kerja pak Bupati. “Pak amplop itu sudah saya taruh dilaci bapak yang paling atas ya” “Ya, sekalian suruh orang itu kembali saja besok pagi”. “Siap Pak”.

Dua puluh tahun kemudian, Agustus 1999.

Pak Kartajaya sudah lama pensiun, kini ia hanya tinggal bersama dengan istrinya. Dua orang anaknya telah menikah dan tinggal di Jakarta. Kesibukannya sekarang hanya bercocok tanam, memelihara ikan dan sekali-sekali membersihkan ruangan kerja yang menjadi kebanggaannya. Foto-fotonya bersama gubernur dan Presiden acap kali dibersihkan sendiri, juga pajangan-pajangan senjata tradisionil yang ia dapat sebagai cindera mata ketika berkunjung ke daerah. Agar tak bosan, kadang-kadang seminggu sekali ia rubah posisi lukisan dan senjata itu, hanya meja kerjanya saja yang tak pernah ia rubah, selain karena berat, meja itu juga cukup besar, jadi ia hanya membersihkan kaca meja itu saja. Meja kerja itu terbuat dari kayu jati yang ia beli langsung dari jepara. Meja kerja dengan kualitas nomor satu, yang umum dimiliki oleh para pejabat dinegeri ini. Saat asyik membersihkan laci dan mengeluarkan isinya, tiba-tiba ia melihat sebuah amplop lusuh yang sepertinya sudah lama berada ditempat itu, tetapi belum sempat ia baca. Perlahan diambilnya amplop itu dan dilihat secara seksama. Sepertinya ini surat kaleng, tidak ada nama dan alamat institusinya selain nama pengirim tokoh desa A dan B. Ia mencoba mengingat-ingat tentang kedua desa itu, tapi tak juga bisa mengingatnya, kemudian dilihat kembali amplop itu, Surat itu memang ditujukan untuk dirinya, karena penasaran lalu dibukanya surat itu perlahan.

Desa A & B, 30 juli 1979

Kepada Bapak Bupati yang kami hormati,

Kami mewakili penduduk desa A dan B memohon petunjuk kepada Bapak apa yang kami harus lakukan, kami akan mematuhi apapun instruksi Bapak demi kebaikan desa kami. Mengingat situasi genting yang terjadi di desa kami, kami mohon kesediaan Bapak untuk datang ke desa kami untuk mendukung upaya damai yang kami ajukan kepada masyarakat didesa kami. Kami sudah lelah bertikai, kami sudah lelah bertempur karena mempertahankan dan membela sesuatu yang tidak jelas. Kami para tokoh muda ingin kedamaian terwujud di desa kami. Tetapi para tokoh tua tidak mau berdamai, mereka hanya berfikir tentang harga diri desa kami. Kami berusaha membujuk mereka, tetapi tidak bisa. Kami hanya butuh tokoh yang mau didengar oleh orangtua-orangtua kami dan tokoh itu adalah Bapak.

Sampai disini, Pak Kartajaya tertegun, ia mencoba mengingat-ingat, bagaimana surat ini bisa sampai kepadanya. Keningnya bekerut-kerut, tanda ia berusaha mengingat-ingat kapan ia menerima surat itu. Ia berdoa kepada Allah, untuk dimudahkan mengingat kejadian itu. Otaknya berfikir keras, berusaha mencari petunjuk. Lalu ia mengingat kebiasaannya dulu selama bekerja sebagai bupati. Ia ingat, ia mempunyai tiga laci di mejanya. Laci pertama paling atas adalah untuk berkas atau surat yang sudah selesai dibacanya dan sudah ditandatangani. Laci kedua dari atas adalah berkas kerjanya hari itu, dan laci paling bawah adalah untuk surat-surat atau berkas yang baru masuk. Ia sendiri yang menyusun seperti itu untuk memudahkan dirinya bekerja. Juga untuk menghindari ada berkas yang terlewati. Tetapi mengapa ada surat seperti ini yang belum sempat dibacanya. Perlahan ia mencoba berfikir keras dan mengingat-ingat, sedikit-demi sedikit mulai timbul ingatannya, ternyata surat itu adalah surat yang dikirim oleh pemuda yang membuat gaduh malam itu dirumahnya, dan karena ia mengantuk berat, ia menyuruh ajudannya meletakan dilaci kerjanya, dan sang ajudan meletakan di laci yang paling atas, pantas saja ia tidak pernah membaca surat itu, karena pagi-pagi ia harus berangkat ke Jakarta. Astaghfirullah.
Kemudian ia meneruskan membaca surat itu.

Ketokohan Bapak di desa kami, membuat para orangtua kami mempercayai apapun keputusan Bapak, tetapi para orangtua kami hanya memberikan waktu dua hari bagi kami untuk menghadirkan Bapak, jika tidak, mereka akan bertempur habis-habisan, sampai seluruh desa hancur berkeping-keping. Damai sekalian atau hancur sekalian. Jika bapak tidak sempat hadir ketengah-tengah kami, maka bapak bisa membuat surat sebagai ganti kehadiran Bapak, cukuplah stempel dan tandatangan bapak menjadi jaminan buat kami.

Kami mohon bapak segera membuat keputusan untuk kami. Kami mengutus dua orang perwakilan dari desa kami yang akan membantu bapak.
Kami tunggu kehadiran Bapak dua hari dari sekarang, jika dalam dua hari bapak tidak datang, maka kami akan saling menghancurkan, kami mohon pertolongan dan campurtangan bapak.

Terima Kasih

Ttd Ttd
Wakil Desa A Wakil Desa B

Tiba-tiba dada Pak Karta bergemuruh, airmatanya mengalir deras, tubuhnya lunglai, matanya gelap dan jiwanya guncang menahan penyesalan yang teramat dalam. Sebagai pemimpin, ternyata ia tidak bisa melindungi warganya. Ia malah asyik memikirkan keuntungan dirinya sendiri. Ia merasa empatinya telah hilang dan naluri kemanusiaannya telah tumpul. Kalau saja saat itu ia meninggalkan ego dan kantuknya dan mau sedikit saja membaca surat itu, maka segalanya tidak akan berakhir seperti ini. Yang paling menyakitkan adalah bahwa ia adalah satu-satunya orang yang diharapkan bisa mencegah pertumpahan darah itu. Tiba-tiba matanya gelap dan tubuhnya terasa lunglai. Ia tak sadarkan diri. Saat itu juga Pak Karta meninggal dunia terkena serangan jantung akibat tidak kuat menahan beban.

Minggu, 3 Agustus 1979 sore, dua puluh tahun lalu.

Halaman depan koran lokal memberitakan dua orang pemuda berduel hingga tewas didepan rumah Pak Bupati Kartajaya. Yang satu berperawakan pendek, berambut ikal memakai baju merah dan bercelana jeans, yang satu lagi kurus berambut lurus memakai kaos oblong bersendal jepit. Polisi tidak mengetahui motifnya apa.


Ibrah

Banyak sekali hal-hal yang kita anggap kecil ternyata dapat berdampak luarbiasa bagi orang lain. Kurang pekanya hati, rendahnya empati, miskinnya kasih sayang membuat seseorang terutama pemimpin kehilangan kepekaan batinnya. Dampak kurang pekanya hati dan rendahnya empati membuat hati menjadi tumpul. Kebijakan-kebijakan yang dibuatpun menjadi miskin keberkahan bahkan menuai caci maki.

Kurang pekanya orangtua terhadap anak, mampu membuat anak menjadi merasa dipinggirkan, begitu juga kurang pekanya guru terhadap murid, yang membuat murid merasa tak diacuhkan. Kurang pekanya para dai terhadap ummat, melahirkan ummat-ummat yang jahil, kurang pekanya pemimpin terhadap rakyat, melahirkan rakyat yang zalim dan teraniaya.

Kita masing-masing adalah pemimpin yang akan dimintai tanggung jawabnya kelak. Seorang laki-laki adalah pemimpin dikeluarganya, maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya, Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya, maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya, Seorang pembantu adalah pemimpin di rumah majikannya , maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya, Seorang Penguasa adalah pemimpin dinegerinya, maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. (Mutafaq alaihi).

Semoga Bermanfaat.