Dalam perjalanan hidup manusia didunia, sering kali manusia hanya menyukai hal-hal yang menyenangkan saja dan membenci hal-hal yang menyakitkan Entah itu memang bawaan sifat manusia yang selalu berkeluhkesah (QS: 70:19), atau memang sudah tabiat manusia yang selalu menginginkan sesuatu dengan cepat dan serba instant alias susah untuk bersabar, terutama bersabar tentang suatu kebahagian, baik itu kebahagiaan materi maupun kebahagiaan batin. Bahkan ketika sedang tertimpa musibahpun; misalnya sakit; manusia kadang tidak sabar, manusia menginginkan cepat sembuh dari sakit dan berlalu penderitaan itu.
Kisah dalam alquran menceritakan bagaimana manusia mempunya sifat yang demikian
QS 10 : 22. Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata): "Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur."
QS 10: 23. Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka membuat kezaliman di muka bumi tanpa (alasan) yang benar. Hai manusia, sesungguhnya (bencana) kezalimanmu akan menimpa dirimu sendiri; (hasil kezalimanmu) itu hanyalah kenikmatan hidup duniawi, kemudian kepada Kami-lah kembalimu, lalu Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Secara sadar atau tidak, semua ketidaknyaman, semua tragedi, semua musibah yang terjadi adalah akibat kezaliman dirikita sendiri. Betapa naifnya kita yang merasa selalu sial, yang merasa selalu kurang beruntung, yang merasa hidup selalu susah bahkan merasa bahwa Allah tidak adil; menunjuk ketidaknyaman itu kepada takdir Allah; padahal itu semua adalah buah dari ketidaksyukuran kita atas rizkiNYA dan buah kesombongan kita karena merasa tidak butuh pertolongan Allah meskipun kesombongan itu tanpa kita sadari.
Jadi ketika kita sedang tertimpa musibah, sedang berada diposisi terendah, sedang berada dititik nadhir, barulah kita merasa butuh akan pertolongan Allah.
Secara logika, ketika kita menginginkan hak kita ditunaikan, sudah selayaknya kewajiban kita dulu yang harus ditunaikan, sederhananya, seseorang akan digaji jika ia telah melakukan pekerjaannya. Begitulah seharusnya yang benar. Jika kita menginginkan pertolongan dari Allah apakah kewajiban kita kepadanya telah kita tunaikan?, atau apakah ada hak-hak Allah yang kita selewengkan. Sementara 17 kali kita menyatakan bahwa “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepada Mu lah kami minta pertolongan” dalam bacaan sholat lima waktu yang kita kerjakan. “Iyyaka na’budu, wa iyyaka nastain” itu ada perintah yang jelas penekanannya yakni obyek lebih di dahulukan kemudian predikat mengikuti; HANYA KEPADA ALLAH kami menyembah, bukan kepada yang lain, sebagai bentuk kewajiban didahulukan, kemudian penekanan diulang kembali untuk kalimat berikutnya; dan HANYA KEPADA ALLAH kami meminta pertolongan; bukan kepada yang lain, sebagai bentuk hak yang bisa kita minta dari Allah.
Dalam janji yang selalu kita ucapkan disetiap rakaat sholat kita itu, kita menyatakan akan berjanji mendahulukan kewajiban kita kepada Allah kemudian barulah kita meminta hak kita. Adakah semua kita laksanakan seperti yang kita ucapkan dalam bibir-bibir kita itu. Bahkan mungkin secara sadar atau tidak kita berbuat zalim lebih dari itu. Disini ada dua kemungkinan yang kita lakukan :
Pertama kita tidak pernah melaksanakan kewajiban sebagai hamba, kita tidak pernah menyembah Allah, tetapi ketika dalam kondisi susah kita meminta pertolongan kepadaNYA. Bagaimana bisa berharap hak kita dikabulkan Allah, sedang kewajiban tidak pernah dilaksanakan. Yang lebih parah malah kita bersuuzhon kepadaNYa dan menyatakan bahwa Allah tidak adil, jika permintaan kita tidak dikabulkan.
Kedua, sehari-hari kita memang menyembah Allah, melaksanakan kewajiban kepadaNYA, tetapi dalam kesempatan lain kita malah minta tolong kepada selain Allah, bahkan dalam kondisi tertimpa musibahpun malah meminta tolong kepada dukun/peramal/orang pintar dsb. Bagaimana Allah akan menolong kita jika benih-benih syirik masih bersemayam dihati ini?
Idealnya, adalah kita menyembah kepada Allah dan meminta pertolonganpun juga kepadaNYA, kita laksanakan kewajiban kita, setelah itu barulah kita meminta pertolongan kepadaNYA. Antara hati, mulut dan tindakan kita sesuai dan serasi.
Insya Allah jika kita telah konsisten dengan apa yang kita lakukan, apapun yang kita minta akan dikabulkan oleh Allah. Jika tidak dikabulkan didunia, maka Allah akan melipatgandakannya di Akhirat nanti
Wallahu’alam bishowab.
Diolah dari merenungi khutbah jumat siang tadi di Masjid Alkautsar Villa Kelapa Dua JakBar.
Friday, December 04, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment