Saya kira semua akan setuju bahwa pada suatu ketika seorang laki-laki atau seorang perempuan pernah mengalami tidak punya uang sama sekali. Padahal penghasilan yang didapat terbilang cukup untuk kehidupan selama sebulan. Beda dengan orang yang memang sehari-hari berpenghasilan pas-pasan, dimana dompet mereka memang senantiasa kosong.
Saya tidak membahas apakah sang pemilik dompet adalah orang kaya atau orang miskin, orang mampu atau orang tidak berpunya. Yang saya akan bahas disini adalah bagaimana dan apa yang dilakukan saat seseorang itu tidak punya uang sama sekali. Bagaimana iman yang akan menjaga mereka apakah benar-benar bekerja atau tidak.
Kondisi “tidak punya uang” menurut saya relatif, dimana untuk sebagian besar rakyat kecil kalau dibilang tidak punya uang memang benar-benar tidak punya uang. Ada sebagian menyatakan kalau didompet mereka hanya tinggal satu juta atau lima juta sudah menyatakan tidak punya uang sama sekali.
Disinilah yang membedakan dua golongan besar manusia. Cobaan tidak punya uang cukup ampuh untuk menunjukan kualitas iman seseorang.
Suatu ketika seorang teman pernah berkata, betapa sulit hidup dijaman sekarang ini, apa-apa serba mahal, berapapun gaji dan penghasilan yang saya miliki tidak akan cukup untuk menopang kehidupan selama sebulan. Saya katakan kepada kawan saya itu, memang sekarang semua serba mahal, dan sulit untuk bisa memenuhi kebutuhan yang semakin lama semakin banyak. Tapi coba kita ingat-ingat beberapa tahun lalu dan bandingkan dengan kondisi sekarang, tetap sama bukan, meskipun gaji semakin membesar, tetap saja penghasilan tidak cukup juga. Apa yang salah kalau begitu.
Saya bilang, dulu waktu gaji kecil, kebutuhan juga masih kecil, sekarang gaji besar, kebutuhan juga membesar. Malah bagi sebagian orang tak bisa membedakan mana kebutuhan dengan keinginan. Akhirnya sebelum akhir bulan tiba uang sudah habis sama sekali. Sebenarnya kondisi tidak punya uang itu seharusnya membuat manusia berfikir lebih jernih dan bijaksana. Seharusnya kita bisa berhemat, minimal melokalisir keinginan yang tidak perlu. Karena keinginan-keinginan yang tidak perlu itulah yang melahirkan kebutuhan besar.
Kebutuhan yang hadir secara wajar, mampu menjaga seorang manusia untuk tetap bersyukur atas rezeki dari Allah, meskipun saat itu mereka tidak punya uang sama sekali. Kondisi kebutuhan yang wajar pula yang menyebabkan hati bisa berfikir jernih dan menjauhi hal-hal yang subhat bahkan terlarang agama. Sebab mereka sadar bahwa kebutuhan mereka memang seperti itu dan rezeki yang didapat belum cukup untuk menutupi kebutuhannya. Akhirnya sifat qonaah / merasa cukup akan muncul dengan sendirinya. Sifat mulia dan optimis bahwa Allah akan memberikan rezeki terhadap hamba-hambanya akan terpatri dalam sanubari.
Saya sangat terkesan dengan ucapan Alm. Rahmat Abdullah, ketika istri beliau meminta uang belanja sedangkan beliau saat itu tidak punya uang sama sekali. “Ummi, kalau rezeki sudah habis, itu artinya rezeki akan datang lagi, sama seperti sumur yang sudah kering, itu artinya air akan datang lagi”.[1] Sifat optimis dan gembira saat rezeki habis justru sebagai pertanda bahwa sebentar lagi akan datang rezeki berikutnya. Meskipun dalam suasana musibah atau kondisi yang benar-benar genting sama sekali. Mereka yang pandai bersyukur selalu ingat bahwa “innamal ushri ushro” sesungguhnya dibalik kesulitan ada kemudahan.
Dilain pihak beda dengan mereka yang kebutuhannya hadir karena keinginan. Mereka mempersulit kemudahan yang mereka miliki karena tergoda syahwat materi, trend, dan keinginan untuk dipuji, merasa wah dan gagah, bahkan terkadang karena bujukan kawan sekitar. Saat kondisi seperti ini sulit untuk berfikir jernih apalagi saat uang tak punya. Jadilah korupsi menjadi makanan sehari-hari, menilep, mencuri, merampok, bahkan memakan harta milik ummat (shodaqoh, amal jariah, dana haji dll).
Bagi sebagian orang godaan wanita masih bisa ditahan, tetapi godaan harta, jarang sekali yang bisa bertahan. Hanya orang-orang yang benar-benar takut kepada Allah yang bisa lolos dari godaan harta. Lihat saja betapa banyak para aktivis yang dulu semasa mahasiswa terlihat zuhud dan anti korupsi, kini ketika sudah masuk dalam lingkaran kekuasaan, masuk dalam struktur pemerintahan atau masuk dalam kelembagaan dewan, kini diam seribu bahasa, saat tawaran amplop terbang melayang diatas kepalanya, dan ini bukan gosip atau rumor, ini adalah fakta. Juga berapa banyak para da’i, para ulama, para tokoh masyarakat yang terjerembab kedalam kasus pencurian uang, baik milik yayasan, ataupun milik negara. Padahal bibir-bibir mereka setiap hari mengalir ucapan-ucapan hikmah yang menjadi panutan bagi masyarakat.
Memang sulit menjaga amanah jika berhubungan dengan uang. Sangat berat, bahkan lebih berat dari godaan syahwat dan mabuk-mabukan. Apalagi saat kita dalam kondisi tidak punya uang, meskipun kondisi itu kadang kita sendiri yang menciptakan.
Inilah secarik doa yang diajarkan rosul untuk kita dalam menghadapi kondisi seperti itu:
اَللَّهُمَّ اكْفِنِيْ بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ.
“Ya Allah! Cukupilah aku dengan rezekiMu yang halal (hingga aku terhindar) dari yang haram. Perkayalah aku dengan karuniaMu (hingga aku tidak minta) kepada selainMu.” [2]
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ.
“Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari (hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang.” [3]
---------------------------------
Semoga Bermanfaat.
Daftar Pustaka
[1]Sang Murrabi
[2] HR. At-Tirmidzi 5/560, dan lihat kitab Shahihut Tirmidzi 3/180.
[3] HR. Al-Bukhari 7/158.
Friday, July 31, 2009
Wednesday, July 29, 2009
Niteni
Bagi suku jawa kata ini tidaklah asing, sebab ia banyak dipakai dalam perbendaharan sehari hari dalam membicarakan tentang suatu ramalan yang diambil dari kebiasaan yang berulang. Meskipun saya bukan orang jawa, saya banyak mengetahui istilah ini dari istri saya. Istilah titeni ini menarik bagi saya karena cukup mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.
Titeni atau “niteni” (dibaca dengan huruf e pepet seperti kata bebek) dalam bahasa jawa berarti menganalisa dan menyimpulkan sesuatu dari kejadian berulang-ulang yang berlaku pada seseorang atau tempat atau gejala alam. Ilmu titeni bukanlah ilmu sihir atau cenayang yang mendahului takdir Tuhan. Ia hanyalah ilmu yang bisa dibuktikan dengan ilmiah bahkan terbukti secara empiris. Ilmu statistika adalah salah satu ilmu yang boleh dikatakan ilmu “niten” itu. Contoh ilmu niten yang paling mencengangkan adalah hasil survey LSI yang meramalkan SBY menang 60-70% .
“Niten” bagi masyarakat awam mungkin dianggap sebuah kelebihan bahkan karomah. Masih ingat bagaimana GusDur dianggap wali oleh para pengikutnya karena kesanggupan beliau meramal suatu peristiwa. Jawaban GusDur ketika dicrosschek oleh media adalah bahwa beliau bukanlah sakti mandraguna, tetapi beliau sangat cerdas membaca situasi karena rajin membaca buku tentang apapun dan dari buku itu beliau bisa memprediksi atas apa yang akan terjadi.
Saya pun pernah meniten/meramal tentang kematian beberapa orang termasuk kematian ayah saya dan mertua saya tepat pada hari h yang saya sebutkan. Saya ungkapkan ramalan saya kepada orang terdekat saya, seperti istri dan kakak saya agar mereka jangan bersedih yang berlebihan jika saat itu datang. Dan memang dengan izin Allah itu terjadi persis seperti apa yang saya ucapkan.
Apakah saya punya kelebihan atau ilmu kebatinan, tentu tidak saya hanya mempelajari ciri-cirinya saja dan itu berlaku universal. Meskipun saya pernah beberapa kali tepat, saya juga pernah gagal yakni ketika meniten kematian Pak Harto. Tapi bagi saya bukan kematiannya yang saya cermati, tetapi siapakah orang-orang dekatnya yang akan menghormati beliau secara berlebihan. Dari situ saya hanya ingin tahu, siapakah Soehartois selama ini yang sebenarnya.
Bagi saya pribadi, kemampuan untuk meniten sangat diperlukan untuk para pemimpin, sebab pemimpin yang besar adalah pemimpin yang memiliki visi dan misi yang kuat. Visi dan Misi yang kuat itu didapat dari hasil niten. Kita tahu bagaimana Microsoft mampu menggurita karena ilmu titen yang dimiliki Bill Gates. Dalam buku “Rahasia Bisnis Microsoft” terbitan tahun 1995, disitu disebutkan bagaimana pada tahun 1970an Bill Gates berucap bahwa suatu saat komputer-komputer akan dapat ditemukan dipelosok-pelosok dan sudut rumah tangga. Padahal saat itu komputer masih berwujud ruangan besar dengan ukuran 10x10 M bahkan lebih dan hanya perusahaan besar yang mampu membelinya. Ucapan Bill gates terbukti dengan hadirnya PC (Personal Computer/ Komputer Pribadi). Juga pada saat launcing windows 3.00 tahun 1992, Bil Gates berucap bahwa suatu saat informasi akan berada di ujung jari, padahal internet belum ada saat itu. Apakah Bill Gates sakti mandera guna, tentu saja tidak, beliau hanya cerdas membaca situasi dan keadaan, sehingga niten atau ramalan beliau tepat sekali.
Dalam sejarah islam, nabi pernah melakukan ilmu niten, nitennya beliau kali ini adalah sebagai manusia bukan dari wahyu yang diturunkan oleh Allah. Padahal bisa saja beliau menanyakan langsung kepada Allah tentang hal tersebut. Disebutkan dalam persiapan perang Badar, kaum muslimin merasa bingung dengan jumlah musuh yang akan mereka hadapi, maklum itu adalah perang pertama yang diperbolehkan Allah atas mereka untuk mempertahankan izzah kaum muslimin. Salah seorang sahabat bertanya kepada seorang anak kecil penggembala kambing, yang biasa mengembala dilembah itu, berapa jumlah pasukan quraisy, sang anak tak bisa menjawab dengan pasti berapa jumlahnya, karena anak kecil tak akan sanggup mengira-ngira berapa jumlah orang banyak. Lalu Rasulullah bertanya kepada anak itu, “Nak berapa jumlah onta yang mereka sembelih?” jawab sang anak “kira-kira sembilan atau sepuluh onta”. Lalu Rasul dapat memastikan bahwa jumlah musuh adalah sembilan ratus sampai seribu orang karena untuk satu ekor unta biasanya dimakan untuk seratus orang. Sangat mudah bukan.
Bagi para penguasa/pemimpin seharusnya mempunyai ilmu niten yang canggih, jangan hanya berdasarkan informasi dari orang-orang yang hanya bisa menjilat saja, ABS(Asal Bapak Senang), padahal informasi itu menyesatkan. Pemimpin harus mempunyai visi dan misi yang jelas untuk masa depan bangsa, implementasi visi dan misi mereka dibuktikan dengan strategi yang kuat dan aplikasi yang menyentuh sasaran, bukan hanya sekedar populis untuk menarik simpati rakyat. Soekarno dan Soeharto terlepas dari baik atau buruknya sejarah beliau merupakan contoh pemimpin dengan visi dan misi yang kuat. Soekarno jauh sebelum kemerdekaan mempunyai misi berdirinya negara kesatuan republik indonesia. Soeharto mempunyai misi kesejahteraan republik indonesia dengan GBHN dan Repelitanya. Hanya pemimpin di era reformasi ini yang saya lihat masih gamang dalam konsep visi dan misinya, mungkin terjebak oleh masa jabatan yang hanya dua periode, sehingga pemikiran mereka menjadi kerdil bagaimana dengan waktu yg singkat itu bisa memimpin negeri ini, dan jika menang akan memikirkan periode selanjutnya.
Bagi para pengusaha, ilmu niten sangat diperlukan untuk meramal nasib perusahaan kedepan. Bagi pemimpin yayasan atau jamaah ilmu niten ini dapat digunakan untuk membawa organisasi ini kedepannya mau dibawa kemana.
Bagi para kepala rumah tangga, ilmu niten sangat diperlukan untuk membawa perahu keluarga ke arah yang lebih baik, bisa meramalkan badai yang akan menggucang bahtera, atau kapan datangnya angin sejuk yang membawa berita gembira. Bagi para istri atau ibu rumahtangga, ilmu niten ini sangat diperlukan untuk mengelola keuangan rumah tangga, jadi tahu kapan sesuatu itu menjadi kebutuhan dan kapan sesuatu itu menjadi keinginan, sehingga konflik ekonomi dan keuangan dalam rumah tangga bisa diminimalisir.
Bagi para anak-anak ilmu niten diperlukan untuk mengelola masa depan mereka, sehingga bisa membantu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Demikianlah sedikit ilmu “Titen” yang saya ketahui, semoga bermanfaat, Alhaqqu minrobbikum.
Daftar Pustaka:
1.Sirah Nabawiyah
2.Rahasia Bisnis Microsoft
3.Ketika Cinta Bertasbih
4.Gus Dur Kau Mau Kemana
Titeni atau “niteni” (dibaca dengan huruf e pepet seperti kata bebek) dalam bahasa jawa berarti menganalisa dan menyimpulkan sesuatu dari kejadian berulang-ulang yang berlaku pada seseorang atau tempat atau gejala alam. Ilmu titeni bukanlah ilmu sihir atau cenayang yang mendahului takdir Tuhan. Ia hanyalah ilmu yang bisa dibuktikan dengan ilmiah bahkan terbukti secara empiris. Ilmu statistika adalah salah satu ilmu yang boleh dikatakan ilmu “niten” itu. Contoh ilmu niten yang paling mencengangkan adalah hasil survey LSI yang meramalkan SBY menang 60-70% .
“Niten” bagi masyarakat awam mungkin dianggap sebuah kelebihan bahkan karomah. Masih ingat bagaimana GusDur dianggap wali oleh para pengikutnya karena kesanggupan beliau meramal suatu peristiwa. Jawaban GusDur ketika dicrosschek oleh media adalah bahwa beliau bukanlah sakti mandraguna, tetapi beliau sangat cerdas membaca situasi karena rajin membaca buku tentang apapun dan dari buku itu beliau bisa memprediksi atas apa yang akan terjadi.
Saya pun pernah meniten/meramal tentang kematian beberapa orang termasuk kematian ayah saya dan mertua saya tepat pada hari h yang saya sebutkan. Saya ungkapkan ramalan saya kepada orang terdekat saya, seperti istri dan kakak saya agar mereka jangan bersedih yang berlebihan jika saat itu datang. Dan memang dengan izin Allah itu terjadi persis seperti apa yang saya ucapkan.
Apakah saya punya kelebihan atau ilmu kebatinan, tentu tidak saya hanya mempelajari ciri-cirinya saja dan itu berlaku universal. Meskipun saya pernah beberapa kali tepat, saya juga pernah gagal yakni ketika meniten kematian Pak Harto. Tapi bagi saya bukan kematiannya yang saya cermati, tetapi siapakah orang-orang dekatnya yang akan menghormati beliau secara berlebihan. Dari situ saya hanya ingin tahu, siapakah Soehartois selama ini yang sebenarnya.
Bagi saya pribadi, kemampuan untuk meniten sangat diperlukan untuk para pemimpin, sebab pemimpin yang besar adalah pemimpin yang memiliki visi dan misi yang kuat. Visi dan Misi yang kuat itu didapat dari hasil niten. Kita tahu bagaimana Microsoft mampu menggurita karena ilmu titen yang dimiliki Bill Gates. Dalam buku “Rahasia Bisnis Microsoft” terbitan tahun 1995, disitu disebutkan bagaimana pada tahun 1970an Bill Gates berucap bahwa suatu saat komputer-komputer akan dapat ditemukan dipelosok-pelosok dan sudut rumah tangga. Padahal saat itu komputer masih berwujud ruangan besar dengan ukuran 10x10 M bahkan lebih dan hanya perusahaan besar yang mampu membelinya. Ucapan Bill gates terbukti dengan hadirnya PC (Personal Computer/ Komputer Pribadi). Juga pada saat launcing windows 3.00 tahun 1992, Bil Gates berucap bahwa suatu saat informasi akan berada di ujung jari, padahal internet belum ada saat itu. Apakah Bill Gates sakti mandera guna, tentu saja tidak, beliau hanya cerdas membaca situasi dan keadaan, sehingga niten atau ramalan beliau tepat sekali.
Dalam sejarah islam, nabi pernah melakukan ilmu niten, nitennya beliau kali ini adalah sebagai manusia bukan dari wahyu yang diturunkan oleh Allah. Padahal bisa saja beliau menanyakan langsung kepada Allah tentang hal tersebut. Disebutkan dalam persiapan perang Badar, kaum muslimin merasa bingung dengan jumlah musuh yang akan mereka hadapi, maklum itu adalah perang pertama yang diperbolehkan Allah atas mereka untuk mempertahankan izzah kaum muslimin. Salah seorang sahabat bertanya kepada seorang anak kecil penggembala kambing, yang biasa mengembala dilembah itu, berapa jumlah pasukan quraisy, sang anak tak bisa menjawab dengan pasti berapa jumlahnya, karena anak kecil tak akan sanggup mengira-ngira berapa jumlah orang banyak. Lalu Rasulullah bertanya kepada anak itu, “Nak berapa jumlah onta yang mereka sembelih?” jawab sang anak “kira-kira sembilan atau sepuluh onta”. Lalu Rasul dapat memastikan bahwa jumlah musuh adalah sembilan ratus sampai seribu orang karena untuk satu ekor unta biasanya dimakan untuk seratus orang. Sangat mudah bukan.
Bagi para penguasa/pemimpin seharusnya mempunyai ilmu niten yang canggih, jangan hanya berdasarkan informasi dari orang-orang yang hanya bisa menjilat saja, ABS(Asal Bapak Senang), padahal informasi itu menyesatkan. Pemimpin harus mempunyai visi dan misi yang jelas untuk masa depan bangsa, implementasi visi dan misi mereka dibuktikan dengan strategi yang kuat dan aplikasi yang menyentuh sasaran, bukan hanya sekedar populis untuk menarik simpati rakyat. Soekarno dan Soeharto terlepas dari baik atau buruknya sejarah beliau merupakan contoh pemimpin dengan visi dan misi yang kuat. Soekarno jauh sebelum kemerdekaan mempunyai misi berdirinya negara kesatuan republik indonesia. Soeharto mempunyai misi kesejahteraan republik indonesia dengan GBHN dan Repelitanya. Hanya pemimpin di era reformasi ini yang saya lihat masih gamang dalam konsep visi dan misinya, mungkin terjebak oleh masa jabatan yang hanya dua periode, sehingga pemikiran mereka menjadi kerdil bagaimana dengan waktu yg singkat itu bisa memimpin negeri ini, dan jika menang akan memikirkan periode selanjutnya.
Bagi para pengusaha, ilmu niten sangat diperlukan untuk meramal nasib perusahaan kedepan. Bagi pemimpin yayasan atau jamaah ilmu niten ini dapat digunakan untuk membawa organisasi ini kedepannya mau dibawa kemana.
Bagi para kepala rumah tangga, ilmu niten sangat diperlukan untuk membawa perahu keluarga ke arah yang lebih baik, bisa meramalkan badai yang akan menggucang bahtera, atau kapan datangnya angin sejuk yang membawa berita gembira. Bagi para istri atau ibu rumahtangga, ilmu niten ini sangat diperlukan untuk mengelola keuangan rumah tangga, jadi tahu kapan sesuatu itu menjadi kebutuhan dan kapan sesuatu itu menjadi keinginan, sehingga konflik ekonomi dan keuangan dalam rumah tangga bisa diminimalisir.
Bagi para anak-anak ilmu niten diperlukan untuk mengelola masa depan mereka, sehingga bisa membantu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Demikianlah sedikit ilmu “Titen” yang saya ketahui, semoga bermanfaat, Alhaqqu minrobbikum.
Daftar Pustaka:
1.Sirah Nabawiyah
2.Rahasia Bisnis Microsoft
3.Ketika Cinta Bertasbih
4.Gus Dur Kau Mau Kemana
Friday, July 24, 2009
Ketika Empati Mulai Tumpul
Kisah ini adalah nyata dan pernah terjadi di negeri ini. Kisah yang terjadi tigapuluh tahun lalu disebuah daerah terpencil di pedalaman kalimantan. Kisah ini pernah saya baca dalam sebuah majalah berita pada tahun sembilan puluhan. Dalam kesempatan ini saya akan menceritakan kembali dalam ingatan versi saya, dengan sedikit improvisasi tanpa mengurangi isi dan kandungan ceritanya. Selamat mengambil I’tibar dari kisah tersebut.
Surat dalam Amplop tak berlogo.
Jumat Malam. 1 Agustus 1979, di rumah seorang Bupati.
Saat itu malam mulai merayap, jam dinding diruang tengah menunjukan pukul 22.00, diluar hujan rintik-rintik belum berhenti sejak tadi siang, dinginnya udara memaksa sang penghuni rumah untuk tidur cepat-cepat, apalagi setelah seharian melakukan inspeksi keseluruh jajarannya nyaris menghabiskan seluruh energinya. Setelah melipat tas kerjanya, Pak Kartajaya (bukan nama sebenarnya), seorang Bupati di kota kecil dipedalaman Kalimantan, bersiap-siap menuju tempat tidurnya. Ia harus tidur cepat-cepat, sebab besok pagi harus pergi ke Jakarta selama seminggu untuk mendampingi gubernur untuk ikut presentasi potensi wilayah bagi Penanaman Modal Asing diwilayah kekuasaannya. Perusahaan asing itu berencana membuka tiga lokasi proyek di wilayahnya. Baginya, berhasil menarik investasi asing kewilayahnya membuat prestasi sendiri dimata gubernur, dan tentu saja banyak keuntungan materi yang akan didapatinya.
Baru setengah jam ia memejamkan mata, tiba-tiba ia mendengar kegaduhan didepan rumahnya, lantas ia bangkit untuk memanggil ajudannya agar mengusir orang-orang yang membuat kegaduhan tengah malam itu. Sang ajudan segera menjalankan tugasnya, ia menuju kepintu gerbang dan mendatangi kegaduhan itu. Ternyata ada dua orang pemuda dengan wajah lusuh memaksa ingin bertemu sang Bupati. Yang satu berperawakan pendek, berambut ikal memakai baju merah dan bercelana jeans, yang satu lagi kurus berambut lurus memakai kaos oblong bersendal jepit. Keduanya adalah perwakilan dari dua desa bertetangga, desa A dan desa B, dua desa terpencil dipinggir hutan yang sejak lama bermusuhan. Rupanya niat mereka dihalangi oleh dua satpam penjaga rumah itu, sehingga mereka berteriak-teriak dan menimbulkan kegaduhan.
“Ada apa ini, teriak sang ajudan”, “ini pak; jawab satpam yg lebih tua; dua orang pemuda ini memaksa ingin bertemu Bupati, katanya penting sekali dan menyangkut nyawa manusia.” Mengapa kalian tidak datang saja besok pagi, Pak Bupati sudah tidur, jawab sang ajudan. “Tapi Pak, kami membawa surat dari pemimpin-pemimpin kami dan kami ingin langsung bertemu dengan Pak Bupati untuk menjelaskan kondisinya dan menunggu apa selanjutnya intruksi beliau,. Kalau kami tidak jelaskan, takutnya beliau tidak faham duduk perkaranya, dan kami ingin jawaban itu sekarang agar bisa kami sampaikan ke pemimpin kami saat ini juga”. Baik, jawab sang ajudan, kalian tunggu saja disitu dan kemarikan surat yang kalian bawa, mudah-mudahan Pak Bupati mau bertemu kalian.
Sang ajudan segera mengambil amplop surat dari pemuda itu dan melihat cover depannya. Tertulis surat itu ditujukan kepada Pak Bupati, dan pengirimnya mengatasanamakan tokoh desa A dan B. Terlihat amplop surat itu cukup aneh untuk ukuran surat resmi, tanpa kop surat dan alamat institusi, ia lebih mirip amplop surat kaleng.
Segera saja sang ajudan menuju kamar sang bupati dan mengetuk pintunya. “Toktoktok”, “siapa” tanya pak Bupati. “saya ajudan bapak” ada surat untuk bapak, katanya dari tokoh desa A dan B, katanya penting Pak. Sang pembawa surat juga ingin bertemu bapak dan menginginkan jawabannya sekarang, karena menyangkut nyawa orang Pak”. “Hemm desa A dan B, dua desa bebuyutan yang sering membuat buruk citra wilayah saya“, ada apa lagi sih. “Apa tidak bisa besok saja, saya sudah capek, bilang kepadanya, saya akan menjawab surat itu besok pagi dan taruh surat itu di laci meja saya”, “Tapi Pak...ini menyangkut...” “Sudah...” Pak Bupati segera memotong” tidakkah kamu mengerti kalau saya harus tidur agak pagian malam ini agar besok bisa menghadiri undangan Pak Gubernur ke Jakarta, bukankah kamu ikut juga” “Siap Pak” jawab sang ajudan. Segera saja ia menaruh amplop itu dilaci meja kerja pak Bupati. “Pak amplop itu sudah saya taruh dilaci bapak yang paling atas ya” “Ya, sekalian suruh orang itu kembali saja besok pagi”. “Siap Pak”.
Dua puluh tahun kemudian, Agustus 1999.
Pak Kartajaya sudah lama pensiun, kini ia hanya tinggal bersama dengan istrinya. Dua orang anaknya telah menikah dan tinggal di Jakarta. Kesibukannya sekarang hanya bercocok tanam, memelihara ikan dan sekali-sekali membersihkan ruangan kerja yang menjadi kebanggaannya. Foto-fotonya bersama gubernur dan Presiden acap kali dibersihkan sendiri, juga pajangan-pajangan senjata tradisionil yang ia dapat sebagai cindera mata ketika berkunjung ke daerah. Agar tak bosan, kadang-kadang seminggu sekali ia rubah posisi lukisan dan senjata itu, hanya meja kerjanya saja yang tak pernah ia rubah, selain karena berat, meja itu juga cukup besar, jadi ia hanya membersihkan kaca meja itu saja. Meja kerja itu terbuat dari kayu jati yang ia beli langsung dari jepara. Meja kerja dengan kualitas nomor satu, yang umum dimiliki oleh para pejabat dinegeri ini. Saat asyik membersihkan laci dan mengeluarkan isinya, tiba-tiba ia melihat sebuah amplop lusuh yang sepertinya sudah lama berada ditempat itu, tetapi belum sempat ia baca. Perlahan diambilnya amplop itu dan dilihat secara seksama. Sepertinya ini surat kaleng, tidak ada nama dan alamat institusinya selain nama pengirim tokoh desa A dan B. Ia mencoba mengingat-ingat tentang kedua desa itu, tapi tak juga bisa mengingatnya, kemudian dilihat kembali amplop itu, Surat itu memang ditujukan untuk dirinya, karena penasaran lalu dibukanya surat itu perlahan.
Desa A & B, 30 juli 1979
Kepada Bapak Bupati yang kami hormati,
Kami mewakili penduduk desa A dan B memohon petunjuk kepada Bapak apa yang kami harus lakukan, kami akan mematuhi apapun instruksi Bapak demi kebaikan desa kami. Mengingat situasi genting yang terjadi di desa kami, kami mohon kesediaan Bapak untuk datang ke desa kami untuk mendukung upaya damai yang kami ajukan kepada masyarakat didesa kami. Kami sudah lelah bertikai, kami sudah lelah bertempur karena mempertahankan dan membela sesuatu yang tidak jelas. Kami para tokoh muda ingin kedamaian terwujud di desa kami. Tetapi para tokoh tua tidak mau berdamai, mereka hanya berfikir tentang harga diri desa kami. Kami berusaha membujuk mereka, tetapi tidak bisa. Kami hanya butuh tokoh yang mau didengar oleh orangtua-orangtua kami dan tokoh itu adalah Bapak.
Sampai disini, Pak Kartajaya tertegun, ia mencoba mengingat-ingat, bagaimana surat ini bisa sampai kepadanya. Keningnya bekerut-kerut, tanda ia berusaha mengingat-ingat kapan ia menerima surat itu. Ia berdoa kepada Allah, untuk dimudahkan mengingat kejadian itu. Otaknya berfikir keras, berusaha mencari petunjuk. Lalu ia mengingat kebiasaannya dulu selama bekerja sebagai bupati. Ia ingat, ia mempunyai tiga laci di mejanya. Laci pertama paling atas adalah untuk berkas atau surat yang sudah selesai dibacanya dan sudah ditandatangani. Laci kedua dari atas adalah berkas kerjanya hari itu, dan laci paling bawah adalah untuk surat-surat atau berkas yang baru masuk. Ia sendiri yang menyusun seperti itu untuk memudahkan dirinya bekerja. Juga untuk menghindari ada berkas yang terlewati. Tetapi mengapa ada surat seperti ini yang belum sempat dibacanya. Perlahan ia mencoba berfikir keras dan mengingat-ingat, sedikit-demi sedikit mulai timbul ingatannya, ternyata surat itu adalah surat yang dikirim oleh pemuda yang membuat gaduh malam itu dirumahnya, dan karena ia mengantuk berat, ia menyuruh ajudannya meletakan dilaci kerjanya, dan sang ajudan meletakan di laci yang paling atas, pantas saja ia tidak pernah membaca surat itu, karena pagi-pagi ia harus berangkat ke Jakarta. Astaghfirullah.
Kemudian ia meneruskan membaca surat itu.
Ketokohan Bapak di desa kami, membuat para orangtua kami mempercayai apapun keputusan Bapak, tetapi para orangtua kami hanya memberikan waktu dua hari bagi kami untuk menghadirkan Bapak, jika tidak, mereka akan bertempur habis-habisan, sampai seluruh desa hancur berkeping-keping. Damai sekalian atau hancur sekalian. Jika bapak tidak sempat hadir ketengah-tengah kami, maka bapak bisa membuat surat sebagai ganti kehadiran Bapak, cukuplah stempel dan tandatangan bapak menjadi jaminan buat kami.
Kami mohon bapak segera membuat keputusan untuk kami. Kami mengutus dua orang perwakilan dari desa kami yang akan membantu bapak.
Kami tunggu kehadiran Bapak dua hari dari sekarang, jika dalam dua hari bapak tidak datang, maka kami akan saling menghancurkan, kami mohon pertolongan dan campurtangan bapak.
Terima Kasih
Ttd Ttd
Wakil Desa A Wakil Desa B
Tiba-tiba dada Pak Karta bergemuruh, airmatanya mengalir deras, tubuhnya lunglai, matanya gelap dan jiwanya guncang menahan penyesalan yang teramat dalam. Sebagai pemimpin, ternyata ia tidak bisa melindungi warganya. Ia malah asyik memikirkan keuntungan dirinya sendiri. Ia merasa empatinya telah hilang dan naluri kemanusiaannya telah tumpul. Kalau saja saat itu ia meninggalkan ego dan kantuknya dan mau sedikit saja membaca surat itu, maka segalanya tidak akan berakhir seperti ini. Yang paling menyakitkan adalah bahwa ia adalah satu-satunya orang yang diharapkan bisa mencegah pertumpahan darah itu. Tiba-tiba matanya gelap dan tubuhnya terasa lunglai. Ia tak sadarkan diri. Saat itu juga Pak Karta meninggal dunia terkena serangan jantung akibat tidak kuat menahan beban.
Minggu, 3 Agustus 1979 sore, dua puluh tahun lalu.
Halaman depan koran lokal memberitakan dua orang pemuda berduel hingga tewas didepan rumah Pak Bupati Kartajaya. Yang satu berperawakan pendek, berambut ikal memakai baju merah dan bercelana jeans, yang satu lagi kurus berambut lurus memakai kaos oblong bersendal jepit. Polisi tidak mengetahui motifnya apa.
Ibrah
Banyak sekali hal-hal yang kita anggap kecil ternyata dapat berdampak luarbiasa bagi orang lain. Kurang pekanya hati, rendahnya empati, miskinnya kasih sayang membuat seseorang terutama pemimpin kehilangan kepekaan batinnya. Dampak kurang pekanya hati dan rendahnya empati membuat hati menjadi tumpul. Kebijakan-kebijakan yang dibuatpun menjadi miskin keberkahan bahkan menuai caci maki.
Kurang pekanya orangtua terhadap anak, mampu membuat anak menjadi merasa dipinggirkan, begitu juga kurang pekanya guru terhadap murid, yang membuat murid merasa tak diacuhkan. Kurang pekanya para dai terhadap ummat, melahirkan ummat-ummat yang jahil, kurang pekanya pemimpin terhadap rakyat, melahirkan rakyat yang zalim dan teraniaya.
Kita masing-masing adalah pemimpin yang akan dimintai tanggung jawabnya kelak. Seorang laki-laki adalah pemimpin dikeluarganya, maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya, Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya, maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya, Seorang pembantu adalah pemimpin di rumah majikannya , maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya, Seorang Penguasa adalah pemimpin dinegerinya, maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. (Mutafaq alaihi).
Semoga Bermanfaat.
Surat dalam Amplop tak berlogo.
Jumat Malam. 1 Agustus 1979, di rumah seorang Bupati.
Saat itu malam mulai merayap, jam dinding diruang tengah menunjukan pukul 22.00, diluar hujan rintik-rintik belum berhenti sejak tadi siang, dinginnya udara memaksa sang penghuni rumah untuk tidur cepat-cepat, apalagi setelah seharian melakukan inspeksi keseluruh jajarannya nyaris menghabiskan seluruh energinya. Setelah melipat tas kerjanya, Pak Kartajaya (bukan nama sebenarnya), seorang Bupati di kota kecil dipedalaman Kalimantan, bersiap-siap menuju tempat tidurnya. Ia harus tidur cepat-cepat, sebab besok pagi harus pergi ke Jakarta selama seminggu untuk mendampingi gubernur untuk ikut presentasi potensi wilayah bagi Penanaman Modal Asing diwilayah kekuasaannya. Perusahaan asing itu berencana membuka tiga lokasi proyek di wilayahnya. Baginya, berhasil menarik investasi asing kewilayahnya membuat prestasi sendiri dimata gubernur, dan tentu saja banyak keuntungan materi yang akan didapatinya.
Baru setengah jam ia memejamkan mata, tiba-tiba ia mendengar kegaduhan didepan rumahnya, lantas ia bangkit untuk memanggil ajudannya agar mengusir orang-orang yang membuat kegaduhan tengah malam itu. Sang ajudan segera menjalankan tugasnya, ia menuju kepintu gerbang dan mendatangi kegaduhan itu. Ternyata ada dua orang pemuda dengan wajah lusuh memaksa ingin bertemu sang Bupati. Yang satu berperawakan pendek, berambut ikal memakai baju merah dan bercelana jeans, yang satu lagi kurus berambut lurus memakai kaos oblong bersendal jepit. Keduanya adalah perwakilan dari dua desa bertetangga, desa A dan desa B, dua desa terpencil dipinggir hutan yang sejak lama bermusuhan. Rupanya niat mereka dihalangi oleh dua satpam penjaga rumah itu, sehingga mereka berteriak-teriak dan menimbulkan kegaduhan.
“Ada apa ini, teriak sang ajudan”, “ini pak; jawab satpam yg lebih tua; dua orang pemuda ini memaksa ingin bertemu Bupati, katanya penting sekali dan menyangkut nyawa manusia.” Mengapa kalian tidak datang saja besok pagi, Pak Bupati sudah tidur, jawab sang ajudan. “Tapi Pak, kami membawa surat dari pemimpin-pemimpin kami dan kami ingin langsung bertemu dengan Pak Bupati untuk menjelaskan kondisinya dan menunggu apa selanjutnya intruksi beliau,. Kalau kami tidak jelaskan, takutnya beliau tidak faham duduk perkaranya, dan kami ingin jawaban itu sekarang agar bisa kami sampaikan ke pemimpin kami saat ini juga”. Baik, jawab sang ajudan, kalian tunggu saja disitu dan kemarikan surat yang kalian bawa, mudah-mudahan Pak Bupati mau bertemu kalian.
Sang ajudan segera mengambil amplop surat dari pemuda itu dan melihat cover depannya. Tertulis surat itu ditujukan kepada Pak Bupati, dan pengirimnya mengatasanamakan tokoh desa A dan B. Terlihat amplop surat itu cukup aneh untuk ukuran surat resmi, tanpa kop surat dan alamat institusi, ia lebih mirip amplop surat kaleng.
Segera saja sang ajudan menuju kamar sang bupati dan mengetuk pintunya. “Toktoktok”, “siapa” tanya pak Bupati. “saya ajudan bapak” ada surat untuk bapak, katanya dari tokoh desa A dan B, katanya penting Pak. Sang pembawa surat juga ingin bertemu bapak dan menginginkan jawabannya sekarang, karena menyangkut nyawa orang Pak”. “Hemm desa A dan B, dua desa bebuyutan yang sering membuat buruk citra wilayah saya“, ada apa lagi sih. “Apa tidak bisa besok saja, saya sudah capek, bilang kepadanya, saya akan menjawab surat itu besok pagi dan taruh surat itu di laci meja saya”, “Tapi Pak...ini menyangkut...” “Sudah...” Pak Bupati segera memotong” tidakkah kamu mengerti kalau saya harus tidur agak pagian malam ini agar besok bisa menghadiri undangan Pak Gubernur ke Jakarta, bukankah kamu ikut juga” “Siap Pak” jawab sang ajudan. Segera saja ia menaruh amplop itu dilaci meja kerja pak Bupati. “Pak amplop itu sudah saya taruh dilaci bapak yang paling atas ya” “Ya, sekalian suruh orang itu kembali saja besok pagi”. “Siap Pak”.
Dua puluh tahun kemudian, Agustus 1999.
Pak Kartajaya sudah lama pensiun, kini ia hanya tinggal bersama dengan istrinya. Dua orang anaknya telah menikah dan tinggal di Jakarta. Kesibukannya sekarang hanya bercocok tanam, memelihara ikan dan sekali-sekali membersihkan ruangan kerja yang menjadi kebanggaannya. Foto-fotonya bersama gubernur dan Presiden acap kali dibersihkan sendiri, juga pajangan-pajangan senjata tradisionil yang ia dapat sebagai cindera mata ketika berkunjung ke daerah. Agar tak bosan, kadang-kadang seminggu sekali ia rubah posisi lukisan dan senjata itu, hanya meja kerjanya saja yang tak pernah ia rubah, selain karena berat, meja itu juga cukup besar, jadi ia hanya membersihkan kaca meja itu saja. Meja kerja itu terbuat dari kayu jati yang ia beli langsung dari jepara. Meja kerja dengan kualitas nomor satu, yang umum dimiliki oleh para pejabat dinegeri ini. Saat asyik membersihkan laci dan mengeluarkan isinya, tiba-tiba ia melihat sebuah amplop lusuh yang sepertinya sudah lama berada ditempat itu, tetapi belum sempat ia baca. Perlahan diambilnya amplop itu dan dilihat secara seksama. Sepertinya ini surat kaleng, tidak ada nama dan alamat institusinya selain nama pengirim tokoh desa A dan B. Ia mencoba mengingat-ingat tentang kedua desa itu, tapi tak juga bisa mengingatnya, kemudian dilihat kembali amplop itu, Surat itu memang ditujukan untuk dirinya, karena penasaran lalu dibukanya surat itu perlahan.
Desa A & B, 30 juli 1979
Kepada Bapak Bupati yang kami hormati,
Kami mewakili penduduk desa A dan B memohon petunjuk kepada Bapak apa yang kami harus lakukan, kami akan mematuhi apapun instruksi Bapak demi kebaikan desa kami. Mengingat situasi genting yang terjadi di desa kami, kami mohon kesediaan Bapak untuk datang ke desa kami untuk mendukung upaya damai yang kami ajukan kepada masyarakat didesa kami. Kami sudah lelah bertikai, kami sudah lelah bertempur karena mempertahankan dan membela sesuatu yang tidak jelas. Kami para tokoh muda ingin kedamaian terwujud di desa kami. Tetapi para tokoh tua tidak mau berdamai, mereka hanya berfikir tentang harga diri desa kami. Kami berusaha membujuk mereka, tetapi tidak bisa. Kami hanya butuh tokoh yang mau didengar oleh orangtua-orangtua kami dan tokoh itu adalah Bapak.
Sampai disini, Pak Kartajaya tertegun, ia mencoba mengingat-ingat, bagaimana surat ini bisa sampai kepadanya. Keningnya bekerut-kerut, tanda ia berusaha mengingat-ingat kapan ia menerima surat itu. Ia berdoa kepada Allah, untuk dimudahkan mengingat kejadian itu. Otaknya berfikir keras, berusaha mencari petunjuk. Lalu ia mengingat kebiasaannya dulu selama bekerja sebagai bupati. Ia ingat, ia mempunyai tiga laci di mejanya. Laci pertama paling atas adalah untuk berkas atau surat yang sudah selesai dibacanya dan sudah ditandatangani. Laci kedua dari atas adalah berkas kerjanya hari itu, dan laci paling bawah adalah untuk surat-surat atau berkas yang baru masuk. Ia sendiri yang menyusun seperti itu untuk memudahkan dirinya bekerja. Juga untuk menghindari ada berkas yang terlewati. Tetapi mengapa ada surat seperti ini yang belum sempat dibacanya. Perlahan ia mencoba berfikir keras dan mengingat-ingat, sedikit-demi sedikit mulai timbul ingatannya, ternyata surat itu adalah surat yang dikirim oleh pemuda yang membuat gaduh malam itu dirumahnya, dan karena ia mengantuk berat, ia menyuruh ajudannya meletakan dilaci kerjanya, dan sang ajudan meletakan di laci yang paling atas, pantas saja ia tidak pernah membaca surat itu, karena pagi-pagi ia harus berangkat ke Jakarta. Astaghfirullah.
Kemudian ia meneruskan membaca surat itu.
Ketokohan Bapak di desa kami, membuat para orangtua kami mempercayai apapun keputusan Bapak, tetapi para orangtua kami hanya memberikan waktu dua hari bagi kami untuk menghadirkan Bapak, jika tidak, mereka akan bertempur habis-habisan, sampai seluruh desa hancur berkeping-keping. Damai sekalian atau hancur sekalian. Jika bapak tidak sempat hadir ketengah-tengah kami, maka bapak bisa membuat surat sebagai ganti kehadiran Bapak, cukuplah stempel dan tandatangan bapak menjadi jaminan buat kami.
Kami mohon bapak segera membuat keputusan untuk kami. Kami mengutus dua orang perwakilan dari desa kami yang akan membantu bapak.
Kami tunggu kehadiran Bapak dua hari dari sekarang, jika dalam dua hari bapak tidak datang, maka kami akan saling menghancurkan, kami mohon pertolongan dan campurtangan bapak.
Terima Kasih
Ttd Ttd
Wakil Desa A Wakil Desa B
Tiba-tiba dada Pak Karta bergemuruh, airmatanya mengalir deras, tubuhnya lunglai, matanya gelap dan jiwanya guncang menahan penyesalan yang teramat dalam. Sebagai pemimpin, ternyata ia tidak bisa melindungi warganya. Ia malah asyik memikirkan keuntungan dirinya sendiri. Ia merasa empatinya telah hilang dan naluri kemanusiaannya telah tumpul. Kalau saja saat itu ia meninggalkan ego dan kantuknya dan mau sedikit saja membaca surat itu, maka segalanya tidak akan berakhir seperti ini. Yang paling menyakitkan adalah bahwa ia adalah satu-satunya orang yang diharapkan bisa mencegah pertumpahan darah itu. Tiba-tiba matanya gelap dan tubuhnya terasa lunglai. Ia tak sadarkan diri. Saat itu juga Pak Karta meninggal dunia terkena serangan jantung akibat tidak kuat menahan beban.
Minggu, 3 Agustus 1979 sore, dua puluh tahun lalu.
Halaman depan koran lokal memberitakan dua orang pemuda berduel hingga tewas didepan rumah Pak Bupati Kartajaya. Yang satu berperawakan pendek, berambut ikal memakai baju merah dan bercelana jeans, yang satu lagi kurus berambut lurus memakai kaos oblong bersendal jepit. Polisi tidak mengetahui motifnya apa.
Ibrah
Banyak sekali hal-hal yang kita anggap kecil ternyata dapat berdampak luarbiasa bagi orang lain. Kurang pekanya hati, rendahnya empati, miskinnya kasih sayang membuat seseorang terutama pemimpin kehilangan kepekaan batinnya. Dampak kurang pekanya hati dan rendahnya empati membuat hati menjadi tumpul. Kebijakan-kebijakan yang dibuatpun menjadi miskin keberkahan bahkan menuai caci maki.
Kurang pekanya orangtua terhadap anak, mampu membuat anak menjadi merasa dipinggirkan, begitu juga kurang pekanya guru terhadap murid, yang membuat murid merasa tak diacuhkan. Kurang pekanya para dai terhadap ummat, melahirkan ummat-ummat yang jahil, kurang pekanya pemimpin terhadap rakyat, melahirkan rakyat yang zalim dan teraniaya.
Kita masing-masing adalah pemimpin yang akan dimintai tanggung jawabnya kelak. Seorang laki-laki adalah pemimpin dikeluarganya, maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya, Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya, maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya, Seorang pembantu adalah pemimpin di rumah majikannya , maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya, Seorang Penguasa adalah pemimpin dinegerinya, maka ia akan dimintai tanggungjawab atas apa yang dipimpinnya. (Mutafaq alaihi).
Semoga Bermanfaat.
Wednesday, July 22, 2009
Pelajaran berharga dari seekor nyamuk
Saat itu waktu menunjukan pukul sepuluh malam, anak-anakku sudah tertidur pulas, istriku sedang sibuk dengan pekerjaannya menyusun silabus untuk semester depan, sedang aku masih asyik mengetik pekerjaan yang harus ku selesaikan untuk esok hari. Segelas kopi moka hangat menemaniku malam itu.
Ketika sedang khusu’ mengetik tiba-tiba aku merasakan lengan kananku digigit nyamuk, refleks aku tepuk dengan telapak kiriku hingga nyamuk itu tewas seketika. Karena merasa terganggu, kutinggalkan sejenak pekerjaanku seraya mengambil raket eletrik pemusnah nyamuk yang belum lama aku beli. Kuputuskan untuk berburu nyamuk dahulu sebelum melanjutkan pekerjaanku.
Satu persatu seluruh kamar aku jelajahi, beberapa nyamuk meregang nyawa dalam raket listrik itu, meledak bagai terkena bom kecil dengan suara berdetak-detak. Raket dengan kekuatan limaribu volt itu memang mampu membuat nyamuk langsung hangus berkeping-keping. Setelah kurang lebih setengah jam, aku berhenti berburu nyamuk dan mencoba menghitung berapa banyak nyamuk yang berhasil aku bunuh.
Saat sedang menghitung nyamuk itu, aku sedikit terhenyak dan tercenung, ku lihat ada dua nyamuk yang masih kecil-kecil ikut terbakar, posisinya seolah menempel dengan induknya. Entah mengapa kemudian aku menjadi terenyuh, aku membayangkan bahwa nyamuk yang kecil itu adalah anak-anak yang sedang mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya. Pikiranku menerawang membaca tamsil dan ibrah yang tersembunyi, betapa hidup seekor nyamuk itu sangat sulit bahkan senantiasa berkalang maut. Untuk bertahan hidup saja, mereka harus mempertaruhkan nyawa mereka dari kejaran manusia dan itu berlangsung setiap saat detik demi detik, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sampai tiba masa pembalasan nanti. Tidak memandang bahwa nyamuk itu masih kecil atau sudah dewasa, semua harus mempertahankan hidup masing-masing. Dan itu sudah sunnatullah untuk mereka. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, mereka harus menjalankan takdir seperti itu, hanya keikhlasan yang membuat nyamuk tetap patuh menjalankan perintah Allah, berusaha untuk bertahan hidup atau mati ditangan manusia.
Pikiranku melayang membandingkan dengan sifat manusia yang lemah dan mudah berkeluh kesah. Baru tertimpa musibah sedikit saja sudah merasa sebagai orang paling menderita sedunia. Cobaan sakit, kekurangan uang dan harta, tidak lulus ujian, tidak lulus tender, tidak naik jabatan, tidak terpilih sebagai caleg, ditolak lamaran kerja, ditolak lamaran nikah, belum bertemu jodoh, belum bekerja dan sederet kisah sedih lainnya yang tidak seberapa berat dibandingkan pengorbanan sang nyamuk tadi mampu membuat manusia kehilangan keimanannya, mampu membuat manusia menjadi durhaka atau paling tidak mampu membuat manusia kufur terhadap nikmat Allah. Padahal pengorbanan itu belum membutuhkan pengorbanan nyawa kita sekalipun. Astagfirullah.
Pantaskah manusia yang diberi kekuatan akal, kekuatan fisik, kekuatan hati dan kekuatan fikiran yang begitu sempurna ternyata berlemah-lemah dan berkeluh kesah dihadapan Allah, sedangkan nyamuk yang tidak memiliki kekuatan fisik apapun selain hanya terbang rendah dan hinggap dari satu tempat ketempat lain, yang tidak mempunyai akal fikiran ternyata sabar menerima takdir Allah, betapapun beratnya takdir itu. Siapakah sesungguhnya mahluk yang paling lemah itu? manusia atau nyamukkah?
Begitu banyak nikmat Allah yang mengalir setiap hari, yang mengucur memasuki nadi-nadi manusia, yang menghembus melalui desahan nafas dan belaian lembut rongga-rongga tenggorokan. Mengalun indah lewat indera pendengaran, menusuk-nusuk harumnya indera penciuman, bergetar serasa makna dalam indera peraba, memendar warna-warni dalam indera penglihatan, dan nikmatnya tabularasa dalam indera pengecap, semua terlupakan begitu saja oleh cobaan yang tidak seberapa dahsyatnya dibanding meregangnya nyawa sang nyamuk tadi.
Ya Rabbi, begitu mudahnya hamba mengkufuri nikmatMu, begitu mudahnya hamba melupakan kasih sayangMu, dan begitu mudahnya hamba terperosok kedalam jurang kenistaan, hanya karena lemahnya diri ini, hanya karena lemahnya keimanan ini. Tubuh yang kekar, otak yang cerdas dan fisik yang kuat ternyata tidak membuat hamba lebih baik dari mahluk lemah ciptaan Mu itu. Bagi kami nyamuk adalah mahluk hina yang tidak berguna, tetapi dimata Mu ia adalah mahluk setia yang tidak pernah membantahMu. Ketidakbergunaannya bagi manusia bukan karena dirinya tidak berguna, tetapi karena ia mematuhi perintahMu, ia hanya sebagai vector(pembawa) dari mahluk Allah lainnya yakni virus dan bakteri. Ia merelakan dirinya dihancurkan oleh manusia karena menerima titahMu sebagai inang dari virus dan bakteri pembawa penyakit. Kalaupun Engkau mau, bisa saja dirinya Kau ciptakan bersih dari virus dan bakteri itu, seperti semut atau lebah ciptaan Mu yang terlihat begitu berguna di mata manusia. Tapi tidak, demi menjaga sunnatullah, ia rela menjadi kambing hitam bagi emosi manusia, meski resikonya adalah meregang nyawa. Padahal jika manusia mau sedikit saja sadar diri, bagi mahluk Allah lain semacam hewan di hutan atau binatang ternak, maka manusia juga adalah vector pembawa bencana dan malapetaka di alam semesta. Tapi mereka tidak pernah komplain kepada Allah atas ulah manusia itu, sungguh pun manusia telah menghancurkar anak keturunannya, menghancurkan habitatnya, bahkan menghancurkan alam sekitarnya yang tiada berdaya itu.
Ya Rabbi, kami malu kepada nyamuk itu atas ketabahan mereka menerima takdir Mu.
Kami malu atas alibi yang kami buat dibalik tubuh kuat kami,
Kami malu dengan ketidakberdayaan kami,
Kami malu dengan tingkah pongah dan kesombongan kami,
Kami malu dengan kekuatan otak dan akal fikiran kami,
Jika ternyata kami hanyalah hamba-hambamu yang cengeng dan lemah tak berguna.
Ya Rabbi, Maha benar Engkau yang telah menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia.
Semoga bermanfaat.
Ketika sedang khusu’ mengetik tiba-tiba aku merasakan lengan kananku digigit nyamuk, refleks aku tepuk dengan telapak kiriku hingga nyamuk itu tewas seketika. Karena merasa terganggu, kutinggalkan sejenak pekerjaanku seraya mengambil raket eletrik pemusnah nyamuk yang belum lama aku beli. Kuputuskan untuk berburu nyamuk dahulu sebelum melanjutkan pekerjaanku.
Satu persatu seluruh kamar aku jelajahi, beberapa nyamuk meregang nyawa dalam raket listrik itu, meledak bagai terkena bom kecil dengan suara berdetak-detak. Raket dengan kekuatan limaribu volt itu memang mampu membuat nyamuk langsung hangus berkeping-keping. Setelah kurang lebih setengah jam, aku berhenti berburu nyamuk dan mencoba menghitung berapa banyak nyamuk yang berhasil aku bunuh.
Saat sedang menghitung nyamuk itu, aku sedikit terhenyak dan tercenung, ku lihat ada dua nyamuk yang masih kecil-kecil ikut terbakar, posisinya seolah menempel dengan induknya. Entah mengapa kemudian aku menjadi terenyuh, aku membayangkan bahwa nyamuk yang kecil itu adalah anak-anak yang sedang mencari nafkah untuk kelangsungan hidupnya. Pikiranku menerawang membaca tamsil dan ibrah yang tersembunyi, betapa hidup seekor nyamuk itu sangat sulit bahkan senantiasa berkalang maut. Untuk bertahan hidup saja, mereka harus mempertaruhkan nyawa mereka dari kejaran manusia dan itu berlangsung setiap saat detik demi detik, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sampai tiba masa pembalasan nanti. Tidak memandang bahwa nyamuk itu masih kecil atau sudah dewasa, semua harus mempertahankan hidup masing-masing. Dan itu sudah sunnatullah untuk mereka. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, mereka harus menjalankan takdir seperti itu, hanya keikhlasan yang membuat nyamuk tetap patuh menjalankan perintah Allah, berusaha untuk bertahan hidup atau mati ditangan manusia.
Pikiranku melayang membandingkan dengan sifat manusia yang lemah dan mudah berkeluh kesah. Baru tertimpa musibah sedikit saja sudah merasa sebagai orang paling menderita sedunia. Cobaan sakit, kekurangan uang dan harta, tidak lulus ujian, tidak lulus tender, tidak naik jabatan, tidak terpilih sebagai caleg, ditolak lamaran kerja, ditolak lamaran nikah, belum bertemu jodoh, belum bekerja dan sederet kisah sedih lainnya yang tidak seberapa berat dibandingkan pengorbanan sang nyamuk tadi mampu membuat manusia kehilangan keimanannya, mampu membuat manusia menjadi durhaka atau paling tidak mampu membuat manusia kufur terhadap nikmat Allah. Padahal pengorbanan itu belum membutuhkan pengorbanan nyawa kita sekalipun. Astagfirullah.
Pantaskah manusia yang diberi kekuatan akal, kekuatan fisik, kekuatan hati dan kekuatan fikiran yang begitu sempurna ternyata berlemah-lemah dan berkeluh kesah dihadapan Allah, sedangkan nyamuk yang tidak memiliki kekuatan fisik apapun selain hanya terbang rendah dan hinggap dari satu tempat ketempat lain, yang tidak mempunyai akal fikiran ternyata sabar menerima takdir Allah, betapapun beratnya takdir itu. Siapakah sesungguhnya mahluk yang paling lemah itu? manusia atau nyamukkah?
Begitu banyak nikmat Allah yang mengalir setiap hari, yang mengucur memasuki nadi-nadi manusia, yang menghembus melalui desahan nafas dan belaian lembut rongga-rongga tenggorokan. Mengalun indah lewat indera pendengaran, menusuk-nusuk harumnya indera penciuman, bergetar serasa makna dalam indera peraba, memendar warna-warni dalam indera penglihatan, dan nikmatnya tabularasa dalam indera pengecap, semua terlupakan begitu saja oleh cobaan yang tidak seberapa dahsyatnya dibanding meregangnya nyawa sang nyamuk tadi.
Ya Rabbi, begitu mudahnya hamba mengkufuri nikmatMu, begitu mudahnya hamba melupakan kasih sayangMu, dan begitu mudahnya hamba terperosok kedalam jurang kenistaan, hanya karena lemahnya diri ini, hanya karena lemahnya keimanan ini. Tubuh yang kekar, otak yang cerdas dan fisik yang kuat ternyata tidak membuat hamba lebih baik dari mahluk lemah ciptaan Mu itu. Bagi kami nyamuk adalah mahluk hina yang tidak berguna, tetapi dimata Mu ia adalah mahluk setia yang tidak pernah membantahMu. Ketidakbergunaannya bagi manusia bukan karena dirinya tidak berguna, tetapi karena ia mematuhi perintahMu, ia hanya sebagai vector(pembawa) dari mahluk Allah lainnya yakni virus dan bakteri. Ia merelakan dirinya dihancurkan oleh manusia karena menerima titahMu sebagai inang dari virus dan bakteri pembawa penyakit. Kalaupun Engkau mau, bisa saja dirinya Kau ciptakan bersih dari virus dan bakteri itu, seperti semut atau lebah ciptaan Mu yang terlihat begitu berguna di mata manusia. Tapi tidak, demi menjaga sunnatullah, ia rela menjadi kambing hitam bagi emosi manusia, meski resikonya adalah meregang nyawa. Padahal jika manusia mau sedikit saja sadar diri, bagi mahluk Allah lain semacam hewan di hutan atau binatang ternak, maka manusia juga adalah vector pembawa bencana dan malapetaka di alam semesta. Tapi mereka tidak pernah komplain kepada Allah atas ulah manusia itu, sungguh pun manusia telah menghancurkar anak keturunannya, menghancurkan habitatnya, bahkan menghancurkan alam sekitarnya yang tiada berdaya itu.
Ya Rabbi, kami malu kepada nyamuk itu atas ketabahan mereka menerima takdir Mu.
Kami malu atas alibi yang kami buat dibalik tubuh kuat kami,
Kami malu dengan ketidakberdayaan kami,
Kami malu dengan tingkah pongah dan kesombongan kami,
Kami malu dengan kekuatan otak dan akal fikiran kami,
Jika ternyata kami hanyalah hamba-hambamu yang cengeng dan lemah tak berguna.
Ya Rabbi, Maha benar Engkau yang telah menciptakan segala sesuatu tanpa sia-sia.
Semoga bermanfaat.
Friday, July 10, 2009
Arti Sebuah Keikhlasan
Ikhlas, sebuah kata yang mudah dilisan, tetapi berat pelaksanaannya. Sebuah kata yang meredakan amarah saat terzalimi, menentramkan hati saat tertimpa musibah, menenangkan bathin saat tangan dalam posisi memberi.
Ikhlas, sebuah perbuatan yang mempunyai nilai dan derajat tinggi yang akan disematkan oleh Allah kepada hamba-hambanya yang mau menuju kesana. Hamba-hamba yang mukhlis dalam mencari ridhanya.
Ikhlas pula yang menyebabkan seorang gadis suci, Maryam mau menerima titah Allah untuk mengandung nabi mulia, Isa As, meski tanpa suami.
Ikhlas pula yang menyebabkan Hajar mau ditinggal Ibrahim As, ditengah padang tandus tanpa teman seorang diri.
Ikhlas pula yang menyebabkan Ismail menjadi begitu mulia menerima perintah Allah untuk disembelih ayahnya.
Ikhlas menjadikan ibadah seorang hamba menjadi sempurna dimata Allah, tanpa ikhlas sujud-sujud para hamba menjadi sia-sia dan shaum-shaum ummatnya hanya bernilai lapar dan dahaga saja.
Ikhlas menjadikan hati bening, sebening embun di pagi hari, embun yang mampu menyejukan angkara murka saat menyadari bahwa segala perbuatan dan kebaikan kita tidak selamanya berbalas kebaikan pula dimata manusia. Segala kebaikan yang kita harapkan dari orang yang telah kita tolong, menjadi lenyap setelah mereka tidak membalasnya dengan serupa, dan ikhlaslah yang membuat hati menjadi sadar, bahwa kebaikan itu hanya datangnya dari Allah.
Saat seorang istri mengikhlaskan dirinya untuk berbakti kepada suaminya, dan suamipun membalas dengan keridhaan kepada Allah atas bakti istrinya, yang terlihat hanyalah kebaikan dan kebaikan.
Saat seorang anak dengan ikhlas membantu orangtuanya, terlebih saat orangtuanya memasuki usia renta, dan orangtua menjadi ridha atas bakti anaknya, maka sang anak menjadi mustajab doanya dan nerakapun haram menyentuh tubuhnya.
Saat seorang murid dengan ikhlas mematuhi perintah gurunya, dan gurupun ikhlas mendidik murid-murid mereka, jadilah amalan-amalan mereka menjadi amal yang bermanfaat. Sang murid menjadi generasi terbaik dan sang guru menjadi tauladan bagi masyarakatnya.
Saat seorang pedagang dengan ikhlas melayani pembeli dan memberikan pelayanan terbaik untuk pelanggannya, jadilah amal sholeh yang mendatangkan barokah bagi dirinya dan usahanya.
Saat seorang pemimpin dengan ikhlas memimpin negerinya, menjauhkan diri dari perbuatan korupsi dan perbuatan khianat lainnya, lalu rakyatnya pun ridha atas kepemimpinannya, jadilah sang pemimpin itu duduk bersama dengan para nabi dan para mujahid kelak di yaumil akhir.
Saat seorang sahabat ikhlas membantu temannya, mengisi kesulitannya dengan kemudahan, mengobatinya ketika luka, menasehatinya ketika alpa, meluruskan jalannya ketika tersesat, jadilah sang sahabat itu sebaik-baik manusia dimuka bumi, karena hidupnya selalu bermanfaat bagi lingkungannya.
Sahabatku,
Sulit menggapai ikhlas itu, tanpa niat dan azzam yang kuat. Tak mudah meloloskan hati untuk berkata “Insya Allah saya ikhlas, Insya Allah saya ridha”, tanpa bantuan dari Sang Pencipta hati itu sendiri.
DIA yang mampu membolak-balikan hati, dengan atau tanpa persetujuan akal kita, dengan atau tanpa jiwa yang menyertai atau menolaknya.
Tapi DIA adalah maha pemberi kasih sayang dan maha pemberi nikmat, rahmat dan karunianya sangat luas. DIA pun memudahkan kita untuk memperoleh derajat mukhlis itu. Hanya satu perintahnya kepada kita “Berbuatlah karena Allah”, Niatkankanlah dengan “Lillahi Ta’ala” dalam seluruh aspek hidup dan kehidupan kita. Didalam ibadah-ibadah kita, di dalam amal dan dalam pekerjaan, di dalam bisnis dan dalam bermuamalah, di dalam berbakti kepada orang tua dan dalam mendidik anak, di dalam bercinta dan dalam mencintai, di dalam pengabdian kepada masyarakat, hatta dalam hal-hal yang sangat sepele sekalipun; seperti memberi makanan kepada binatang, atau bahkan dalam hal yang sangat besar seperti dalam peperangan dan pertempuran.
Bagi siapapun kita berbuat atau untuk apapun kita lakukan, semua akan terasa indah jika disertai dengan keikhlasan. Sebelum surga akhirat benar-benar didapat, insya allah nikmatnya "surga dalam dunia" pun dapat kita rasakan dengan keikhlasan itu sendiri. Insya Allah.
Semoga Bermanfaat.
Ikhlas, sebuah perbuatan yang mempunyai nilai dan derajat tinggi yang akan disematkan oleh Allah kepada hamba-hambanya yang mau menuju kesana. Hamba-hamba yang mukhlis dalam mencari ridhanya.
Ikhlas pula yang menyebabkan seorang gadis suci, Maryam mau menerima titah Allah untuk mengandung nabi mulia, Isa As, meski tanpa suami.
Ikhlas pula yang menyebabkan Hajar mau ditinggal Ibrahim As, ditengah padang tandus tanpa teman seorang diri.
Ikhlas pula yang menyebabkan Ismail menjadi begitu mulia menerima perintah Allah untuk disembelih ayahnya.
Ikhlas menjadikan ibadah seorang hamba menjadi sempurna dimata Allah, tanpa ikhlas sujud-sujud para hamba menjadi sia-sia dan shaum-shaum ummatnya hanya bernilai lapar dan dahaga saja.
Ikhlas menjadikan hati bening, sebening embun di pagi hari, embun yang mampu menyejukan angkara murka saat menyadari bahwa segala perbuatan dan kebaikan kita tidak selamanya berbalas kebaikan pula dimata manusia. Segala kebaikan yang kita harapkan dari orang yang telah kita tolong, menjadi lenyap setelah mereka tidak membalasnya dengan serupa, dan ikhlaslah yang membuat hati menjadi sadar, bahwa kebaikan itu hanya datangnya dari Allah.
Saat seorang istri mengikhlaskan dirinya untuk berbakti kepada suaminya, dan suamipun membalas dengan keridhaan kepada Allah atas bakti istrinya, yang terlihat hanyalah kebaikan dan kebaikan.
Saat seorang anak dengan ikhlas membantu orangtuanya, terlebih saat orangtuanya memasuki usia renta, dan orangtua menjadi ridha atas bakti anaknya, maka sang anak menjadi mustajab doanya dan nerakapun haram menyentuh tubuhnya.
Saat seorang murid dengan ikhlas mematuhi perintah gurunya, dan gurupun ikhlas mendidik murid-murid mereka, jadilah amalan-amalan mereka menjadi amal yang bermanfaat. Sang murid menjadi generasi terbaik dan sang guru menjadi tauladan bagi masyarakatnya.
Saat seorang pedagang dengan ikhlas melayani pembeli dan memberikan pelayanan terbaik untuk pelanggannya, jadilah amal sholeh yang mendatangkan barokah bagi dirinya dan usahanya.
Saat seorang pemimpin dengan ikhlas memimpin negerinya, menjauhkan diri dari perbuatan korupsi dan perbuatan khianat lainnya, lalu rakyatnya pun ridha atas kepemimpinannya, jadilah sang pemimpin itu duduk bersama dengan para nabi dan para mujahid kelak di yaumil akhir.
Saat seorang sahabat ikhlas membantu temannya, mengisi kesulitannya dengan kemudahan, mengobatinya ketika luka, menasehatinya ketika alpa, meluruskan jalannya ketika tersesat, jadilah sang sahabat itu sebaik-baik manusia dimuka bumi, karena hidupnya selalu bermanfaat bagi lingkungannya.
Sahabatku,
Sulit menggapai ikhlas itu, tanpa niat dan azzam yang kuat. Tak mudah meloloskan hati untuk berkata “Insya Allah saya ikhlas, Insya Allah saya ridha”, tanpa bantuan dari Sang Pencipta hati itu sendiri.
DIA yang mampu membolak-balikan hati, dengan atau tanpa persetujuan akal kita, dengan atau tanpa jiwa yang menyertai atau menolaknya.
Tapi DIA adalah maha pemberi kasih sayang dan maha pemberi nikmat, rahmat dan karunianya sangat luas. DIA pun memudahkan kita untuk memperoleh derajat mukhlis itu. Hanya satu perintahnya kepada kita “Berbuatlah karena Allah”, Niatkankanlah dengan “Lillahi Ta’ala” dalam seluruh aspek hidup dan kehidupan kita. Didalam ibadah-ibadah kita, di dalam amal dan dalam pekerjaan, di dalam bisnis dan dalam bermuamalah, di dalam berbakti kepada orang tua dan dalam mendidik anak, di dalam bercinta dan dalam mencintai, di dalam pengabdian kepada masyarakat, hatta dalam hal-hal yang sangat sepele sekalipun; seperti memberi makanan kepada binatang, atau bahkan dalam hal yang sangat besar seperti dalam peperangan dan pertempuran.
Bagi siapapun kita berbuat atau untuk apapun kita lakukan, semua akan terasa indah jika disertai dengan keikhlasan. Sebelum surga akhirat benar-benar didapat, insya allah nikmatnya "surga dalam dunia" pun dapat kita rasakan dengan keikhlasan itu sendiri. Insya Allah.
Semoga Bermanfaat.
Subscribe to:
Posts (Atom)