Friday, July 31, 2009

Ketika dompet mulai kosong

Saya kira semua akan setuju bahwa pada suatu ketika seorang laki-laki atau seorang perempuan pernah mengalami tidak punya uang sama sekali. Padahal penghasilan yang didapat terbilang cukup untuk kehidupan selama sebulan. Beda dengan orang yang memang sehari-hari berpenghasilan pas-pasan, dimana dompet mereka memang senantiasa kosong.

Saya tidak membahas apakah sang pemilik dompet adalah orang kaya atau orang miskin, orang mampu atau orang tidak berpunya. Yang saya akan bahas disini adalah bagaimana dan apa yang dilakukan saat seseorang itu tidak punya uang sama sekali. Bagaimana iman yang akan menjaga mereka apakah benar-benar bekerja atau tidak.
Kondisi “tidak punya uang” menurut saya relatif, dimana untuk sebagian besar rakyat kecil kalau dibilang tidak punya uang memang benar-benar tidak punya uang. Ada sebagian menyatakan kalau didompet mereka hanya tinggal satu juta atau lima juta sudah menyatakan tidak punya uang sama sekali.
Disinilah yang membedakan dua golongan besar manusia. Cobaan tidak punya uang cukup ampuh untuk menunjukan kualitas iman seseorang.

Suatu ketika seorang teman pernah berkata, betapa sulit hidup dijaman sekarang ini, apa-apa serba mahal, berapapun gaji dan penghasilan yang saya miliki tidak akan cukup untuk menopang kehidupan selama sebulan. Saya katakan kepada kawan saya itu, memang sekarang semua serba mahal, dan sulit untuk bisa memenuhi kebutuhan yang semakin lama semakin banyak. Tapi coba kita ingat-ingat beberapa tahun lalu dan bandingkan dengan kondisi sekarang, tetap sama bukan, meskipun gaji semakin membesar, tetap saja penghasilan tidak cukup juga. Apa yang salah kalau begitu.
Saya bilang, dulu waktu gaji kecil, kebutuhan juga masih kecil, sekarang gaji besar, kebutuhan juga membesar. Malah bagi sebagian orang tak bisa membedakan mana kebutuhan dengan keinginan. Akhirnya sebelum akhir bulan tiba uang sudah habis sama sekali. Sebenarnya kondisi tidak punya uang itu seharusnya membuat manusia berfikir lebih jernih dan bijaksana. Seharusnya kita bisa berhemat, minimal melokalisir keinginan yang tidak perlu. Karena keinginan-keinginan yang tidak perlu itulah yang melahirkan kebutuhan besar.

Kebutuhan yang hadir secara wajar, mampu menjaga seorang manusia untuk tetap bersyukur atas rezeki dari Allah, meskipun saat itu mereka tidak punya uang sama sekali. Kondisi kebutuhan yang wajar pula yang menyebabkan hati bisa berfikir jernih dan menjauhi hal-hal yang subhat bahkan terlarang agama. Sebab mereka sadar bahwa kebutuhan mereka memang seperti itu dan rezeki yang didapat belum cukup untuk menutupi kebutuhannya. Akhirnya sifat qonaah / merasa cukup akan muncul dengan sendirinya. Sifat mulia dan optimis bahwa Allah akan memberikan rezeki terhadap hamba-hambanya akan terpatri dalam sanubari.

Saya sangat terkesan dengan ucapan Alm. Rahmat Abdullah, ketika istri beliau meminta uang belanja sedangkan beliau saat itu tidak punya uang sama sekali. “Ummi, kalau rezeki sudah habis, itu artinya rezeki akan datang lagi, sama seperti sumur yang sudah kering, itu artinya air akan datang lagi”.[1] Sifat optimis dan gembira saat rezeki habis justru sebagai pertanda bahwa sebentar lagi akan datang rezeki berikutnya. Meskipun dalam suasana musibah atau kondisi yang benar-benar genting sama sekali. Mereka yang pandai bersyukur selalu ingat bahwa “innamal ushri ushro” sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan.

Dilain pihak beda dengan mereka yang kebutuhannya hadir karena keinginan. Mereka mempersulit kemudahan yang mereka miliki karena tergoda syahwat materi, trend, dan keinginan untuk dipuji, merasa wah dan gagah, bahkan terkadang karena bujukan kawan sekitar. Saat kondisi seperti ini sulit untuk berfikir jernih apalagi saat uang tak punya. Jadilah korupsi menjadi makanan sehari-hari, menilep, mencuri, merampok, bahkan memakan harta milik ummat (shodaqoh, amal jariah, dana haji dll).

Bagi sebagian orang godaan wanita masih bisa ditahan, tetapi godaan harta, jarang sekali yang bisa bertahan. Hanya orang-orang yang benar-benar takut kepada Allah yang bisa lolos dari godaan harta. Lihat saja betapa banyak para aktivis yang dulu semasa mahasiswa terlihat zuhud dan anti korupsi, kini ketika sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan, masuk dalam struktur pemerintahan atau masuk dalam kelembagaan dewan, kini diam seribu bahasa, saat tawaran amplop terbang melayang diatas kepalanya, dan ini bukan gosip atau rumor, ini adalah fakta. Juga berapa banyak para da’i, para ulama, para tokoh masyarakat yang terjerembab kedalam kasus pencurian uang, baik milik yayasan, ataupun milik negara. Padahal bibir-bibir mereka setiap hari mengalir ucapan-ucapan hikmah yang menjadi panutan bagi masyarakat.

Memang sulit menjaga amanah jika berhubungan dengan uang. Sangat berat, bahkan lebih berat dari godaan syahwat dan mabuk-mabukan. Apalagi saat kita dalam kondisi tidak punya uang, meskipun kondisi itu kadang kita sendiri yang menciptakan.

Inilah secarik doa yang diajarkan rosul untuk kita dalam menghadapi kondisi seperti itu:


اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ.

“Ya Allah! Cukupilah aku dengan rezekiMu yang halal (hingga aku terhindar) dari yang haram. Perkayalah aku dengan karuniaMu (hingga aku tidak minta) kepada selainMu.” [2]

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ.

“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari (hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.” [3]
---------------------------------

Semoga Bermanfaat.

Daftar Pustaka
[1]Sang Murrabi
[2] HR. At-Tirmidzi 5/560, dan lihat kitab Shahihut Tirmidzi 3/180.
[3] HR. Al-Bukhari 7/158.

No comments:

Post a Comment