Thursday, November 19, 2009

Iblis pun berkorban

Life is struggle and every struggle needs sacrifice and the real sacrifice is do sincere with disinterested

Hidup adalah perjuangan dan setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan dan pengorbanan yang sesungguhnya adalah melakukan dengan tulus tanpa pamrih (ikhlas)

Dalam perjalanan hidupnya didunia sebagai tempat persinggahan menuju tujuan akhir yakni akhirat, manusia senantiasa dihadapkan kepada satu hal yang tidak bisa dihindari yakni bahwa hidup didunia harus dengan susah payah.

Alquran dengan jelas menerangkan hal itu.
QS:90, 4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.

Jadi secara pabrikan (OEM) standard manusia dibuat dengan kondisi bersusahpayah, tinggal pemaknaan dan penerimaan rasa dari setiap individu yang berbeda-beda.
Karena takdir, ada yang sejak bayi sudah menjadi konglomerat, karena takdir pula ada yang lahir dalam kondisi terbuang dan tak diinginkan. Seiring dengan perjalanan mengisi kehidupan, barulah masing-masing individu diberikan akal dan fikiran yang berguna untuk menentukan arah masing-masing, apakah ia senang bermalas-malasan sehingga tetap menjadi miskin, atau apakah ia akan rajin dan merubah nasibnya sendiri sehingga ia menjadi kaya raya. Tapi tetap itu semua tidak menghindarkan manusia untuk tetap bersusah payah dalam segala aktifitas kehidupannya.

Dalam kondisi bersusahpayah itu, Allah pun menguji manusia untuk memberikan pengorbanannya sebagai ujian untuk mengetahui mana emas dan mana loyang, mana beriman dan mana yang kafir.
Dalam tahap pengorbanan itulah manusia dihadapkan dalam satu kondisi yang tidak enak, karena memberikan sebagian nikmatnya untuk mahluk lain. Disini keikhlasan hadir sebagai keyword, sebagai kata kunci yang membedakan pengorbanan seorang manusia dengan manusia lainnya, seperti perbedaan qurbannya habil dengan qobil.

Keikhlasan Kuadrat

Ketika manusia dalam kondisi sulit, ketika manusia dalam kondisi dibawah titik nadhir, sesungguhnya itu adalah saat yang tepat untuk menghadirkan dua keikhlasan. Pertama, ikhlas menerima takdir bahwa saat itu nasib sedang berada dilevel bawah, dimana tidak ada manusiapun yang mau jika diberikan kondisi seperti itu. Kedua; ketika dalam kondisi dibawah, tetap mampu berkorban dengan ikhlas untuk orang lain. Pengorbanan yang tidak harus berbentuk ternak, tetapi berbentuk materi atau hal lain seperti tenaga dan kesabaran.

Jika kita merasa sebagai orang yang paling menderita (baca: merasa dititik nadhir), apakah kita sudah membandingkan dengan orang lain disekeliling kita, apakah rasa menderita itu karena kita yang kurang sabar atau karena kita belum bisa menghadirkan keikhlasan atas kondisi itu, bagaimana mungkin kita bisa memberikan pengorbanan lain, jika untuk diri sendiri saja kita belum ikhlas. Bagaimana bisa mendapatkan ikhlas kuadrat sedang menghadirkan ikhlas yang pertama saja tidak sanggup.

Karena Perbuatan Sendiri

Jika seorang yang jatuh karena kemaksiatannya, jika seorang kini berada dititik nadhir karena kejahatannya, lantas ia merasa telah berkorban karena menerima hukuman dari Allah atas perbuatannya, dan merasa ikhlas dalam menerima hukuman itu, maka apakah pantas dikatakan ia telah berkorban, padahal peristiwa itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Jika seorang pejabat merasa dizhalimi, jika seorang pembesar merasa dibenci, sedangkan hujatan masyarakat itu datang atas perbuatan dirinya sendiri, pantaskan sang pembesar merasa menjadi korban, kemana nurani yg dulu ditinggalkan saat berbuat curang kepada ummat dan masyarakat
Jika para koruptor itu merasa dirinya telah berkorban maka bisa dikatakan iblispun telah berkorban bukankah demikian?.


Wallahualam Bishowab.

Wednesday, November 18, 2009

Dialog saya dengan Bapak Presiden

Hari beranjak larut, hujan yang menguyur Jakarta sejak sore tadi telah berhenti mengalir, tinggal gerimis yg turun perlahan bagai butiran kapas, menyejukkan bumi yg makin hari makin terasa panas. Malam pun terasa kian dingin menusuk tulang, meski mesin pendingin ruangan telah saya matikan sejak beberapa jam yang lalu. Sedikit pekerjaan telah saya rampungkan, ditemani segelas teh hangat dan siaran televisi dari sebuah stasiun tv swasta yang menyiarkan siaran langsung rapat kerja anggota DPR dengan tiga lembaga hukum yakni kepolisian, kejaksaan dan KPK terkait rekomendasi Tim 8 dalam kasus Bibit dan Chandra, dua orang mantan pimpinan KPK yang tersandung kasus rekayasa kriminalisasi KPK. Waktu telah menunjukan pukul 23.55, hingga tengah malam seperti ini, terlihat rapat masih terus berlangsung, bahkan diperkirakan akan sampai pagi, karena baru setengah anggota dewan yang mengajukan pertanyaan. Bagi saya pribadi, raker anggota dewan dengan tiga lembaga hukum itu merupakan dagelan politik, karena sudah bisa ditebak arahnya kemana.

Malam makin larut, mata pun sudah tak kuat untuk meneruskan pekerjaan, akhirnya untuk menghilangkan kantuk, sejenak saya rebahkan tubuh di sofa untuk meluruskan otot-otot tubuh dan menikmati rasa kantuk itu sepuluh sampai lima belas menit, agar tubuh segar kembali setelah bangun kemudian dan rasa kantukpun akan menghilang seketika. Belum lima menit mata ini terpejam, tiba-tiba pintu depan diketuk dengan keras. Terdengar suara salam dengan nada berat, seraya memanggil-manggil nama saya. Saya pun bangkit dengan malas seraya bertanya-tanya, siapasih tengah malam bertamu kerumah ini, apakah kerabat atau Pak RT dengan hansipnya. Pintu saya buka perlahan dan dibawah lampu temaram, saya lihat dua orang berbadan tegap bersafari hitam menyapa saya dengan senyum dipaksakan. “assalamu’alaikum, selamat malam, apakah bapak yang bernama Rojali Dahlan?”, “benar jawab saya, anda-anda ini siapa?”. Seorang yang berkumis tipis dan berdagu kelimis menjawab seraya menyerahkan kartu anggota dan selembar surat berlogo bintang dikelilingi padi melingkar berwarna keemasan kepada saya. “Maaf kami dari Pasukan Pengawal Presiden, saya Kolonel Amru dan ini kartu anggota saya. Bapak dipanggil ke Istana oleh Bapak Presiden, katanya ada hal penting yang ingin beliau tanyakan dan ini suratnya”. Saya diam terbengong-bengong, ada apa Presiden memanggil saya, dan apa hubungannya dengan saya, apakah berhubungan dengan komentar-komentar dan status saya di facebook atau diblog saya yang sering mengkritik presiden atau ada hal lain, dan mengapa sebegitu pentingnya saya sehingga harus dipanggil oleh presiden. Benak saya menerka-nerka dan berfikiran negative, jangan-jangan ini seperti zaman suharto, menculik dan menghilangkan orang yang tidak sefaham dengan penguasa. Tapi saya menepis fikiran seperti itu, saya tidak pernah berbuat macam-macam dan saya tidak yakin di zaman reformasi dan keterbukaan seperti ini tidak mungkin presiden kembali melakukan hal konyol seperti itu, apalagi saya bisa melihat dari attitude beliau yang komitmen dalam membela penegakkan HAM. Akhirnya saya sebagai orang awam, hanya meminta surat bukti pemanggilan saya itu sembari meyakinkan diri bahwa benar bahwa surat itu adalah surat resmi kepresidenan mengingat logo bintang dan padi berwarna emas yang menunjukan bahwa itu logo kepresidenan yg saya kenal. Saya bangunkan istri saya dan menjelaskan seluruhnya, istri saya sempat tidak percaya, tetapi setelah diyakinkan oleh Paspampres tadi dan mendapat jaminan tertulis bahwa tidak akan terjadi apa-apa dengan saya, sekaligus meminta nomor HP Presiden secara pribadi barulah istri saya merasa yakin. Saya bertanya, mengapa harus tengah malam buta begini, sang kolonel menjawab bahwa waktu yang dimiliki bapak presiden sangat sempit, dan ini menyangkut kepentingan bangsa yang besar. Beliau harus mengambil keputusan secara cepat, untuk menghindari mudharat yang lebih besar.

Lima belas menit kemudian saya selesai salinan dan pamit kepada istri saya, saya lihat jam dinding menunjukan pukul 01.10 dini hari. Saya paham kebiasaan beliau dari buku yang pernah saya baca, bahwa presiden kita ini jika menghadapi masalah apalagi menyangkut masalah penting jam berapapun beliau akan memanggil siapapun yang dirasa patut dipanggil, seperti kisah yang diceritakan mantan jubir beliau, Pak Dino saat peristiwa tsunami melanda Aceh beberapa tahun lalu yang dipanggil beliau pada pukul 02.00 dini hari. Sejurus kemudian saya sudah duduk dikursi tengah Nissan Terano ditemani dua orang paspampres, satu orang supir dan seorang ajudan Presiden. Sepanjang perjalanan saya bertanya-tanya kembali, sebegitu pentingkah saya sehingga presiden harus memanggil saya untuk membantunya memecahkan masalah? Atau ini adalah kebijakan beliau yang pernah berkomitmen untuk mendengarkan suara rakyat kecil. Dan mengapa harus saya, dari mana beliau mengetahui tentang saya dan apa kapasitas saya, apakah dari tulisan-tulisan dan komentar saya diinternet,juga artikel-artikel yang pernah saya tulis? Pertanyaan itu terus membahana di benak saya, berputar-putar dalam sudut-sudut otak saya yang semakin tak mengerti apa sebenarnya keinginan sang presiden ini terhadap saya.

Empat puluh lima menit kemudian saya tiba di istana, menyusuri koridor diantar sang ajudan menuju ruang kerja sang Presiden. Saya berfikir, tidak biasanya presiden menginap di istana, seingat saya, beliau lebih sering mengambil keputusan di rumahnya ketimbang di istana, jadi jika hari sudah menjelang malam, beliau meneruskan tugasnya sebagai presiden dari kediamannya. Tapi beda untuk kali ini, mungkin karena isunya sangat penting dan krusial beliau lebih memilih untuk menuntaskan keputusannya dengan menginap di istana. Pintu besar berwarna cokelat itu diketuk perlahan oleh sang ajudan, terdengar suara khas disertai salam hangat dan perintah untuk menyuruh masuk dari orang didalam ruangan itu. Sayapun lantas mengenalkan diri seraya menjabat tangan beliau. Sebagai presiden, beliau cukup berkharisma, dengan tubuh tegap dan tinggi besar tak lupa senyum khasnya seraya menawarkan minuman kepada saya. Saya bilang terserah minuman apa saja pak. Sejenak kemudian beliau menelpon dapur istana untuk menyediakan kopi susu untuk kami. Pembicaraan-pembicaraan ringan sebagai perkenalan mengalir dari mulut beliau, dan beliau sepertinya faham atas kebingungan saya mengapa saya harus berada di tempat itu. “Dik Jali,’ sapa beliau akrab memanggil saya, saya hanya butuh nasehat dan saran untuk memecahkan masalah yang saya hadapi ini, saya mencari orang yg kira-kira pas dan sesuai, tanpa pamrih kepada saya dalam setiap pandangan-pandangannya, dan itu saya lihat dari tulisan-tulisan Dik Jali di internet. Saya pernah membaca artikel Dik Jali yang menyentuh hati saya, artikel dengan judul surat terbuka untuk bapak Presiden yang ditayangkan di media www.eramuslim.com beberapa waktu lalu. Lalu saya menyuruh ajudan saya untuk mencari dimana Dik Jali tinggal, karena saya ingin bertukar fikiran dengan Dik Jali". Hati saya bergemuruh seraya berkata wow sampai segitukah dampak tulisan saya. Betapa beruntungnya saya bisa berhadapan dengan penguasa dan membantu memecahkan permasalahan bangsa dengan ide-ide yang terlepas begitu saja dari benak ini. Betapa terhormatnya saya bisa memberikan saran dan nasehat kepada bapak Presiden yang dengan nasehat itu mudah-mudahan bisa membantu membuka jalan fikiran beliau, demi kemaslahatan bangsa dan negara. Tapi perasaan minder dan tak berarti apa-apa membuat saya merendah, “Pak presiden, jawab saya, saya hanyalah orang biasa, latar pendidikan saya hanyalah seorang sarjana komputer, ilmu saya pas-pasan, dimasyarakat saya bukan tokoh penting, saya hanyalah seorang ayah, seorang kepala rumah tangga, pemimpin perusahaan kecil dan ketua sebuah yayasan kecil dalam bidang pendidikan islam di bilangan palmerah, tidak lebih dari itu. Saya bukanlah seperti anggota wantimpres yang bapak pilih, dengan latar belakang pendidikan doktor dan profesor dari universitas terkenal didalam dan luar negeri, dan saya bukanlah orang yang pantas untuk itu”. “Tak mengapa Dik Jali, saya tidak melihat itu semua, saya hanya melihat dari isi bukan dari casingnya, jawab beliau bijaksana”. Baiklah, apa yang bapak ingin utarakan dari saya. “begini Dik Jali, isu paling terakhir yang berkembang di masyarakat yang cukup menggetarkan Indonesia bahkan dunia adalah tentang isu kriminalisasi KPK, tepatnya isu Bibit dan Chandra. Tadinya saya berusaha untuk tidak ikut campur, karena masalah ini adalah masalah hukum dan presiden tidak berhak mencampuri proses hukum, tetapi ternyata isu itu berkembang luar biasa dan menyinggung ranah sosial dan politik. Blow up dari media dan aksi sosial dari media online semacam facebook membuat gerakan masyarakat mengarah kepada people power, dan saya khawatir, bangsa kita bisa terguncang jika masalah ini tidak terselesaikan dengan baik. Saya juga sudah membentuk TPF, dan tim itu sudah memberikan rekomendasi kepada saya, tetapi saya bingung. Saya tidak mau dipaksa untuk melakukan sesuatu diluar wewenang saya, dan saya tidak mau menegakkan hukum dengan cara melanggar hukum. Jika saya ikuti rekomendasi Tim 8, benar rakyat akan tenang dan kepercayaan masyarakat akan pulih kepada saya, tetapi saya akan menciderai proses hukum. Jika saya abaikan rekomendasi itu, maka saya seperti menjilat ludah sendiri, secara hukum saya benar, tetapi rakyat bisa bergejolak. Terus terang ini seperti memakan buah simalakama” Jelas Presiden dengan mimik muka serius.
“Oh itu masalahnya”, jawab saya seolah-olah tidak mengetahui. Bapak ingin jawaban yang bagaimana, yang menyenangkan atau yang menyakitkan. “Maksudnya?,” tanya Presiden bingung. Begini pak, kalau jawaban yang menyenangkan saya akan menjawab sesuatu yang akan menyenangkan bapak, seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekeliling bapak selama ini, tetapi kesenangan jawaban itu hanya berlangsung sesaat, justru setelah itu bapak akan dibuat menderita karena jawabannya tidak sesuai dengan fakta dan kenyataan yang terjadi. “Baik-baik, saya akan meminta jawaban apa adanya, sekalipun itu menyakitkan”. Sela bapak presiden. “Syukurlah pak, dan memang sudah seharusnya bapak mendapatkan jawaban yg sesungguhnya meskipun itu menyakitkan, karena jawaban yang menyenangkan alias ABS itu bukan porsi saya, tetapi porsi anak buah bapak yang membuat masalah ini berlarut-larut”, tegas saya tanpa rasa takut. Sengaja saya berhenti untuk melihat gesture presiden, apakah benar-benar telah siap menerima jawaban saya. “Lalu”, tanya beliau mempersilahkan saya untuk meneruskan jawaban itu. “Sebelum saya lanjutkan, saya mohon maaf untuk meminta bapak berkata jujur dari hati nurani yang paling dalam”. “Maaf Pak, apakah bapak terlibat dalam masalah ini?” Tanya saya tanpa tedeng aling-aling? “Apa??” beliau terkaget-kaget atas pertanyaan saya, “ya tentu tidak Dik Jali” “untuk apa saya berbuat seperti itu”, “saya tidak akan mempertaruhkan jabatan saya untuk hal seperti itu” tegas bapak presiden membela diri. “Syukurlah kalo bapak tidak terlibat, jadi bapak akan mudah mengambil keputusan tanpa dibayang-bayangi oleh kepentingan. Dan jika kita tidak punya kepentingan, buat apa kita ragu-ragu dalam memutuskan, justru kalau ragu-ragu dan lambat, masyarakat akan curiga, jangan-jangan bapak terlibat”. “Saya bukan tipe orang yang tergesa-gesa, saya selalu mengambil keputusan dengan pertimbangan yang sangat matang, apalagi ini menyangkut hukum yang penyelesaian idealnya adalah melalui jalur hukum, saya tidak mau mengintervensi hukum” tegasnya kembali.

“Pak, bapak memang tidak salah ingin menegakkan hukum dan memang itu seharusnya, tapi ada yang lebih penting dari itu semua, Bukankah menegakkan hukum bagian dari menegakkan kebenaran dan keadilan? Coba kita tanyakan pada hati nurani yang jernih, lebih utama mana, menegakkan kebenaran dan keadilan atau menegakkan hukum?. Bukankah jika keadilan telah tegak, otomatis hukum akan tegak, dan tidak semua penegakkan hukum akan memenuhi rasa keadilan juga berapa banyak penegakan hukum mencederai keadilan dan kebenaran, berapa banyak yang tidak bersalah divonis dan yang bersalah melenggang bebas?, benar vonis sudah dibacakan dan hukum sudah ditegakkan, tapi apakah keadilan juga sudah ditegakkan jika ada kasus seperti itu.?”
“Bapak Presiden, tidak semua penegakkan keadilan dan kebenaran itu selalu berlandaskan legal formal. Penegakan kebenaran dan keadilan bukanlah pekerjaan sepele, yang tidak menimbulkan resiko apa-apa. Justru pahala besar akan datang kepada pemimpin yang berbuat keadilan, pemimpin yang akan dinaungi di akhirat nanti, dimana tidak ada naungan satupun kecuali naungan Allah. Pemimpin yang adil juga akan duduk bersama-sama para nabi dan hamba Allah yang soleh. Jika bapak hanya ingin menegakkan hukum, bapak hanya akan mendapatkan ganjaran dunia, yakni jabatan bapak akan selamat, karena bekerja sesuai koridor hukum, tetapi keadilan bapak akan digugat di akhirat nanti. Tapi jika bapak menegakkan keadilan, meskipun jabatan bapak akan hancur, bapak akan tetap dikenang oleh rakyat yang mencintai bapak, akan dikenang dan didoakan oleh orang-orang yang mencintai kebenaran dan keadilan, dicintai oleh mahluk langit dan bumi dan diridhai oleh Allah SWT. Mana yang lebih baik menurut Bapak?”. Tanya saya dengan muka serius. “Banyak kisah yang menceritakan bahwa menegakkan keadilan lebih utama dari menegakkan legal formal. Contoh, andai kata para pemuda kemerdekaan seperti BM Diah, Sukarni dan kawan-kawan tidak memaksa Ir. Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan RI pada tanggal 17 agustus 1945 dengan menculiknya ke Rengas dengklok, dan Soekarno lebih memilih legalitas perjanjian dengan Jepang yang akan memberikan kemerdekaan jika tiba saatnya, niscaya bangsa kita tidak pernah tahu kapan akan merdeka. Contoh lain seandainya Nabi hanya mengikuti aturan formal bahwa pemimpin haruslah yang sudah senior, niscaya beliau tidak mengangkat Usamah bin zaid yang baru berusia 18 tahun untuk menjadi panglima perang menghadapi Romawi. Para pemimpin besar tidak memimpin dengan legal formal, tidak hanya mengandalkan logika semata, tetapi mereka memimpin dengan hati, dan hati merekalah yang bisa menembus kebenaran dari suatu permasalahan, meskipun bertentangan dengan logika dan legal formal. Pemimpin yang memimpin sekedar mengandalkan aturan legal formal, seperti robocop yang bekerja sesuai dengan perintah atasannya dan rule program yg diistall di memorinya. Mana kala ada rule/aturan yang melarang robocop untuk membunuh/menangkap petinggi OCP, meskipun petinggi OCP itu berlaku korup dan kriminal, keadilan tidak bisa ditegakkan oleh robocop, ia tidak bisa menyentuh CEO OCP itu sampai ada perintah eksternal yang diberikan oleh petinggi OCP lainnya, yakni memecat CEO korup itu, barulah robocop bisa mengeksekusinya. Apakah anda ingin disamakan dengan robot seperti itu?”
Bapak presiden terlihat diam membisu, cukup lama beliau dalam kondisi seperti itu, kemudian kata-kata saya kembali memecah sunyi
“Bapak Presiden, Penegakan kebenaran dan keadilan lebih utama bagi rakyat ketimbang pembangunan ekonomi. Sebab jika kebenaran dan keadilan sudah ditegakkan, rakyat tidak akan khawatir kalau hak-hak dan jatah hidupnya akan diambil atau dikorupsi oleh orang lain, yang ujung-ujungnya rakyat akan sejahtera karena keadilan ekonomi merata bagi mereka. Bukankah yang memiskinkan mereka selama ini karena hak-hak dan jatah mereka dikorupsi oleh orang-orang bejat tak bertanggung jawab itu?”
Bapak presiden masih terlihat membisu, sayapun melanjutkan kalimat,
“Bapak Presiden yang saya hormati, memang sulit untuk menegakkan keadilan, sedang kita sendiri tidak mengetahui dimana keadilan itu berada. Untuk itulah Allah memberi nikmat akal dan hati yang jernih untuk melihat dimanakah kebenaran dan keadilan itu berada. Saran saya marilah kita tauladani sikap Nabi Yunus, ketika menyadari bahwa beliau salah dalam mengambil keputusan dan meninggalkan ummatnya karena ketidaksabaran beliau, hingga beliau ditelan oleh ikan besar, lalu beliau langsung bertobat dan berdoa dalam doanya yang sangat terkenal itu. Subhanaka laillaha anta, ini kuntu minal dzholimin, maha suci engkau ya Allah, tidak ada Tuhan selain engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.”
“Bapak Presiden, untuk kasus kali ini, dan juga untuk kasus-kasus yg lain, tolong bapak mengambil keputusan dengan hati, bukan dengan asas legal formal, insya allah hasilnya akan lebih baik dari pada apapun, dan bangsa ini akan selamat”. Lupakan sementara resiko jabatan, karena jabatan adalah amanah dan dia akan pergi jika Allah menghendaki, sebagaimana dia datang saat Allah menghendaki juga. Bukankah bapak dulunya juga bukan siapa-siapa?”

Tak terasa waktu mengalir begitu cepat, sayup-sayup terdengar pengumuman dari masjid bahwa sebentar lagi akan masuk saat subuh, saya pun mohon pamit kepada Presiden seraya mendoakan semoga diberi hidayah dan kebeningan kalbu agar dapat memimpin dengan hati, seperti para pemimpin besar lainnya. Presiden terlihat menangis, airmatanya terburai menahan haru, ia tidak bisa menyembunyikan keharuannya atas nasihat-nasihat yang keluar dari mulut saya, entah mengapa saya begitu lancar berkata kepada sang Presiden, seperti berkata kepada sahabat dekat saja. Syukurlah, pesan saya sampai ke lubuk hatinya, dan memang itu yang saya harapkan, saya menginginkan agar hatinya mudah peka dan perasaannya halus, agar empatinya tajam terhadap nasib rakyat ini.
Setelah berterimakasih, sang presiden memberikan bingkisan sebuah buku kepada saya, buku yang sangat saya kenal, yakni La tahzan, jangan bersedih karya aidh alqarni. Buku yang sangat bagus untuk mengobati hati-hati yang terlanjur karat oleh kesombongan dan kemunafikan. Rupanya sang Presiden telah lama mengenal buku itu, dan dari buku itu pula beliau mudah tersentuh oleh tulisan-tulisan yang membangun jiwa.

Saya segera pamit untuk pulang, di perjalanan saya seakan tak percaya, baru saja berbicara dan berdiskusi saling memberi tausiah kepada seorang presiden penguasa negeri ini. Tapi ketika saya duduk termenung dalam Nissan terano yang mengantar saya pulang, tiba-tiba sebuah sepeda motor menyalip kami dan dengan repfleks sang sopir membanting setir ke kiri tetapi tak ayal mobil kami menjadi terjungkal karena menabrak trotoar, saya yang sedang bengong terlempar keluar jendela, ketika saya bangun, saya tersadar sedang berada dilantai disamping sofa tempat saya tertidur semalam.

Tengah malam 18 November 2009