"Kebahagiaan yang begitu besar, kenikmatan yang begitu tinggi tidak akan kita rasakan sampai kita mengetahui bahwa kebahagiaan itu telah pergi dari kehidupan kita"
Banyaknya nikmat yang diberikan oleh Allah baik berupa nikmat materi maupun non materi meskipun nikmat yg diberikan itu sangatlah besar bagi ukuran rata-rata orang lain, tak akan pernah dirasakan begitu besar oleh seorang manusia, sampai manusia itu menyadari bahwa nikmat itu telah berlalu dari hadapanya dan tak akan pernah kembali. Sifat manusia yang tak pernah puas menutupi akal sehatnya, menggerus kelembutan hatinya dan melupakan fakta bahwa saat itu nikmat dan kebahagiaan sedang mengalir deras kepadanya. Hingga saat yg ditentukan itu tiba, saat pergiliran antara manusia sudah menjadi sunatullah, saat yg tadinya penuh nikmat dan bahagia, kini berubah menjadi penuh tangis dan airmata.
Jatidiri
Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, dan aku satu-satunya anak perempuan yg dimiliki ayah. Kedua kakakku adalah anak laki-laki kebanggaan ibu. Keluarga kami keluarga sederhana. Ayah seorang guru dan ibu seorang perawat dikota kami. Didikan keras ayah menghantarkan anak-anaknya sampai di perguruan tinggi. Saat ini kedua kakakku telah bekerja di sebuah perusahaan swasta dan aku masih duduk disemester akhir. Penghasilan ayah yg tidak seberapa membuatnya harus bekerja lebih keras, sepulang mengajar, ayah bekerja sebagai sopir angkot diterminal bus di kota kami. Beratnya kehidupan yg dilalui ayah membuat hidupnya tak berumur panjang. Saat aku smp, ayah meninggal terkena lever akut, dokter menyatakan kondisi ayah drop karena kelelahan luar biasa. Selanjutnya kehidupan kami berlangsung dipundak ibu. Untunglah kedua kakakku mendapat beasiswa di universitas ternama, jadi biaya kuliahnya tidak membebani ekonomi keluiarga kami.
Saat remaja aku tumbuh menjadi seorang gadis yg biasa-biasa saja. Aku bersekolah di sebuah SMA negeri, disana aku mengikuti kegiatan eskul rohani islam, kegiatan yang bagiku cukup menyita waktu sehingga bisa membuatku menjaga hati dan pikiranku agar tidak larut dalam kesedihan. Disana pula aku belajar menutup aurat dan mengenal jati diri sebagai seorang muslimah. Lulus. SMA aku melanjutkan kuliah di bandung mengikuti jejak kakakku yg saat itu sedang menyelesaikan skripsinya. Ketika mencari rumah kos aku dikenalkan oleh kakakku seorang teman kakakku satu kampus tetapi beda jurusan. Ia seorang pemuda yg tampan, santun dan pandai pula. Usianya hampir sama dengan kakak tertuaku. Karena rumahnya tidak terlalu jauh dengan rumah kosku, ia kadang sering mampir dan menanyakan keadaanku. Kadang ia membelikan aku makanan kecil sepulang kuliah.
Karena perhatian yg sering ia berikan, aku merasa ada yg berdesir dihati saat ia berada disisi dan ada sejumput kangen saat ia menjauh. Aku tak tahu apakah itu yg dinamakan cinta. Tapi aku berusaha memendam rasa itu, aku tahu islam memuliakan cinta dengan menempatkannya pada posisi yg agung. Cinta adalah sunatullah dan melingkupi hati semua mahluk ciptaanNYA. Sebagai seorang muslimah aku berusaha menempatkan hatiku diatas nafsuku. Cinta yg hadir ku biarkan bersembunyi di sudut hatiku dan akan aku keluarkan ketika pangeran sejatiku datang mengkhitbah diriku kelak. Ketika teman sebayaku asyik terombang-ambing asmara, terseret arus nafsu syahwat atas nama cinta, aku malah asyik bercumbu dengan tumpukan buku. Aku tak mau mengecewakan ayah dan ibuku. Aku ingin mempersembahkan nilai-nilai terbaikku untuk mereka.
Khitbah Sang pangeran.
Ketika aku duduk di semester enam, satu semester lagi aku menyelesaikan kuliahku, datanglah lamaran dari teman kakakku itu. Aku kaget luar biasa, senang bercampur haru, ternyata khitbah itu datang dari cinta yang aku sembunyikan disudut hatiku beberapa tahun lalu. Tapi aku bingung karena kuliahku belum kelar. Kakak laki-lakiku memberikan pencerahan bahwa nikah itu tidak menghalangi seseorang untuk kuliah. Banyak para suami istri yg melanjutkan kuliahnya setelah menikah, bahkan sampai S3. Toh kamu hanya mengambil cuti kuliah saja dik, kata kakakku menutup pembicaraannya.
Setelah berfikir akhirnya aku mengiyakan jawaban kakakku. Aku tak sempat lagi berfikir dua kali, bahkan aku tak sempat sholat istikharah, karena suasana hatiku menutupi akal jernih ku akibat kegembiraan tiada tara. Keputusan yg kelak membuatku menyesal, karena aku tidak mendalami bagaimana akhlak dan tabiat suamiku selain mengetahui sifat lahiriah yg melekat pada dirinya saja yakni tampan, santun dan pandai. Selebihnya yakni agama, akhlak dan tabiat, aku pasrahkan kepada allah.
Dunia milik berdua.
Sudah satu bulan aku menjadi istri Mas Dodi, begitu nama suamiku biasa ia dipanggil. Aku pun mencurahkan seluruh hidupku untuk kebahagiaan suami ku, kami membeli sebuah rumah kecil tak jauh dari tempat suamiku bekerja. Dan memang, mas dodi termasuk orang yang pintar mencari uang sehingga kebutuhan dasar rumahtangga kamipun cepat terpenuhi hanya dalam beberapa bulan. Karena keasikan mengurus rumah tangga, tak terasa cuti kuliahku telah habis dan aku mengambil keputusan untuk mengambil cuti lagi hingga tiga kali cuti..
Hari-hari kulalui dengan langkah ringan, aku merasa menjadi orang yang paling bahagia sedunia dan itu berlangsung terus sampai aku menyadari bahwa roda kehidupan berputar ternyata mengitari nasib manusia.
Bahagia itu mulai pergi.
Tak terasa pernikahan kami sudah berjalan dua tahun dan kebahagiaanku semakin lengkap sejak tuhan memberikan kepercayaan kepadaku, aku hamil dan kehamilanku sudah beranjak tiga bulan.
Suatu sore saat merapikan lemari baju suamiku aku menemukan sebuah coretan kertas disaku suamiku, tulisan semacam pengakuan atau testimoni yang dirobek dari buku diari suamiku, aku tak bermaksud ingin lancang, tetapi karena ingin memastikan bahwa suamiku juga bahagia dengan perkawinan ini, terpaksa aku baca lembaran pengakuan itu. Kubaca perlahan dengan nafas tertahan.
"Diary, Saat ini aku telah berstatus sebagai suami dari Nina Angraini, seorang mahasiswi berjilbab adik temanku yg juga adik kelas ku di almamaterku. Saat ini aku juga adalah calon ayah dari bayi yg dikandungnya. Ia adalah harapanku, dermaga hatiku, pelabuhan cintaku, rumahku yg damai, selimut hatiku yg hangat, senyum manisku yg merekah dan mahkota kebahagiaan diriku."
"Sejak pertemuan pertama kali, lewat kakaknya, aku yakin ia adalah seorang perempuan yang soleh, yang pandai menjaga kehormatan diri dan keluarga. Itu ku ketahui dari beberapa kali peristiwa ketika dengan sengaja aku ingin dekat dengannya dan ingin menjadi kekasihnya. Tapi dengan halus ia menolak, penolakan yg tidak menggurui bahkan membuat aku tersadar bahwa apa yang selama ini aku fahami tentang cinta hanyalah sebuah nafsu. Sejak saat itu aku bertekad ingin sekali menjadi pendampingnya, sampai akhirnya Tuhanpun merestui keinginanku"
Membaca coretan Mas Dodi itu membuat aku melayang bagai tak berpijak, mengambang diudara bagai halimun pagi dipuncak gunung, putih, sejuk dan lembut serta dingin menusuk, tetapi kita enggan melepas pelukannya. Aku pun melanjutkan membacanya "Tapi ada rasa sesal dihati ini, mengapa harus ia yang kupilih, apakah aku pantas untuknya. Aku adalah laki-laki petualang yg mungkin tidak pantas untuknya, tapi akupun tak mau kehilangannya dan semoga kekasihku ini menjadi tempat persingahan terakhir aku dari petualangan ini. Aku ingin bertobat dari lingkaran setan yang membelenggu leherku sejak dulu. Aku ingin bahagia dengan istriku dan calon bayiku"
Sejenak aku terdiam dan tak mengerti apa maksud kalimat itu. Mengapa mas dodi ingin bahagia? Bukankah sejak melamar dan menikahi ku dia terlihat sangat bahagia? Mengapa seolah-olah ia belum bahagia, adakah yg ia sembunyikan selama ini? Dan apakah maksudnya dengan belenggu setan itu.
Tapi aku berusaha untuk berpositif thinking, berhusnuzhon saja, mungkin memang salahku yang kurang memberikan pelayanan terbaik untuknya.
Nyaris mati.
Usia kandunganku kini telah cukup untuk melahirkan. Dan aku meminta mas dodi agar aku bisa melahirkan normal saja, kecuali terjadi kejadian darurat, yg mengharuskan aku untuk di cesar.
Sore itu, aku. Merasakan perutku mulas sekali, mulas yg mulai berirama dgn jeda yg teratur. Selang satujam sekali, kemudian setengah jam sekali dan tiba-tiba aku mengalami pendarahan hebat, aku segera menelpon suamiku dan segera membawa ku kerumah sakit bersalin. Sampai disana aku terpaksa di transfusi. Ketika akan ditransfusi inilah aku mengetahui dari diagnosa dokter bahwa aku dan jabang bayiku mengidap Hiv. Dunia bagai runtuh dan langit menjadi gelap, kesadaranku pun menghilang. Aku pingsan untuk beberapa saat.
Karena kondisi darurat, suamiku meminta dokter untuk mencesar aku, demi menyelamatkan dua nyawa sekaligus. Aku, saat itu sudah seperti zombie, mayat hidup. Saat yg seharusnya ku sambut dengan bahagia, justru ku sambut dengan hampa, aku tak perduli lagi meski harus mati. Suamiku tahu aku marah kepadanya, dan ia menyesali apa yg terjadi. Tapi aku tak perduli dengan semua ocehannya. Aku hanya diam membisu. Dalam samar penglihatan, dalam sepi pendengaran, kudengar sayup sayup suamiku menangis bersimpuh didepan tempat tidurku. Ia terus menghiba memohon maaf kepadaku atas apa yg telah diperbuatnya sehingga menyebabkan aku dan bayi kami tertular virus ganas itu.
Dalam suara serak yg terputus, ia terus bicara, "Nina sayangku, aku tahu engkau marah, aku tahu engkau benci kepadaku, aku tahu bahwa aku orang yg paling pantas engkau hina. Bahkan engkau bunuh sekalipun. Aku tahu, aku telah melukai perasaan kamu, melukai keluarga kita, melukai orangtua kita, bahkan aku melukai jabang bayi kita. Saat ini seharusnya kita sedang berada dipuncak kebahagiaan, puncak kebahagiaan karena menantikan kelahiran putra pertama kita. Saat ini semestinya doa dan harapan mengalir dari bibir-bibir kita, pujian dan kesenangan tersimpul dari bibir kita, bukan cacian dan sumpah serapah. Saat ini seharusnya kita saling menguatkan, bukan saling caci maki dan menghina atas kejadian ini. Sayangku, dalam penyesalan ini aku memohon, engkau boleh membunuhku jika engkau mau, tapi jangan kau bunuh dirimu dan bayi kita, minimal aku ingin melihat seperti apa wajahnya. Sayangku aku mohon, kuatkan dirimu, aku ingin ia lahir dengan selamat. Inilah permintaan terakhirku padamu."
Aku diam membisu, tak peduli apa yg ia katakan. Mau berbusa sekalipun mulutnya, tak akan mengembalikan keadaan seperti semula. Suamiku yang dulu terlihat baik dan menyejukan kini kulihat bagaikan predator pemangsa, ganas buas dan menjijikan. Ia bagaikan penjahat kelas atas, yang telah merampok kehidupan dan kebahagiaan aku dan jabang bayiku. Ia seperti pembunuh sadis yang membunuh mangsanya secara perlahan. Rasa hormat dan kagumku hilang seketika, berganti dengan dendam dan amarah.
Ku lihat suamiku masih duduk dengan raut muka wajah sendu.
Dan cintapun pergi.
Operasi berjalan lancar, aku menguatkan diri demi jabang bayi dan amanah dari allah, bukan karena permintaan suamiku. Aku dan bayiku sehat walafiat, meskipun terpaksa berstatus sebagai ODHA. Pasca melahirkan keluargaku marah besar, terutama kakakku yg menjodohkan aku dengannya. Suamiku diusir oleh kakakku dan aku tak bisa membelanya, dan memang tak akan mungkin aku membela orang yg telah berdusta dan menghianati diriku. Suamiku ingin menjelaskan kronologisnya, tapi keluargaku tak mau mengerti, dosa yg dilakukannya sudah sangat besar, apalagi melihat aku sebagai korbannya.
Terakhir aku mengetahui, suamiku telah meninggal dikampung halamannya.
Pasca kepergian suamiku, hari-hariku hanya berisi tangisan dan air mata. Hanya ibuku yg memberikan kekuatan kepada diriku, sekaligus merawat bayiku.. Keimananku goncang luarbiasa, bahkan aku sempat menghujat ketidak-adilan Tuhan. Bagaimana mungkin, aku yg berusaha menjaga kesucian, menjaga kehormatan, menjaga keimanan bahkan selalu menghindari kemaksiatan harus mengidap penyakit yg hina ini. Penyakit yg pantasnya diterima oleh para pelaku maksiat, para pelaku durjana. Aku tidak mengerti apa yang engkau mau ya Tuhaaan, teriakku setengah gila. Ibuku yg sudah lanjut usia hanya menangis tersedu-sedu. Matanya yang teduh kini sembab. Ia hanya bisa mengelus rambutku dan berusaha menyadarkan diriku. Sambil terus berdoa kepada Allah dengan ketulusan semoga aku diberi kekuatan untuk melewati hari-hari yg berat ini. Ibu hanya bisa berkata "Anakku Nina, ibu tahu, engkau sepertinya tidak siap menerima takdir ini, tidak siap menerima kenyataan ini. Tapi apakah engkau menyadari bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba-hambanya yang sabar dan selalu berbuat baik? Ibu yakin nak, engkau pasti sanggup melewati ini semua, bukankah Allah tidak akan memberikan cobaan diluar kesanggupaan hambanya?. Lihatlah nak, engkau selalu berbuat baik, selalu beribadah, selalu menolong orang lain, membantu teman yg kesusahan, selalu bersedekah, puasa sunnah, menjaga kehormatan, menutup aurat, menjauhi maksiat. Jika engkau berfikir bahwa Allah tidak adil kepada engkau, tidak sayang kepada engkau, engkau salah. Justru Allah sedang memilih dirimu untuk menjadi tauladan bagi orang lain, minimal bagi orang-orang yang mengenal dirimu bahwa engkau adalah wanita paling mulia diabad ini karena ketabahanmu menerima takdir ini. Jika engkau merasa penyakit ini adalah penyakit kutukan dan azab bagi penderitanya, engkau salah nak, azab hanya berlaku bagi pelaku maksiat dan engkau bukanlah pelaku maksiat sayangku". Sama seperti bencana yg dialami mereka korban tsunami, toh tsunami tidak hanya mengenai para pelaku maksiat saja. Beda dengan tsunami yg memakan korban massal, penyakit ini memakan korban satu-demi satu dan tidak hanya menimpa para pelaku maksiat, tetapi menimpa juga orang-orang terdekatnya yg belum tentu berdosa, seperti bayimu. Nasehat ibu dengan kata-kata lembut namun tajam menusuk kalbuku, menyadarkanku dari gurauan emosi dan amarah yang sejak pengakuan pertamakali suami ku akan situasi yg tidak nyaman ini, membuat aku tersadar dan tersentak, bahwa aku memang manusia pilihan dalam tanda petik. Kalau orang pilihan menginginkan situasi yg indah dan bahagia, terpilih sebagai putri, atau pemimpin, tapi aku adalah orang pilihan Allah untuk menghadapi situasi yang tidak biasa ini, situasi yang tidak semua orang sanggup melewatinya. Situasi dimana perbedaan antara kesabaran dan keterpaksaan sangat tipis. Hanya bisa diukur dengan keimanan yang kuat dan keyakinan yang tajam bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan hambaNYA.
Hidup di dunia mengalir seperti air, zaman pun bergerak mengikuti lekuk-lekuk sungai waktu, menghabiskan masa-masa manusia dan masa-masa alam semesta. Setiap pergerakan baik pergerakan galaksi di langit, atau pergerakan daun yang jatuh ditengah hutan lebat, semuanya pasti dengan sepengetahuan sang Pencipta. Dan aku disini pasca kelahiran anakku, hanya bisa berharap dan pasrah kepadaNYA. Hari-hari ku bagai berjalan lambat, waktu terasa berhenti, tapi aku sadar hidup harus terus berjalan, aku masih memiliki seorang jiwa mungil yg lucu dan imut yang harus aku hidupi, untuk merajut hari esok yg lebih baik, meski aku tak tahu siapa yag akan lebih dahulu pergi meninggalkan dunia ini, apakah aku atau bayiku. Dengan penyakit yang kami derita ini, kami berdua hanya menunggu waktu, berteman tasbih dan zikir, berselimut tabah dan sabar, semoga Allah menerima kesabaran kami. Aku tak pantas menangis ketika aku tahu, bayi kecilku masih tersenyum manis kepadaku seraya memanggil Mama..
-o0o-
Untuk seorang sahabat, semoga engkau dan bayimu kelak menjadi penghuni syurga.
Kami salut terhadap ketegaranmu. Disaat ibu-ibu yang lain didunia merayakan hari ibu dengan gembira, engkau telah merayakan hari ibu bersama bayimu setiap hari.
FAKTA : Di Indonesia ada sekitar 3 juta jiwa penderita HIV, dan separuhnya adalah korban tak berdosa yg tak mengerti mengapa mereka bisa terinfeksi virus itu.
Tuesday, December 22, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment