Friday, June 26, 2009

Baracuda Expedition II, Part 3 - Selesai

Cerita 2 Sahabat..

Setelah mendapatkan tempat yang cocok, Pak Ardi segera menginstrusikan untuk menurunkan kail pancing bagi yang ingin memancing. Segeralah masing-masing dari kami mengambil pancing yang telah disiapkan oleh ABK. Disini kami sedang membuktikan siapa kira-kira yang memiliki rezeki yang bagus atau yang paling “berkah” dalam tanda kutip, maksudnya siapa yg paling banyak dapat ikan begitu. Para awak kapal juga ikut membantu memancing, termasuk Pak Ardi sang kapten kapal.
Sebenarnya jika kondisi keempat orang yang “nembak” tadi bagus alias fit, pasti kegiatan ini akan terasa lebih seru lagi, tetapi karena kondisi yang tidak menguntungkan, jadilah kegiatan itu dilakukan bergantian. Kecuali Labib, Pak Awi, Pak Harno dan Mr. Jevi, yang tetap tegar menghadapi gelombang, keempat orang itu melakukan kegiatan mancing disela-sela mual mereka. Ketika dirasakan tubuh mulai enak, maka mereka memancing kembali, jika dirasakan mulai mual dan muntah-muntah, maka rebahan dan tidur lagi. Sedangkan saya, hahaha, mancing cukup sekali, sisanya rebahan dan tidur, nyam-nyam-nyam.

Diantara keempat orang yg cemen itu saya lihat hanya Pak Yuli yg tetap semangat ghirah memancingnya. Begitu beliau selesai “nembak”, segera saja mengambil kail dan mancing kembali. Begitu seterusnya; jadi; kalau saya tidak salah hitung, pak Yuli tujuh kali nembak, tujuh kali tidur dan tujuh kali mancing, haha keren khan. Sedangkan Pak Bowo, mudah sekali menyuruh beliau untuk memegang tali kail dan memancing, caranya ,lecehkan saja beliau dengan kata-kata manis, maka meskipun kepala berat, perut melilit, beliau akan sigap berdiri, dan sepertinya beliau hanya akan memancing jika harga dirinya “diinjak-injak” oleh rekan-rekan terutama oleh Mr. Jevi, hahaha. Meskipun lagi flying abis tetap saja dibela-belain megang tali pancing demi sekeping harga diri, hahaha.

Bicara tentang harga diri, harga diri Pak Peter mungkin lebih tinggi lagi. Meskipun beliau belum mendapatkan ikan satupun, tetapi jika ada rekannya yang mendapatkan ikan, maka segera diambilnya dan minta diabadikan untuk diperlihatkan kepada anaknya, Dzikri sambil berteriak “Abang Dzik, ini loh hasil tangkapan ayah keren kan..., hahaha” demi harga diri dihadapan anak, terpaksa mengakui milik orang lain, hahaha, setelah itu, Pak Peter dengan nyamannya tidur lagi, zzzzz.

Hasil tangkapan merupakan indikator sukses atau tidaknya kegiatan memancing itu, semakin banyak hasil tangkapan, berarti semakin sukses pula memancingnya.
Refleksi dari “hasil tangkapan” ini saya iibaratkan dengan seberapa besar seorang manusia berikhtiar mencari rezekinya. Ada kisah tentang dua orang sahabat yang berprofesi sebagai nelayan dalam mencari rezeki. Sahabat yang pertama katakanlah si A bertipe realistis,. sedang yang kedua bertipe perfeksionis dalam artian ia akan berbuat jika kondisinya mendukung, katakanlah si B.

Sahabat kita si A ini, setiap hari selalu menjemput rezekinya, ia selalu pergi melaut, meskipun dia tahu bahwa tidak setiap hari dia bisa mendapatkan rezeki sesuai dengan harapannya. Sedangkan sahabat kita si B, Ia menjemput rezekinya jika difikirnya hari ini akan ada banyak rezeki yang akan didapatnya, diluar itu ia tidak mau membuang hari-harinya dengan kegiatan yang kira-kira tidak mendapatkan hasil sesuai dengan keinginannya. Dalam benaknya Ia pun menanamkan tekad, Ia akan rajin melaut jika sudah mempunyai kapal motor sendiri, karena menurutnya jika melaut memakai sampan/perahu kecil hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga serta ikan yang didapatpun tidak seberapa.

Hari demi hari berlalu, Si A selalu mendapatkan apa yang diusahakannya, meski dengan sampan kecil, Allah selalu memberikan rezeki terhadap hamba-hambanya yang telah berusaha. Hasil dari melaut dengan sampan kecil itu ia gunakan untuk membeli sampan yang lebih besar, hasil dari sampan yang lebih besar ia gunakan untuk membeli kapal bermotor, begitu seterusnya hingga lewat dua puluh tahun. Sampai akhirnya si A telah menjadi nelayan sukses dengan armada kapal nelayan yang besar dengan ABK berpuluh-puluh orang. Sedang si B, karena selalu berfikir, besok saja kalau sudah punya perahu besar baru rajin melaut, besok saja kalau sudah punya kapal motor baru rajin melaut, begitu saja hingga tak terasa hari-hari telah berlalu begitu cepat, dan kondisi si B tetap sama dengan kondisi dua puluh tahun lalu. Ia tidak memiliki apa-apa selain usia yang mulai renta dan rambut yang mulai memutih.

Relevansinya dengan kisah diatas, jika kita berfikiran akan mau berusaha jika sudah punya modal, akan mau bekerja keras setelah menikah dan punya anak, akan mau rajin bekerja setelah punya waktu luang dan alasan-alasan lain maka yang ada hanyalah penyesalan dan penyesalan. Dalam konteks ibadah dan mencari ilmu juga sama seperti itu, jika kita berfikiran, akan belajar ngaji jika ada waktu luang, akan rajin sholat jika sudah berumah tangga, akan menjadi suami yang soleh jika sudah punya anak dan alasan lain sebagainya, bersiap-siaplah kita hanya hidup dalam angan-angan. Tanpa terasa kulit sudah keriput, rambut mulai beruban dan mata mulai buram, tinggallah penyesalan mendalam yang tak pernah bisa dimaafkan. Masa muda tak pernah bisa kembali kepada kita. Ulama salaf pernah berkata “Jarak yang paling dekat dengan diri kita adalah kematian dan jarak yang paling jauh adalah masa lalu”.

Kembali ke memancing, atas dasar pemikiran dan motivasi diatas, barulah saya sadar kalau saya terus menunggu sampai kondisi badan benar-benar fit, kapan saya bisa memancing, kapan saya bisa membuktikan kalau saya juga bisa menjadi fisherman sejati. Toh juga saya tidak menengetahui apakah mual-mual ini sebentar saja atau mungkin malah berlangsung lama. Akhirnya menjelang matahari tepat di atas kepala, saya bangkit mengambil kail pancing, mengaitkan umpan berupa cumi-cumi yg sudah dipotong-potong kedalam kail dan melemparnya ke dalam lautan. Ditemani Pak Harno, Labib dan ABK yg masih setia memancing, sementara kawan-kawan lain terlihat tidur karena kelelahan.

Pada uluran kail yg pertama, saya merasakan benang kail terasa ada yang menarik-narik. Segera saja saya angkat dengan perasaan senang, mudah-mudahan ikan baracuda yang menjadi telur pertama saya. Dengan hati gembira karena bakal mendapat rezeki nomplok, saya tarik benang kail dengan kekuatan penuh, sepenuh semangat para pejuang kemerdekaan, dan ketika benang terangkat semua, “HAH” kosong! mana ikannya?, “tapi kok berasa berat ya?” gumam saya, Pak Harno tertawa terpingkal-pingkal, sambil menjelaskan “Pemberat timah kalo ditarik-tarik seperti itu rasanya juga seperti ikan yang menarik-narik” wuahahaha kaciaaaan deh gue....

Akhirnya saya ulurkan kembali benang pancing saya. Dengan harap-harap cemas saya menunggu moment yang paling membahagiakan dalam hidup saya, ceile segitunye. Beberapa menit telah berlalu, tik tik tik, waktu begitu lambat saya rasakan, hembusan angin juga seakan melambat, tiba-tiba saya merasakan kail ada yang menarik-narik, tetapi saya cuekin saja, daripada malu, mendingan cuek, keledai aja enggak mungkin masuk lubang dua kali, apalagi saya. Setelah agak lama barulah saya menyadari bahwa yang menarik-narik itu adalah benar-benar ikan, karena beda rasanya gitu loh. Segera saya angkat kail itu dengan semangat 45, mudah-mudahan kali ini benar-benar ikan, dan ternyata “Bingo” seekor ikan baracuda menatap tajam kepada saya, seakan-akan ia marah mengapa dari tadi saya cuekin saja, padahal ia sudah berenang kesana kemari meminta pertolongan. Alhasil, karena saya tidak tega untuk mencabut ujung kail dari mulut ikan itu, akhirnya saya meminta tolong pak Ardi untuk melepaskannya. Setelah selesai, saya memasukan kembali umpan dan mulai mengulurkan benang kembali. Sejurus kemudian saya kembali menunggu dengan was-was, lima menit telah berlalu, saya masih tahan, lima belas menit berlalu, saya juga masih tahan, setengah jam berlalu, saya masih berusaha bertahan, tetapi mual dari perut saya yang tidak tahan, akhirnya saya merebahkan diri sambil tangan kiri tetap memegang benang pancing. Setelah itu saya tak sadarkan diri karena tertidur pulas, sampai pak Ardi membangunkan saya, sambil berkata “Pak pancing nya saya pindahkan dulu ya karena makan siang sudah matang.” Hehehe saking gak sabarnya, mancing saja sampe ketiduran.

Begitu saya bangun, ternyata mual belum hilang, jadi saat teman-teman asyik bersantap makan siang, saya kembali rebahan. Pak Awi dan rekan lainnya siap-siap melakukan sholat zuhur beserta ashar di jama’. Dan saya masih asik tidur meneruskan mimpi yang tadi. Weleh-weleh.

Saya terbangun saat perut terasa perih, untung ada pepaya yang dibawa oleh teman saya, sudah dikupas dan tinggal makan lagi, wuih nyam-nyam-nyam, adem banget, mak nyos. Setelah itu saya segera berwudhu dan bersiap-siap untuk sholat dzuhur dan ashar.

“Abang Dzik, Ayah Pulang”

Hari menjelang pukul tiga, ternyata kami sudah berkeliling ke berbagai karang, terlihat hasil pancing sudah lumayan banyak, meski menurut Pak Awi, tidak sebanyak pada ekspedisi pertama. Tapi lumayanlah. Pak Ardi juga mengisyaratkan kalau kita akan segera mendarat, ada usulan apakah mau berenag dulu di pulau Untung Jawa, tapi sebagian menolak, terutama para bapak-bapak yang cemen itu. Mendengar kita akan mendarat, mendadak mual-mual saya hilang, hahaha, dan saya merasakan seperti tidak terjadi apa-apa, segar bugar saja, sugesti kali ya?. Sugesti itu pula yang membuat Pak Peter mampu melakukan tugasnya sebagai manusia seutuhnya, ketika perut kenyang, dan usus sudah tidak lagi mampu menampung, apakah yang harus dilakukan oleh seorang manusia selain pergi kebelakang. Masalahnya, disini bukan dirumah yang nyaman, bukan juga di toilet yang setelah selesai tinggal pencet, serrr, air langsung mengalir. Disini kalo mau kebelakang, ya bener-bener kebelakang. Langsung nempel sama air laut. Hahaha. Kata pak Peter, butuh dua perjuangan untuk menuntaskan hasrat itu. Perjuangan pertama, adalah bagaimana agar bisa mengebom dengan nyaman, selain membuang rasa malu karena dilihat oleh mahluk-mahluk penghuni perahu, juga menahan keseimbangan dan mentargetkan sasaran tembak agar tepat jatuh kelubangnya, tidak kekepala rekannya yaitu saya sendiri, karena posisi tidur saya ada dibelakang pak Peter, hahaha sial bener nasib saya kali ini. Perjuangan kedua adalah bagaimana cara bersucinya, posisi yg bergoyang-goyang ditambah mengambil air dgn ciduk dari air laut yang mengalir deras, adalah sebuah kesulitan tersendiri. Untunglah pak Peter berhasil melewati itu semua dengan hebat, sebagai seorang pemula, buang air besar di perahu yang sedang berjalan, ditambah ombak yang datang menerjang bukankah merupakan sebuah prestasi tersendiri tuh, hahaha, karena ada rekan kita yang untuk buang air kecil saja tidak sanggup bahkan harus menunggu 18 jam hingga tiba di daratan, hehehe piss deh.
Setelah selesai dengan hajatnya, pak Peter pun kembali keposisinya, mengetahui perahu akan segera mendarat, beliau berteriak “Abang Dzik, ayah pulaaang!”..halah kayak disinetron aje hehehe.

Mendarat

Setelah melewati hampir satu jam perjalanan pulang, barulah terlihat kesibukan nelayan dan jalur penyebrangan Jakarta pulau seribu, nun disana terlihat sangat kecil hotel-hotel di pesisir ancol berdiri, di depan kami terlihat perahu penyebrangan semacam feri, bergerak sangat cepat, mengantar penduduk bermobilisasi. Di kiri dan kanan kami, terlihat perahu-perahu nelayan yang seukuran dengan kami, dengan penumpang yang juga baru pulang melaut. Burung-burung camar terbang rendah berkejar-kejaran melintasi ombak yang perlahan menghilang, burung belibis juga terbang rendah sambil berkelompok-kelompok melewati kapal kami. Ikan-ikan kecil entah ikan apa namanya terlihat melompat-lompat dari satu ombak ke ombak lainnya. Deru perahu motor terdengar jernih, sejernih perasaan kami yang merasa bersyukur, bahwa kegiatan ini alhamdulilah berjalan dengan lancar, meski ada sedikit gangguan pencernaan, yang kami anggap sebagai kewajaran bagi seorang pemula. Cerahnya cuaca pantai menyambut kedatangan kami, secerah hati kami yang merasa tak sabar untuk menginjakkan kaki kembali kedaratan, juga secerah hati teman kami yang telah menahan pipis sehari semalam, hehehe. 18 jam di ombang-ambing laut, merupakan pengalaman yang tak terlupakan. Tapi itu tidak membuat kami jera, karena yang kami cari adalah kebersamaan sebagai seorang sahabat.

Pukul 4.00 pm sore Perahu telah merapat, satu persatu kami beranjak melompati dek belakang. Semua barang-barang diperiksa agar tidak ketinggalan, Pak Awi melunasi kewajiban kita kepada sang pemilik kapal. Selesai bersalam-salaman kami berangkat kembali pulang. Mobil kembali meluncur meninggalkan Tanjung Pasir, dikemudikan oleh Mr, Jevi, kita segera menemui sanak keluarga. Sebelum itu kita sempat berbincang-bincang mengenai kesan dan pesan, intinya kita siap dengan Ekspedisi Baracuda ke III, insya allah dilain waktu. Sebelum sampai dirumah, kita mampir sebentar di warung nasi bebek dan ayam bakar yang berlokasi dekat pintu masuk Bandara Soekarno Hatta.
Sekitar pukul 5.00pm sore, kami segera kembali ke mobil. Mobilpun meluncur dan memasuki area bandara, lalu memasuki tol bandara, kemudian menuju tol dalam kota, dan terus melaju mengantar kami ketempat pertama kali kami berkumpul dan kembali kepada keluarga tercinta.

Selesai.

Dan inilah sedikit rekaman tentang ekspedisi itu (dengan back ground music asal comot yg penting rame)

Selamat menikmati.

"Ting Nong"
"Perhatian-perhatian, pintu teater 2 akan segera di buka..
Bagi penonton yg masih diluar silahkan memasuki ruangan teater 2...
Film terbesar abad ini Baracuda Expedition II akan segera dimulai..
Klik Play untuk melanjutkan.."

"Ting Nong"

No comments:

Post a Comment