Sunday, February 08, 2009

Family Contemplation

Waktu menunjukan pukul sebelas malam, diluar lalu lalang kendaraan sudah hampir tak terdengar, hanya beberapa orang anak muda berbicara riuh sambil sekali-kali tertawa didepan warung indomie milik tetangga. Badan sudah terasa letih, tetapi pekerjaan kantor yang terpaksa aku bawa kerumah belum kelar-kelar juga, padahal pekerjaan ini harus selesai esok hari sesuai kontrak yang telah ditandatangani. Program yang dipesan client harus sudah siap running dan aku harus menyelesaikannya malam ini juga. Huh benar-benar menyebalkan. Sebagai seorang profesional harusnya aku menaati time table. Tetapi sebagai programmer yang bekerja berdasarkan mood, sulit bagiku untuk menargetkan hal itu. Sama seperti seniman yang tidak mungkin bisa dipaksa menuntaskan karyanya jika tidak sedang menemukan harmoni baru, atau penulis yang sedang merasa jumud sehingga ide-ide kreatifnya menjadi tumpul atau bahkan pencipta lagu yang tak bisa menumpahkan nuansa-nuansa nada yang tepat untuk lagu-lagunya, semua akan merasa jengkel dan sebal dalam kondisi seperti itu. Tapi mengingat tiket ke Jogja sudah dibeli, dan client sudah menunggu disana, aku menjadi tak enak, terpaksa ku coba menuntaskan itu semua, semampuku. Untuk membuat suasana terasa nyaman, ku putar lagu “The Moment”nya Kenny G, sejurus kemudian suara saxopone mendayu-dayu memenuhi seluruh ruangan. Nah ini baru nyaman, kondisi seperti ini yang bisa membantu pikiran menjadi jernih. Ya, kadang musik bisa membuat pikiran terkonsentrasi atau malah sebaliknya. Sohib lama teman sekolah SMU dulu, pernah bercerita, bahwa ia baru bisa belajar jika ditemani musik, ada yang senang mendengarkan musik sendunya Katon Bagaskara dengan “Semoga”nya atau malah musik cadas bin keras seperti Metalica atau Sepultura. Untuk jenis musik terakhir malah dipakai untuk menginterogasi tahanan Guantanamo oleh agen-agen CIA. Ya musik memang dapat digunakan untuk apa saja.

Malam semakin larut, lagu-lagu MP3 yang aku putar sudah berputar-ulang beberapa kali. Aku sudah tidak sanggup lagi berpikir. Aku harus menemukan triger baru untuk membuatku tetap semangat. Ku dengar suara tangis kecil dari kamar anakku. Terpaksa aku bangkit dari tempat duduk, pergi kekamar anak-anakku untuk memastikan mereka tidur dengan nyenyak. Ya, sedikit perhatian kepada anak sanggup membuatku bertahan hidup dalam kondisi apapun. Kali ini kutatapi wajah-wajah mereka satu persatu. Kata orang, jika engkau ingin menumpahkan rasa sayang pada keluargamu, pada anak dan istrimu, lihatlah waktu mereka sedang tidur, niscaya engkau akan iba kepada mereka.
Perlahan kutatapi wajah si sulung, seorang gadis kecil yang cantik dengan rambut ikal sebahu. Aku menerawang kepada waktu silam ketika ia balita, ketika ia bayi, bahkan ketika ia belum lahir. Aku berusaha mengingat-ingat kejadian itu satu persatu, seperti menguntai mutiara dari satu baris kebaris yang lain. Ya si sulunglah penumpang pertama dalam bahtera rumah tangga kami. Jarak kelahirannya cukup lama dari hari pernikahan kami. Istriku mengandungnya ketika usia pernikahan kami beranjak bulan kesembilan. Masa sembilan bulan itu bagiku merupakan penantian yang cukup lama. Karena aku sangat berharap bahwa ia akan menjadi pengikat rumah tangga kami, aku takut kalau-kalau aku tidak memiliki keturunan meskipun aku tahu bahwa kekhawatiran ku itu berlebihan. Masih banyak pasangan-pasangan lain yang baru mempunyai anak setelah dua, tiga sampai lima tahun, bahkan setahuku Pak Amin Rais baru mempunyai anak setelah sebelas tahun pernikahan beliau. Tapi tetap saja aku khawatir karena aku sangat merindukan anakku yang pertama.

Ketika Ia lahir, kubuatkan puisi indah untuk menyambutnya, kurangkai kata-kata manis dalam janjiku untuknya, janji seorang ayah yang akan menumpahkan segala kasih sayang yang ia miliki untuk anaknya tersayang.
Kutatap kembali wajahnya dengan seksama. “Nak, ternyata kamu sekarang sudah besar. Tak berasa aku melihat pertumbuhanmu, engkau kini sudah bukan lagi balita, engkau kini seorang gadis berusia delapan tahun dengan bakat kecantikan yang engkau warisi dari ibumu”. Wajahmu ayu dan kulitmu putih bersih dengan sedikit noda-noda hitam di pahanya. Astagfirullah,Aku terhenyak, mengapa ada bekas luka di pahanya. Pikiran ku coba menebak-nebak apa yang terjadi padanya, tak terasa air mata meleleh ketika aku tersadar bahwa akulah yang melakukan itu semua, Aku menangis mengingat kesalahanku padanya belakangan ini. Ya, semenjak ia memasuki usia sekolah dasar, aku kerap memperlakukannya sebagai orang dewasa, aku keras kepadanya jika ia melanggar perintahku, bahkan tak segan-segan aku mencubitnya jika ia membantah. Aku tak sadar bahwa ia hanyalah seorang anak yang kebetulan lahir pada urutan pertama dan itupun atas kehendak Allah, kalaupun ia bisa memilih, mungkin ia tak akan mau memilih aku sebagai orangtuanya. Astagfirullah ya robbi, kemana perginya rasa sayangku kepadanya, kemana janji-janjiku untuk memanjanya ketika ia lahir. Mengapa aku begitu egois, tidak mau sedikitpun mengalah mendengarkan keinginannya. Nak, maafkan ayahmu ini, ayah tidak bermaksud menyakitimu, ayah sangat sayang padamu.
Ku belai rambutnya perlahan, dan kuusap pipinya dengan punggung tanganku sambil membereskan selimutnya. Aku menerawang jauh, menembus kegelapan malam. Pikiranku melampaui sejarah masa silam,masa-masa jahiliah dijazirah arabia dimana para quraisy membunuh anak-anak perempuan mereka karena merasa bahwa anak perempuan adalah aib bagi keluarga. Aku menangis mengingat cerita Umar Bin Khatab ra (Tokoh kedua setelah Nabi yg saya kagumi) saat masih jahiliyah dimana beliau telah membunuh anak perempuannya. Ketika itu Umar ra membeli dan memakaikan baju baru kepada anak perempuannya yang usianya kira-kira sebaya dengan usia anakku. Umar ra ingin mengajak anak perempuannya pergi jalan-jalan. Betapa senangnya hati sang anak diajak pergi jalan-jalan oleh ayahnya tanpa berfirasat apapun. Ketika sampai di sebuah lubang yang sudah dipersiapkan, dilemparnya anak itu dan dikuburnya hidup-hidup. Sang anak menjerit dan berteriak, ayah apa salah kami, mengapa kau bohongi kami, mengapa engkau mengubur kami hidup-hidup. Apalah arti teriakan seorang anak kecil dibandingkan tangan kekar sang ayah. Sang anak tewas dengan tubuh terkubur hidup-hidup. Setelah masuk Islam, Umar ra selalu menangis mengingat kejadian itu bahkan pernah berkali-kali pingsan mengetahui besarnya dosa yang pernah dilakukan terhadap anak perempuannya. Tak terasa airmataku mengalir deras membayangkan apa yang telah aku lakukan, mungkin tidak sama persis dengan Apa yang diperbuat Umar ra(Semoga Allah merahmati beliau), tetapi tetap saja aku telah menzhalimi anakku bahkan aku lupa tentang hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra tentang keutamaan anak perempuan dimana pada suatu masa Aisyah ra melihat seorang pengemis tua bersama seorang anak perempuannya. Sang anak meminta makanan kepada ibunya sedangkan sang ibu hanya memiliki sebutir kurma, lalu dibelahduanya kurma itu, sebagian untuknya sebagian lain diberikan kepada anak perempuannya. Ketika Ia hendak mengunyah makanannya, sang anak meminta kembali makanan itu. Akhirnya seluruh potongan kurma itu diberikan kepada anak perempuannya. Aku (Aisyah ra) menceritakan kepada nabi kejadian itu. Kata Nabi "Barang siapa diberi Anak Perempuan dan Ia merawatnya dengan sungguh-sungguh maka baginya surga firdaus- mutafaq alaih". Sungguh Nabipun mengajarkan kita memuliakan anak-anak perempuan kita. “Nak... maafkan kekhilafan ayah mu”.

Aku tahu, mendidik anak perempuan tidaklah semudah mendidik anak lelaki, anak perempuan bagaikan tiara yang terbuat dari kaca. Tidak boleh di pegang dengan keras, nanti akan pecah, tidak boleh juga dipegang terlalu lunak, nanti akan jatuh berkeping-keping. Aku tahu, jalan yang engkau hadapi akan berliku-liku, engkau akan menjadi tiang negeri ini. Pada rahimmu akan lahir generasi generasi pengganti, engkau adalah madrasah keluarga karena dari didikanmulah akan lahir para pembela kebenaran. Puteriku, engkau akan menjadi wanita mulia jika engkau mematuhi Allah dan Rasulmu.

Setelah puas memandangi sisulung, aku beralih kepada anak yang nomor dua, seorang anak lelaki menginjak usia 5.5 tahun, duduk di TKB. Dialah anak lelaki yang pada kelahiranya membuat duniaku bergetar. Kuharap ia akan menjadi penggantiku untuk melindungi keluarga, melindungi ibunya, melindungi kakaknya dan melindungi adiknya.
Aku memang begitu mengharapkan anak lelaki. Bahkan mungkin bukan cuma aku, Semua orang pasti sangat bangga dengan anak lelakinya. Sikap ini memang tidak baik bahkan harus diluruskan. Bukankah sikap para quraisy yang berlebihan menyanjung anak lelaki menyebabkan mereka membunuh anak-anak perempuannya. Tapi aku tidak bermaksud membeda-bedakan anak lelaki dan perempuan. Aku hanya menegaskan, laki-laki berbeda dengan wanita secara fisik, dan perbedaan itu diikuti pula dengan tanggungjawab yang berbeda. Secara naluriah laki-laki lebih kuat dan perempuan lebih lemah. Untuk itulah laki-laki ditugaskan untuk melindungi wanita. Hanya para pengecut yang tega menganiaya wanita dan hanya para suami pecundang yang mampu menyakiti istrinya. Sedang Nabi pernah bersabda “Semulia-mulianya manusia adalah manusia yang memuliakan wanita (istrinya), dan akulah orang yang paling sayang terhadap keluargaku”.
Kembali kepada anak lelaki ku, kepadanya aku mengharap agar ia mampu untuk mandiri sejak dini, karena kemandirian akan membentuknya menjadi laki-laki yang bertanggung jawab. Laki-laki yang memahami bahwa hidup di dunia ini bukanlah sekedar bermain, tetapi akan diminta pertanggungjawabanya kelak di akhirat nanti. Sebagai lelaki kelak ia akan sendiri, ia akan berkeluarga dan membawa istrinya pergi entah kemana. Tanggung jawab yang besar yang menanti dipundaknya harus dipersiapkan sejak dini.Ia harus mengerti bahwa dirinyalah yang menentukan arah jalan hidupnya, bukan orang lain. Orangtua hanya bisa berdoa kepada Allah, agar anak-anaknya diberi jalan yang lurus bukan jalan bengkok nan berliku penuh dengan dosa dan hina (“Ihdinas shirotol mustaqim, shirotol ladzina a’n amta ‘alihim, ghoiril maghdubi ‘alaihim waladdholliin”).

Cerita tentang laki-laki, tentu aku sangat bangga menceritakan tentang kisah Umar ra kepada anak laki-laki ku. Ya, Umar ra bagi ku adalah laki-laki sejati, berkarakter tegas tetapi memiliki hati selembut sutra. Pendapatnya dibenarkan alqur’an, sepak terjangnya di bela Allah. Setan pun menyingkir mendengar derap langkah kakinya. Karena kekuatan karakternya pula khamar yang dipegang oleh arab badui berubah menjadi susu. Itulah ciri mukmin sejati. Malam bagaikan rahib di lembah syahdu, siang bagai singa diraja. Ciri mukmin yang mendapat poin plus-plus dari Allah ajja wajalla.

Selimut yang tergeser oleh kaki anak lelaki ku telah aku rapikan, sekali-sekali aku tepuk nyamuk yang mencoba datang untuk menggigit. Lama kupandangi wajah lucunya, aku hanya bisa bergumam, semoga apa yang aku cita-citakan tentang kemulyaan hidup baginya dikabulkan Allah Subhanawata’ala.

Setelah kupastikan kedua anakku tidur dengan nyenyak, aku beranjak ke kamar dimana istriku sedang menemani anak bayi ku yang ketiga, umurnya baru sembilan bulan tetapi karakternya seolah-olah bukan bayi lagi. Ia tidak mau makanan bayi, maunya nasi. Kalau nangis tidak seperti tangis bayi, tetapi seperti tangis anak kecil, berteriak-teriak sambil guling-guling. Suka berteman dengan teman-teman kakaknya, bahkan ingin main bersama mereka. Aku tak habis fikir, bocah jaman sekarang bagiku cukup ajaib.

Setelah puas berdoa untuk bayiku, aku mengalihkan pandangan kepada istriku. Orang yang sangat berjasa bagiku selama sembilan tahun pernikahan ini. Bagaimana tidak, pernikahan bagiku adalah sebuah “perbudakan”, dan ia rela menyerahkan dirinya untuk menjadi “budak” bagi kehidupanku selanjutnya. Istilah apalagi yang pantas disebut kalau bukan “budak”, seseorang yang mengabdi pada orang lain, tanpa meminta balasan hanya keridhoan dari Allah, dan minta diceraikan kalau pelayanannya bagiku tidak memuaskan diriku. Adakah manusia seperti itu kalau bukan “budak?”. Ya, berbahagialah kedua orangtuanya yang memiliki anak yang sholehah dan patuh kepada suami. Terima kasih bapak/ibu mertua yang memberikan anaknya yang baik kepadaku dan aku mohon maaf jika aku belum bisa memberikan kebahagiaan seperti yang diinginkannya. Untukmu istriku, maaf jika aku tidak sabar, ketika engkau meminta keridhoan padaku, aku sudah berikan sebelum engkau memintanya, aku tahu engkaulah yang paling banyak berkorban untuk keluarga ini. Engkau yang paling dapat menentramkan keluarga jika riak-riak gelombang dan panas kehidupan mulai menyusup kedalam keutuhan keluarga kita. Aku tahu sejak pertama kali kita berjumpa, bahwa aku tidak akan salah pilih tentang kamu. Semoga Allah meridhoi langkah-langkah kaki kita. Amin. Ya allah bantu aku untuk meneladani Nabimu dalam memuliakan istri, semoga engkau tetap merapatkan barisan rumah tangga ini dalam menuju ridhoMu.

Malam semakin larut, sedikit kontemplasi tentang keluarga membuat ghirahku terbakar kembali. Semangat untuk memberikan yang terbaik untuk keluarga memacuku untuk menuntaskan semua pekerjaan ini. Tiadalah yang diberikan oleh suami kepada keluarganya akan sia-sia, melainkan dimata Allah dihitung sebagai pahala jihad.

Robbana hablana minadzwazina wadzuriati qurrota a’yun, wajalana limutaqimma imaaman.

In the midle of the Night.

2 comments:

  1. Ass WR Wb anak betawi,
    udah jadi penulis lepas nih.
    Salut dah Boss.
    Kalo ada waktu, boleh tengok Blog ane di : forum-iqro.blogspot.com
    Temen ane bilang Liberal, tapi Ane ngegolongin "Bebas Mazhab tapi Taqlid Qur'an" he he he

    ReplyDelete
  2. Wah, kita satu aliran donk...Tapi ane nyebutnya Liberal Fundamentalist atawa Fundamentalist yg Liberal. haha

    ReplyDelete