Tuesday, February 24, 2009
Paradoks Amal
Siang tadi selepas makan siang aku mengantar istri pergi ke gedung walikota, katanya ada yang ingin ditanyakan kepada staf dikti tentang kemungkinan formasi guru SMK negeri yang katanya akan banyak dibutuhkan oleh pemerintah dalam setahun kedepan. Ada dua kisah menarik sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor walikota tadi. Yang pertama pemandangan di perempatan permata hijau tepatnya disebelah kiri jalan, disana aku lihat seorang perempuan renta dengan mata yang agak kurang awas sedang mengemis, dan tidak jauh dari situ seorang kakek dengan rebana kecil duduk bersila di trotoar yang sangat panas sambil tangannya menepuk rebana dengan tepukan yang sangat lemah..."pak"......."tung"....."pak"....."tung" dengan jeda waktu yang cukup lama bagi seorang penepuk rebana. Hatiku yang kadang keras ini tersentuh juga oleh pemandangan mengenaskan tsb, bagaimana tidak. Seorang nenek yang seharusnya berada dirumah dengan anak cucu, juga seorang kakek yang harusnya seluruh waktunya ditumpahkan untuk beribadah kepada Allah, terpaksa berada dijalanan untuk menyambung hidupnya. Padahal kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan. Sang nenek terlihat sudah rapuh begitupun sang kakek. Tak sanggup aku membayangkan seandainya kedua orang tua pengemis itu adalah ayah atau ibuku, tak lebih sanggup lagi kalau keduanya itu adalah diriku atau istriku dimasa yang akan datang. Hatiku bergetar, kucoba mengais-ngais uang receh dalam saku celanaku saat nenek tua itu menghampiri ku, untunglah istriku bergerak lebih cepat, ia menyodorkan selembar uang limaribuan kepada nenek itu. Waduh hampir malu aku, ketika aku mencari uang seribuan, ternyata istriku telah memberi dengan uang limaribuan. Ketika aku baru berniat, orang lain lebih cepat. Yah, kadang jiwa yang keras terbentuk dari kebakhilan diri. Ya robbi ampunilah aku. Saat istriku mengulurkan tangannya, ku pandangi raut muka sang nenek, dengan senyum simpul dia mengucapkan terimakasih sambil menguntai do'a untuk kami. Aku hanya bergumam amin, amin ya robbal 'alamin. Saat itu juga pikiran ku langsung berontak melihat pemandangan tsb. Aku tak terbiasa melihat pemandangan yang menyentuh, melainkan aku akan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab dengan masalah ini. Sang Nenek, kalau bisa memilih, Ia tidak akan mau berada di jalanan dengan kondisi seperti ini, begitupun sang kakek. Terlepas dari masa lalu kedua orangtua pengemis itu. Tetaplah mereka seharusnya mendapat penghidupan yang layak. Jujur, aku langsung menyalahkan pemimpin saat ini, Ya SBY, ya Foke dan terus kejajarannya sampai kebawah, sampai tingkat kelurahan. Apa yang mereka lakukan saat ini. Apakah mereka sedang menikmati makan siang yang lezat yang dibiayai oleh uang negara. Sempatkah mereka berfikir, bahwa kedua pengemis itu akan menjadi tanggung jawab mereka di akhirat nanti. Sedang Umar bin Abdul Aziz saja sempat khawatir jika ada satu saja anjing yg terlantar diwilayah kekuasaannya, maka ia akan minta ampun kepada Allah, Apatah lagi ini adalah manusia. Saya heran dengan pemimpin dan para calon pemimpin, juga dengan para wakil rakyat dan para calon wakil rakyat di negeri ini, berani sekali mereka menyodorkan diri sebagai pemimpin di negeri dengan jumlah penduduk besar sampai ratusan jiwa ini, apakah mereka tidak tahu bahwa masing-masing dari individu rakyat ini akan menjadi saksi kepemimpinan mereka itu. Sedikit saja mereka aniaya ataupun lupa, maka neraka akan menanti mereka dengan ganasnya. Saya juga heran dengan keberanian para pemimpin untuk memikul tanggung jawab yang besar itu. Sedangkan menurut saya, untuk saat ini belum ada pemimpin sekaliber Umar bin Abdul Aziz yang sanggup memimpin dengan adil, meskipun dari partai yang mengaku partai dakwah sekalipun. Ah..saya pusing sendiri, masih susah mencari pemimpin dinegeri ini yang berjuang semata-mata lilahi ta'ala. Tidak untuk partai nasionalis, tidak juga untuk partai agamis termasuk partai dakwah yg saya lihat sudah mulai kehilangan orientasinya sebagai partai dakwah tetapi mulai menjadi partai plural. Padahal Allah telah berjanji kepada para mukmin yang sabar, bahwa Allah akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi jika mereka bersabar. Toh kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi efeksamping dari keimanan dan kesabaran tsb dan merupakan hadiah dari Allah. Walau bagaimanapun, sebagai seorang mukmin, kita tetap harus bisa memilih mana pemimpin yang ideal, yang berjuang bukan karena kekuasaan, tetapi untuk mengabdi kepada Ummat.
Kisah kedua adalah kisah tentang para aparat,
Tak terasa kami sudah sampai di gedung walikota, istri saya turun dan saya menunggu ditepi jalan, sambil mencari lokasi yang teduh sebagai tempat menunggu, saya berputar arah, menepi kekiri dan memarkir kendaraan ditempat yang cukup nyaman. Saya pun turun dan duduk didepan tanggul besi kali yang menjorok kedalam, saya ambil kamera handphone saya dan saya jepret gedung yang cukup tinggi itu. Cukup lama saya duduk disitu, tak lama kemudian istri saya datang kembali dengan wajah bersungut-sungut, tampak ada rasa kecewa di raut mukanya. Saya bertanya ada apa. Dia bercerita bahwa orang yang dicarinya tidak ada, katanya meeting, yg ada hanya stafnya. Nah stafnya inilah yang membuat wajahnya bersungut-sungut. Staf itu, menurut istri saya merupakan pribadi yang angkuh dan sangat tidak menghormati orang lain. Typical kaum pejabat yang gemar berpongah ria dan tidak menghormati lawan bicaranya. Padahal kedatangan istri saya hanya untuk bertanya, tidak lebih. Saya heran, bagaimana orang seperti itu bisa menjadi abdi rakyat, bukannya melayani rakyat malah melecehkan. Ingin rasanya saya masuk dan menghajar staf yang bekerja di walikota itu, tapi istri saya mencegahnya dan membiarkan saja kejadian itu. Saya tahu, saya tidak akan mungkin melakukan itu, selain hanya bisa beristighfar. Saya hanya bertanya siapa nama lengkap staf itu dan divisi apa. Siapa tahu saya bisa melacaknya. Yaa, sekedar merekam track record para pejabat yang gemar melecehkan orang lain. Tapi menurut istri saya, rata-rata mereka memang tidak menghormati para guru yang dianggap pegawai kelas rendahan. Pernah kolega istri saya seorang guru yg cukup senior ketika mengajukan persyaratan sertifikasi sempat dimarahi oleh staf walikota dengan kata-kata kasar. Katanya data sang guru senior tersebut tidak lengkap sehingga mengganggu pekerjaannya, padahal seumur-umur belum ada pemberitahuan kalau data beliau tidak lengkap. Dengan arogannya sang staf tsb menyuruh mengumpulkan sore ini juga kalau mau sertifikasinya ingin diproses. Weleh-weleh, Karena pekerjaan sendiri yang lambat kok orang lain yang dijadikan kambing hitam. Bukannya bermaksud mengeneralisir aparat, tetapi bagi saya sudah dua kali saya dibohongi oleh aparat edan itu. Pertama waktu saya ingin membeli rumah didaerah srengseng via KPR. Ketika itu pemilik rumah adalah aparat dirjen hukum dan HAM sedang istrinya aparat dinaskertans. Ia bilang kalau rumahnya clean tidak ada masalah yang membuat saya yakin dan mantap untuk membelinya. Ternyata setelah aplikasi KPR saya masukan ke bank dan bank meminta IMB rumah tersebut, ternyata pemilik rumah menyatakan rumah itu tidak ada IMBnya, jadi selama ini beliau membuat sertifikat rumah itu melalui PRONA(Proyek Nasional)- semacam pemutihan akta hak milik-jadi tidak perlu surat macam-macam. Kata sang empunya rumah," tenang saja Pak, gampang kok bikin IMBnya" Jadi beliau memaksa saya untuk melunasi DP sebesar 30%nya. Tapi saya tdk mau sebelum IMBnya itu memang bisa diurus. Lalu saya dikenalkan oleh keponakan saya bahwa mertuanya kerja diwalikota dan terbiasa mengurus IMB itu. Saya serahkan berkas2nya plus uang untuk mengurusnya. Dan dengan jaminan dari mertua keponakan saya itu. Jadilah saya lunasi DP 30% itu. Ternyata...setelah menunggu beberapa bulan, setelah saya sendiri mengecek ke Dinas tatakota Kecamatan, Rumah tsb terkena proyek gorong-gorong pemerintah sebanyak 90%, dan yg tidak kena hanya sekitar 10%. Dan tidak mungkin IMB dikeluarkan jika luas tanah hanya 10% itu. Jadilah saya kena dibohongi lagi bahkan oleh mertua keponakan saya itu. Sebelumnya saya juga sudah feeling, masak ingin tahu kalo IMB bisa diurus saja memakan waktu berbulan2. jawaban staf walikota itu "tar sok, entar besok","orangnya pulang kampung" dsb. Astaghfirullah. Saya marah bukan main, termasuk kepada keponakan saya itu. Saya datangi rumahnya dan saya berteriak-teriak didalam rumahnya (Gila saya emosi benar waktu itu), saya ajak dia kekecamatan untuk membuktikan bahwa IMB itu bisa diurus, Dia beralasan sakitlah, tidak enaklah dan sejuta alasan lainnya. Akhirnya dengan ancaman akan melaporkannya ke polisi karena telah menipu saya, akhirnya mau ikut saya ke kecamatan dan bertemu dengan staf dinas tatakota itu. Sampai disana, staf itu bilang, "Pak, kan saya sudah bilang ke Bapak kalo rumah ini tidak bisa diurus karena kena proyek gorong-gorong pemerintah". Saya lihat mukanya merah padam dan dia diam seribu bahasa. Saya berusaha menahan amarah. Istri saya menenangkan saya agar jangan berbuat aniaya yang bisa berakibat macam-macam. Akhirnya saya hanya berkata kepada mertua keponakan saya itu. "Pak, kalau saja bapak mau jujur dari awal, bahwa rumah itu bermasalah dan saya jangan beli rumah itu" Saya malah merasa senang" karena memang itu yang saya inginkan, tetapi karena uang tak seberapa yang saya sudah kasih ke Bapak, Bapak lupa daratan dan malah menipu saya, bukan hanya bapak yang malu, tetapi seluruh keluarga bapak...". Entah berapa lama saya mengoceh dan meracau saat itu, yang jelas ingin rasanya menggoreng wajah orang itu. Waktu itu almarhum ibu saya masih hidup, beliau hanya menasehati, mungkin ada sesuatu yang salah yg telah kamu lakukan yang membuat rezeki kamu harus hilang dengan cara seperti itu.. Ya saya sadar, saya hanya bisa istighfar, mungkin ada yang salah dengan saya.Mungkin juga saya telah melakukan paradoks amal, hingga datang sebuah kejadian yang membangunkan saya dengan tamparan keras, dan menyakitkan bahwa manusia hanya bisa berusaha, Allahlah yang menentukan. Saya tdk menyalahkan siapapun yang telah menipu saya, saya juga tidak dendam dengan mereka. Justru karena merekalah saya ditegur oleh Allah dengan teguran yang membuat saya tidak bisa tidur selama tiga hari. Saya mengerti Allah masih sayang kepada saya dengan mengirimkan teguran semacam itu toh juga saya hanya kehilangan uang (yg saya kumpulkan bertahun-tahun), Saya tidak bisa bayangkan bagaimana dengan para korban musibah tsunami, dan musibah lain yang memakan harta dan nyawa. Saya masih bersyukur, Justru kalau hidup saya mulus-mulus saja, saya khawatir bahwa sesungguhnya Allah telah membiarkan saya tenggelam dalam dosa yang berkepanjangan. Naudzubillah min dzalik.
Labels:
Sosial
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment