Sunday, May 03, 2009

Antasari dan Aksi Penegak Hukum dalam Film Holywood



Dunia penegakan korupsi di Indonesia saat ini heboh luar biasa setelah salah seorang penting dinegeri ini, pangeran penegak anti korupsi, pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung via Mabes Polri atas tuduhan pembunuhan terhadap Nasrudin Zulkarnain, seorang direktur sebuah BUMN, PT Putera Rajawali Banjaran.

Sosok Antasari yang dikenal tegas, berani tanpa pandang bulu dinilai berhasil membuat gigi KPK menjadi sangat tajam di mata publik. Prestasi terakhir KPK di bawah komando Antasari yang dianggap paling sukses adalah ketika membongkar skandal di Bank Indonesia yang menyeret besan Presidan SBY, Aulia Pohan kedalam penjara.

Seperti sebuah pertunjukan drama antiklimaks yang terpaksa dihentikan karena pemeran utama dinyatakan tidak bisa melanjutkan perannya, Antasari bagaikan meluncur dari puncak roller coaster dengan kecepatan sangat tinggi, sesaat setelah ia mencapai ketinggian puncaknya. Motif yang menjeratnya juga membuat publik hampir tak percaya yakni “Perebutan (baca perselingkuhan dengan - red) seorang wanita” (http://www.detiknews.com/read/2009/05/04/121857/1125828/10/pembunuhan-nasrudin-berawal-dari-perselingkuhan-di-kamar-808-grand-mahakam). Karena kasus itu, sang pendekar hukum pun tersandung kedalam jerat hukum pidana dengan delik pembunuhan berencana dengan hukuman maksimal adalah hukuman MATI, sungguh ironis.

Belum lama berselang, Antasari berhasil membuat KPK bersinar terang karena mampu membawa para koruptor mendekam dalam jeruji besi. Jaksa Urip, beberapa anggota DPR, mantan dubes, mantan Kapolri dan beberapa orang penting yg pada zaman Suharto seperti sulit tersentuh hukum kini menjadi para pesakitan. Dibawah Antasari pula publik mulai percaya bahwa KPK bukan merupakan kepanjangan tangan pemerintah, tetapi merupakan lembaga independen dan merupakan institusi terakhir harapan masyarakat bagi keadilan hukum untuk para pencuri dan perampok uang negara.

Turunnya Moralitas; Perselingkuhan dianggap biasa dan menjadi wilayah private.

Tapi kini publik seakan tak percaya, status moralitas para penegak hukum mulai diragukan, atau mungkin malah hilang sama sekali. Ada dua hal yang dapat dicatat dalam kasus ini, pertama, jika Antasari dinyatakan bersalah, maka negeri ini harus mempunyai aturan baru tentang moralitas. Jenis moralitas yang harus ditegakkan adalah jenis moralitas budaya timur, yang tidak terlepas terhadap tiga paramater yang mengikutinya, yakni moralitas akan harta, tahta dan wanita dalam artian 1. bermoral thd harta dimana tidak melakukan korupsi, 2. bermoral thd kekuasaan dimana tidak berkonspirasi untuk merebut kekuasaan, dan 3. bermoral thd wanita dalam pengertian tidak berselingkuh dan berzina terhadap wanita. Bukan jenis moralitas yang dipertontokan para penegak hukum dalam film-film Holywood, dimana mereka digambarkan suci dari dosa korupsi dan konspirasi (bermoral-red), tetapi selalu bermain cinta dengan wanita yg bukan istrinya sebelum melakukan aksinya. Atau seperti agen rahasia 007, James Bond, yang dianggap bermoral tinggi terhadap harta dan kekuasaan tetapi gemar meniduri banyak wanita.

Kedua, kalaupun Antasari divonis tidak bersalah, maka tetap menjadi keharusan dalam penilaian dalam Fit & Proper Test untuk setiap pejabat publik, bahkan mungkin untuk calon anggota DPR dan DPD di negeri ini, di sarankan untuk menambah satu kriteria lain yakni moralitas/kesusilaan/akhlak mulia, tidak hanya menilai sisi integritas dan kapabilitas saja, karena apapun jabatannya, atau apapun posisi mereka, sisi moralitas tetap harus diutamakan sebagai penilaian bahwa seseorang pejabat itu pantas menduduki jabatannya karena mempunyai kecakapan dan kemampuan serta mempunyai ketinggian akhlak. Indonesia bukanlah Amerika, dan Amerika bukanlah Indonesia, kita tidak bisa memaksakan standar moral bangsa Amerika Serikat untuk moral bangsa Indonesia. Clinton mungkin boleh lepas dari skandal dengan Monica Lewinski, tetapi Antasari, jika terbukti bersalah, atau siapapun pemimpin atau pejabat yang berselingkuh atau mempunyai dosa susila, tetaplah bukan merupakan pemimpin yang baik. Mereka adalah para pecundang. Jangan lagi kasus-kasus susila dianggap sebagai masalah pribadi dan tidak ada hubungannya dengan integritas seseorang. Jangan lagi akhlak dianggap sebagai wilayah private, karena perbuatan selingkuh/zina adalah merupakan perbuatan kotor yang paling tinggi, sekali manusia berani melompatinya, maka manusia akan menganggap remeh perbuatan-perbuatan kotor lainnya seperti korupsi , konspirasi, bahkan menghilangkan nyawa manusia sekalipun. Semoga para pemimpin yang masih mempunyai hati nurani dan akhlak mulia mampu merubah persepsi bangsa ini, menuju bangsa yang maju, beradab dan berakhlak mulia. Amin.

No comments:

Post a Comment