“Taatilah aku, jika kalian anggap benar, dan luruskanlah aku jika kalian melihat aku menyimpang” itulah pidato “inaugurasi” kalifah Abu bakar ra ketika pertama kali dibaiat menjadi khalifah pertama pengganti Nabi. Baiat yang dilakukan untuk menghindarkan kaum muslimin dari perpecahan akibat kehilangan pemimpin setelah wafatnya Nabi, sementara sahabat lain mengurus jenazah Nabi SAW.
Dan Umar ra berkata kepada Abu Bakar, “Aku yang akan meluruskanmu dengan pedang ini jika engkau menyimpang dari alqur’an dan sunnah”. Suatu ungkapan tegas dari teman dan sahabat yang menyayangi. Mentaati jika benar, dan menegur(meluruskan) jika salah meskipun pahit. Begitulah seharusnya kepemimpinan itu berjalan. Pemimpin mau mendengar kepada rakyat dan rakyat patuh kepada pemimpin yang benar. Sebaliknya jika pemimpin salah, mereka siap dikoreksi bahkan harus turun dari singgasananya dan rakyat harus berani mengoreksi pemimpin yang salah itu.
Satu bulan lagi tepatnya 8 juli 2009, kita akan memilih pemimpin kita, pemimpin yang akan menaungi 250 juta rakyat indonesia. Jauh-jauh hari Majelis Ulama Indonesia telah memberikan fatwanya;dimana dalam kondisi yang ideal jika ijma para ulama telah dilakukan dan hasil ijtima telah di keluarkan oleh para ulama mujtahid tsb maka posisi kaum muslimin sebagai domain ulama selayaknya wajib mengikuti fatwa ulama tersebut. Adapun fatwa MUI adalah mengharamkan sikap tidak memilih alias abstain alias golput jika memang telah nyata ada calon pemimpin yang ideal begitupun sebaliknya haram memilih pemimpin yang tidak ideal. Terlepas dari kontroversinya fatwa tersebut, bagi kita tetap wajib memilih pemimpin yang ideal. Ideal yang bagaimana, ya yang sesuai dengan kriteria pemimpin menurut aturan Allah, yakni pemimpin yang adil, berakhlak karimah dan tentu saja takut kepada Allah.
Seorang Pemimpin harus berhati lapang.
Apa jadinya jika seorang pemimpin berhati sempit, jika sedikit saja kritikan dianggap sebagai makar, jika sedikit saja kecaman dianggap ingin menjatuhkan kekuasaannya. Tak ayal negara ini tidak akan pernah damai dengan model pemimpin seperti ini. Cukup sudah kasus-kasus penculikan terhadap para aktivis yang bersebrangan dengan pemerintah menjadi pelajaran yang sangat berharga
Seorang Pemimpin melayani rakyat bukan dilayani.
Sudah lazimnya bahwa pemimpin itu adalah abdi negara, pelayan rakyat, bukan raja yang minta dilayani. Jadi seorang pemimpin sudah selayaknya berjiwa berkorban, tanpa pamrih pula, bukan seorang pengemis yang meminta-minta penghormatan, atau pengagungan. Bukan pemimpin yg angkuh, yang sangat sulit sekali ditemui rakyatnya. Pemimpin demikian hanya ada di abad kegelapan, dimana posisinya dengan posisi budak hanya beda sejarak rambut dibelah tujuh. Tidak ada bedanya.
Seorang pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.
Tidaklah mudah menjadi seorang pemimpin, sedikit saja berbuat tidak adil, maka hukumannya sangat berat, tetapi beratnya jadi pemimpin akan sepadan dengan balasan yang diberikan Allah kepada pemimpin yang adil. Di akhirat kelak Allah akan mendudukannya dengan para nabi dan para mujahid, dan pemimpin yang adil akan diberi naungan oleh Allah pada hari pembalasan.
Beratnya jadi pemimpin karena harus bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Jika ada rakyatnya yang tewas, terbunuh karena kelalaiannya, jika ada yang mati karena lapar, tersiksa karena kelaparan, terancam jiwa dan keamanannya, tercerabut akarnya karena musibah, terampas hak-haknya karena kezaliman orang, terlempar hak-haknya secara sengaja maupun tidak sengaja, baik hak mendapat makanan, pendidikan dan rasa aman. Terpenjara karena bukan kesalahannya dan lain sebagainya, semua akan ditimpakan kepada pemimpinnya. Jika rakyat yang dipimpinya hanya sepuluh orang, maka Allah akan menanyakan keadilan pemimpin itu kepada sepuluh orang itu, dan jika rakyatnya berjumlah ratusan juta orang, maka sebanyak itulah jumlah yang harus dipertanggungjawabkan.
Abu Bakar menangis saat mengetahui ada seorang ibu yang memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya yang lapar, hatinya miris bagaimana tanggung jawabnya kelak jika ditanya oleh Allah atas nasib anak-anak itu, lantas dengan segera ia pulang ke rumah dan ia panggul sendiri bahan makanan itu serta memberikannya kepada sang ibu itu.
Dan Umarpun menangis saat mengetahui semakin membesarnya wilayah kekuasaan Islam yg dipimpinnya, dengan berarti semakin besar pula tanggung jawabnya.
Korelasi Pemimpin dan Rakyat
Seorang pemimpin yang adil dan bijaksana tidaklah datang dari langit. Ia adalah buah dari masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat yang zalim akan hadir pemimpin yang zalim pula dan dalam masyarakat yang lacur akan lahir pemimpin yang lacur pula. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri yang harus merubah nasibnya.
Suatu saat, Ali pernah di cela oleh rakyatnya karena pada zamannya banyak terjadi huru hara dibanding zaman Abu Bakar. Apa jawab Ali, “Pada zaman Abu Bakar, beliau memerintah orang-orang seperti aku, tetapi pada zamanku ini, aku memerintah orang-orang seperti kalian”.
Memilih pemimpin yg sholat subuhnya di mesjid.
Pernah seorang ustadz memberikan tips dan saran bagaimana cara mudah memilih pemimpin, beliau menyarankan, pilihlah pemimpin yang sholat subuhnya di mesjid.
Apa hubungannya?, ternyata dibalik hikmah waktu subuh yang penuh karomah, banyak keberkahan yang diberikan kepada para jamaah sholat subuh. Dan pemimpin yang sholat subuhnya di mesjid, Insya allah akan mendapatkan kemuliaan itu. Dan Nabipun memutuskan perkara sehabis sholat subuh di mesjid, begitu juga para sahabat dan ulama salafushalih, mereka selalu memutuskan perkara setelah sholat subuh di mesjid.
Jadi, jika mau menjadi pemimpin yang berkah, minimal pemimpin keluarga, mari ramaikan sholat subuh di mesjid.
Memilih pemimpin yg tidak minta jabatan.
Yang terakhir, ini adalah kriteria paling sulit. Rasulullah pernah menolak permintaan sahabat yang meminta dijadikan gubernur, dan menunjuk sahabat lain yang tidak memintanya.
Tidak ada pada zaman sekarang ini orang yang tidak mau jabatan bahkan menolaknya. Baik dari partai sekuler maupun dari partai (berbasis) agama sekalipun. Alasan dari partai sekuler, mungkin dapat kita tebak, yakni harta dan tahta, meski dengan dalih kesejahteraan rakyat. Tetapi alasan dari partai agama yang kadang belum (tidak) saya mengerti yakni “kalau kekuasaan tidak kita ambil sekarang, takutnya diambil oleh mereka yang sekuler dan berbahaya bagi negara ini”. Seolah-olah hanya merekalah yang sanggup membenahi negara ini dan menjaga kelangsungan hidup ummat ini. Suatu hal yang saya anggap “ujub” bahkan terkesan sombong. Bukankah Allah telah menggilirkan kekuasaan dari satu pihak ke pihak yang lain.
Jika kekuasaan yang menjadi tujuan, maka tunggulah kehancurannya, tapi jika ridha Allah yang menjadi tujuan. Maka Allah akan memberikan kekuasaannya kepada orang-orang yang dikehendakiNya.
Wallahualam bishowab.
Monday, June 08, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Ada saran dari 3 pasang calon tersebut buat ane, Bang Jali ? Zuzur ane binun mode on buat ketiga pasang tsb.....
ReplyDeleteYang menurut ente ideal aja,kan udah ane ceritain diatas, toh masing-masing manusia bertanggung jawab atas perbuatannya (baca pilihannya) sendiri, hehehe. (Mo lepas tgg jawab mode on)
ReplyDelete