Friday, March 05, 2010

Menaklukan dunia dengan hati

Sukses hidup di dunia bukanlah sekedar keberuntungan, bukan pula semata-mata karena takdir dari langit. Ia bisa dikejar dan dicapai oleh setiap insan di dunia. Tinggal bagaimana pencapaian menuju kesana, apakah sesuai dengan syariat agama atau melakukannya dengan menabrak rambu-rambu hukum, menghalalkan segala cara dan merugikan orang lain.
Dibawah ini adalah kisah nyata tentang kesuksesan menaklukan dunia (menurut saya melihat keadaan ekonominya yg sudah mapan) yg dilakukan dengan komponen hati sebagai panglima dgn tentaranya berupa kejujuran, ketabahan dan kesabaran serta tawakal, mengandung banyak inspirasi dan ibrah bagi kita semua. Kisah yg saya ambil dari pembicaraan dan investigasi saya dengan seorang sahabat dari beberapa pertemuan kami selama beberapa tahun.

Adalah seorang teman, masih muda, kakak kelas saya di SMAN 65, sebut saja dia pak Tono (bukan nama sebenarnya), meski usianya tidak beda jauh dengan saya, tetapi jalan hidupnya penuh liku dan penuh cerita haru, penuh pengalaman dan gelut kehidupan, dari kerasnya jalan sampai empuknya jabatan. Kini Ia adalah seorang direktur disebuah perusahaan distributor lampu merk terkenal dari jerman, sudah berkeluarga, bergelar magister, punya mobil, punya rumah cukup luas dan sudah pergi haji pula. Meskipun demikian penampilannya tetap sederhana dan bersahaja.
Perkenalan saya dengan beliau terjadi tanpa sengaja, ketika itu perusahan tempatnya bekerja membutuhkan software akuntansi, kebetulan, perusahaan kamilah yang terpilih oleh atasannya untuk menyediakan software itu. Singkatnya terjadi deal dan installasi dan saya harus bertemu dengan pak Tono itu untuk mengurus pembayaran.
Ketika pertama kali saya berjumpa dengannya, saya fikir beliau adalah salah satu staf akuntansi biasa seperti staf lain, penampilan sederhana, tampangpun tidak meyakinkan, tubuh kecil dengan celana panjang menggantung dan jenggot menempel rapi disudut dagunya. Apalagi ketika saya melihat mayoritas staf disitu adalah keturunan, maka saya malah lebih under estimate lagi, jangan-jangan pribumi yg satu ini adalah office boy kantor itu.
Tebakan saya salah total, ketika mengetahui, giro yang saya terima ternyata harus disetujui dan ditandatangani oleh beliau. Sambil tersenyum ramah dan menyuruh saya ikut makan siang dikantornya, kamipun berbicara akrab.
Ketika makan siang dan suasana mulai akrab, saya tak dapat menyembunyikan perasaan keingintahuan saya untuk bertanya, apakah posisi Pak Tono dikantor itu. Mulanya ia mengaku staf keuangan biasa. Tetapi saya heran, mengapa semua staf selalu lapor ke beliau dan melirik dari pekerjaan yg dilakukan, menunjukan bahwa beliau adalah orang tertinggi di kantor itu, sebab sang pemilik; seorang keturunan, saya dengar jarang sekali datang ke kantor itu, karena sibuk mengurus perusahaannya yg lain.
Akhirnya ketika saya desak ia mengaku, bahwa ia adalah tangan kanan sang bos, (waktu itu ia belum resmi menjadi direktur, barulah ketika sang big bos membuat perusahaan baru yg lain; di lain waktu; ia diserahkan memimpin perusahaan ini). Saat itu saya belum berani bertanya bagaimana ia bisa sampai diposisi puncak pada perusahaan milik keturunan pula yang jauh “nasabnya” dari beliau dan diserahkan penuh pula untuk mengelolanya.

Pada kesempatan-kesempatan berikutnya, saya memberanikan diri bertanya tentang latar belakang beliau, sekolah dan kuliah dimana, lulusan apa dan lain-lain. Ketika ia menjelaskan bahwa ia bersekolah di SMA yang sama dengan saya, bahkan beda satu tahun diatas saya, barulah saya bisa lepas berbicara kepadanya seperti lepasnya pembicaraan antara dua orang sahabat yang tidak pernah berjumpa sekian tahun.
Dalam suasana yang hangat itu ia bercerita tentang dirinya dan masa lalunya.
Ia adalah seorang perantau, suku jawa, yang datang ke Jakarta bermodal nekat ketika SMP, meninggalkan ayah, ibu dan adik-adiknya. Diterima di SMA Negeri 65 pun karena keberuntungannya dan sempat diterima di Universitas Indonesia jurusan MIPA, tetapi drop out enam bulan kemudian karena tak mampu membayar uang kuliah. Ketika masa SMP-SMA beliau menarik becak sampai becak akhirnya dilarang beroperasi di Jakarta. Selepas menarik becak beliau bekerja di bioskop Bima dibilangan palmerah, pernah juga jadi kuli di pembangunan perumahan villa kelapa dua. Masa-masa sulit itu ia ceritakan dengan mata berkaca-kaca. Semasa sekolah ia tidak sempat bermain selayaknya anak-anak remaja lain, sebab ia harus mengayuh becak demi bisa bertahan hidup dan membiayai sekolahnya. Sering dikejar-kejar trantib karena becak sudah dilarang beredar di Jakarta.
Lepas lulus SMA, mencoba peruntungan lewat jalaun UMPTN, diterima di UI tetapi DO enam bulan kemudian. Lalu setelah DO dari UI, ia meneruskan kuliah di universitas swasta sembari terus melamar pekerjaan.
Satu ibrah yang bisa saya tarik dari pengalaman beliau saat itu adalah, bahwa hidup itu tidak boleh cengeng, kerasnya hidup tidak boleh membuat manusia menjadi lemah, pekerjaan mulia bukan pekerjaan dengan gaji besar, tetapi pekerjaan dengan hasil yang halal, tidak perlu malu melakukan pekerjaan kasar sekalipun. Demi sebuah cita-cita besar apapun harus dilakukan asal halal dan thoyib. Jika ingin berhasil dimasa depan, seorang anak muda harus kuat memegang prinsip dan tetap teguh dan commit dengan pendiriannya. Ia harus bisa memetakan jalan hidupnya, tahun ini harus melakukan apa, dan tahun berikutnya harus melakukan apa lagi yg lain.

Pada kesempatan yang lain, saya memancingnya untuk bercerita bagaimana ia bisa sampai diposisi sekarang ini di perusahaan itu. Saya tidak mengerti bagaimana ia bisa menjadi direktur diperusahaan milik orang lain yg tidak ada hubungan apapun dengan beliau, bahkan milik warga keturunan, kok bisa ia dipercaya memegang perusahaan yang cukup besar itu.
Ia bercerita, kuncinya cuma satu, kejujuran, dan mencintai pekerjaan itu. Ia berada diposisi itu bukanlah semudah membalik telapak tangan, ia melewati berbagai macam ujian yang diberikan oleh bosnya tanpa sepengetahuan dirinya, sampai suatu ketika ia dipercaya oleh bosnya itu. Ada beberapa ujian tentang kejujuran yang ia ingat persis. Pertama ketika ia memegang bagian pembelian, ternyata bosnya sudah kongkalikong dengan supplier untuk menguji dirinya. Oleh supplier, ia diberikan hadiah, karena telah membeli barangnya. Ia tidak meminta apapun sebelum deal dengan penjual, karena itu sama saja dengan korupsi, karena itu supplier memberikan hadiah setelah deal itu selesai. Sebenarnya secara hukum hadiah itu halal;karena ia tidak memintanya dan hadiah itu diberikan terlepas dari jual beli yang dilakukan; tetapi ia menolaknya, sang penjual memaksa, akhirnya ia terima tapi tidak diambil untuk dirinya sendiri, ia berikan hadiah itu kepada teman-temannya yang lain dan ia tidak mengambil sedikitpun.
Kali lain sang bos mengujinya dengan uang tunai, ia bersama bosnya pergi ke bank mengambil uang. Setelah sang bos menerima dari teller, secara diam-diam bosnya itu menaruh uang tambahan sekian ratus ribu di amplop itu, dan menyuruh pak Tono untuk menghitung uang itu dikantor saja, karena ia harus buru-buru pergi ketempat lain. Sampai di kantor pak Tono bingung, kok uang yang diberikan oleh kasir lebih sekian ratus ribu. Esoknya ia melapor kepada sang bos untuk mengembalikan uang itu kepada teller bank, katanya kasihan teller itu harus tekor memberikan uang lebih kepada nasabah. Sang bos hanya tersenyum-senyum dan berjanji akan mengembalikannya.
Kisah lain, ketika ia berurusan dengan konsultan pajak, yg juga suruhan bosnya, sang konsultan memberikan nilai yang harus dibayar kepada perusahaannya sekian juta dan ia mendapat sekian persen dari nilai itu. Ia pun setuju, tetapi persenan itu ia kembalikan kepada perusahaan sehingga perusahaan tidak dirugikan sedikitpun.
Setelah sekian tahun barulah sang bos percaya penuh kepadanya.
Menjadi tangan kanan bos bukanlah pekerjaan mudah jika tidak punya prinsip bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan benar dan jangan sekali-kali curang. Ia harus berhadapan dengan adik sang bos yang ternyata bermasalah.
Ketika bermasalah dengan sang adik bos, ia tidak mendapat pembelaan dari sang bos, bahkan bosnya mengatakan, jika saya harus ribut dengan adik saya, maka saya lebih senang memecat kamu ketimbang ribut dengan adik. Pak Tono bergeming, ia katakan jika saya bersalah, silahkan bapak memecat saya tanpa pesangon sedikitpun, saya rela mengundurkan diri sekarang juga. Tetapi sang bos memang lebih tahu kejujuran anak buahnya dibandingkan sang adik, maka ia tidak jadi dipecat. Akhirnya sang adik malah menjadi anak buah Pak Tono. Orang tua sang bos pun begitu respek dengannya.
Semua cerita dari pak Tono, diam-diam saya kounter dengan kesaksian anak buannya, dan memang, itulah yang sebenarnya terjadi.

Ibrah:
Hidup itu sebenarnya mudah, dan kunci kemudahan hidup itu adalah kejujuran. Ketika seseorang telah berbuat curang, sesungguhnya ia telah mempersulit dirinya sendiri. Sesungguhnya manusia memang tidak melihat kecurangan kita, tetapi Allah adalah maha melihat. Cerita tentang anak kecil penggembala domba yang diuji oleh khalifah abu bakar ketika ia menginginkan domba itu dijual kepadanya, toh sang pemilik tidak mengetahui karena saking banyaknya domba itu, apa jawaban sang anak. “pemilik domba memang tidak mengetahui, tetapi dimana Allah?” cukup menjadi contoh yang baik bagi kita. Tapi itu terjadi dizaman khalifah dimana keimanan manusia saat itu memang dalam kondisi terbaik sepanjang zaman. Tapi cerita nyata tentang kejujuran pak Tono dan hikmah yang didapat dari kejujurannya itu, juga perjuangan hidupnya yang berliku hingga mengantarnya kepintu kesuksesan terjadi dizaman sekarang, di zaman penuh keculasan dan kemunafikan, orang seperti beliau sepertinya sangat sulit untuk kita temukan. Melalui tulisan ini, saya ingin kita berdialog dengan hati nurani kita sendiri, sanggupkah kita menjaga hati ini dengan kejujuran. Mungkin selama ini kita selalu menyalahkan takdir, selalu menyalahkan nasib atas terpuruknya keadaan kita, atas kesulitan yang kita terima, atas bencana dan musibah yang sedang terjadi, atas kesialan selama ini. Jangan-jangan itu semua terjadi karena kita telah curang, kita telah culas dan kita telah mengangkangi nikmat kejujuran yang terselip dalam sanubari, dengan kebodohan dan kemunafikan yang membutakan mata hati kita. Semoga masih ada kesempatan untuk bertobat kepadamu ya Allah. Subhanaka laa ilaaha illa anta, inni kuntu minazholimin, maha suci engkau ya Allah, tiada Tuhan selain engkau, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang dzalim....

Semoga bermanfaat.

PS. Untuk “Pak Tono” disana, maaf kisah bapak saya publikasikan, semata-mata demi ibrah yang bisa kami ambil dan semoga bermanfaat bagi yang lain. Demi menjaga keikhlasan, nama bapak tetap kami samarkan. Jika Bapak membaca tulisan ini (dan saya yakin Bapak pasti membacanya), saya ucapkan terimakasih atas kisahnya yang sangat inspiratif dan penuh hikmah ini, maafkan saya jika saya belum minta izin pada Bapak atas publikasi ini, lain waktu jika kita bertemu kembali, saya akan kulunuwun Pak. Terimakasih atas waktunya dan atas wawancara “tak sengaja” dari saya.

No comments:

Post a Comment