Dulu, sewaktu kecil, kita sangat senang beribadah dalam hangatnya suasana ramadhan, bercengkrama dengan teman-teman dan berceloteh dalam gaya khas anak-anak tentang nikmatnya bulan barokah itu.
Meski kita tahu, nikmatnya bulan ramadhan saat anak-anak hanya sebatas kesenangan berbuka, bercanda dan bersenda gurau serta bermain-main dalam syahdunya suasana bulan puasa itu. Bulan yang membekas dan berbeda dari bulan-bulan lainnya.
Sholat isya dan tarawih berjamaah, sholat subuh berjamaah, tadarusan dan seabrek aktifitas lainnya yang begitu nikmat di lalui tanpa beban dalam jiwa anak-anak.
Kini, ketika dewasa, seolah-olah ada kesyahduan yang menghilang dalam aktifitas ramadhan kita. Pekerjaan-pekerjaan orang dewasa yang mengharuskan kita untuk berjibaku demi mencari sesuap nasi untuk nafkah keluarga, mengharuskan kita terlempar dalam kesibukan kita sendiri. Bulan ramadhan berjalan terasa hambar, terasa seperti biasa seperti bulan-bulan lainnya seolah-olah kita hanya memindahkan waktu jam makan kita dari siang ke malam hari saja. Dan bulan ramadhan pun berlalu tanpa syahdu.
Kita tidak mengerti mengapa kesibukan dunia menyebabkan kita menjadi sulit untuk memahami bahwa ramadhan itu adalah sebuah rizki dari Allah kepada manusia. Rizki yang datang kepada semua orang tetapi tidak semua orang mau menerimanya.
Kita tahu, saat ramadhan adalah saat rahmat dan pengampunan Allah turun deras dari langit, tapi kita tidak tahu, mengapa kita tidak antusias melaksanakannya. Kita hanya antusias mengumpulkan bekal untuk hari raya, bukan bekal untuk hari kiamat. Kita hanya sibuk bekerja untuk hari kemenangan itu, tetapi kita tidak dapat memastikan apakah kita menang pada hari itu. Menang bagi kita adalah saat kita bisa tampil “perfect” pada hari raya dihadapan sanak saudara, handai taulan dan teman-teman. Begitukah?
Entah mengapa begitu sulit menghadirkan suasana ramadhan itu kedalam hati, dan mengapa lebih mudah menghadirkan suasana ramadhan dalam balutan hiburan di televisi. Seolah-olah televisilah yang paling bergembira atas hadirnya ramadhan.
Kita tidak tahu, mengapa ketika semakin dewasa, saat tanggung jawab sebagai kepala keluarga semakin membesar, saat keinginan-keinginan tentang masa depan dan hidup layak didalam lilitan harta dan kekayaan semakin mendera sanubari, keinginan dan tekad akan penghidupan yang lebih baik demi masa depan anak-anak, demi masa depan orang-orang yang kita sayangi semakin membuat rasa dan hangatnya ramadhan hilang seperti hilangnya pagi ditelan siang. Dimana kita bisa temukan syahdunya suasana itu seperti saat kita kecil?
Mungkin kita akan menemukan kembali saat-saat itu, ketika kita tidak lagi sibuk akan urusan dunia, ketika rambut mulai beruban, ketika kita dipaksa pensiun karena umur tak bisa berbohong, ketika produktifitas telah berkurang dan menghilang. Dengan kata lain ketika senja telah tiba, dan ketika renta telah menyapa.
Apakah kita harus menikmati indahnya ramadhan dengan menunggu saat renta itu?
Apakah kita bisa menikmati nikmatnya ibadah dalam kerentaan itu?
Dan siapakah yang menjamin kita bisa sampai pada masa renta itu?
Tuhan, kemanakah perginya ramadhan nan syahdu itu?
Tuesday, September 08, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment